Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selain Influencers, Apa Masih Ada yang Peduli Jumlah Followers?

20 Januari 2023   00:16 Diperbarui: 20 Januari 2023   00:18 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Social Media oleh thougt catalogue (pexels.com)

Di masa media sosial muncul, banyak-banyakan followers atau friends menjadi hype. Semakin banyak friends di Facebook, maka semakin dianggap populer. Di Twitter pun, semakin banyak followers semakin keren sebuah akun. Model pengikut atau pembaca tak lepas dari konsep transaksional.

Saat media sosial menjadi kian populer, seperti Facebook di tahun 2006-2007, users pun booming. Users di Facebook di masa itu bisa dibilang memang suka berinteraksi. Untuk log in dan online pun masih menjadi aktivitas eksklusif dan mahal. 

Akses internet saat itu masih cukup eksklusif di area kota besar. Akses via perangkat PC pun masih lebih banyak di warung internet (warnet). Dengan hitungan per-jam, koneksi tidak stabil, dan warnet yang tidak nyaman menjadi faktor seseorang urung online di Facebook-nya.

Akses internet pun masih cukup mahal. Mereka yang memiliki PC yang dilengkapi akses kabel LAN via kabel telepon hanya mereka yang mampu. Orang yang memiliki laptop pun lebih banyak untuk membantu produktivitas bekerja secara offline bukan online. Tagihan atau billing warnet pun cukup mahal bagai beberapa orang.

Sehingga, ketika sudah login Facebook, yang dicari adalah interaksi. Dari follow-followan atau minta follow back, menjadi aktivitas. Posting apapun yang menarik menjadi kunci engagement mencari followers. Konten foto atau video pun sebaiknya original dan menghibur.

Hype mencari friends atau followers di medsos sepertinya semakin meredup di tahun 2000-an. Ada beberapa faktor yang bisa diamati. Pertama, banyak situs atau oknum menjual followers. Kadang juga menjual like, komentar, dan share untuk memenangkan lomba, tugas kuliah, sampai pengen keliatan selebritis.

Semakin banyak yang menawarkan, berarti semakin banyak pembelinya. Sehingga jumlah followers yang mencapai ribuan sampai jutaan bisa dianggap cukup mencurigakan. Sering juga ribuan followers ini hanya akun zombie atau bot. Dengan kata lain, tidak aktif dan dibuat hanya untuk aktivitas transaksional di atas.

Kedua, jumlah followers kadang tidak membuat sensasi viral. Akun-akun kecil pun sering bisa di-notice atau viral. Jumlah followers yang tidak mendorong info viral berdampak pada engagement yang minim. Bagi users yang memang mencari cuan di medsos, engagement minus berarti minim nilai plus untuk dijual kepada endorser.

Walaupun, kadang tidak semua akun ber-followers besar mencari viralitas demi adsense. Beberapa memang diikuti untuk informasi seperti radio atau tokoh publik, seperti Presiden. Untuk akun macam ini, komunikasi bisa berarti satu arah atau penyedia sumber informasi up-to-date.

Jika tidak bercita-cita atau berusaha keras untuk menjadi influencers, jumlah followers kini dianggap lalu. Karena jika dianggap serius, influencer pun bisa menjadi pekerjaan yang menggiurkan. Followers dan engagement tinggi berarti dapat menarik hati pengiklan produk dan jasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun