Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Duduk Bersama sebagai Solusi Polarisasi

22 September 2019   21:52 Diperbarui: 23 September 2019   08:36 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Face Contrast oleh Gerd Altmann - Foto: pixabay.com

Kita harus prihatin. Masih bersliweran label cebong versus kampret di linimasa kita. Sisa-sisa perseteruan Pilpres kemarin, bahkan dari 2014. Belum juga tuntas. Publik pun terbelah dalam hal preferensi politik. Belum lagi isu seperti isu asing-aseng versus pribumi, hijrah versus nusantara, dsb.

Inilah polarisasi. Sebuah keadaan dimana dua kluster besar pro dan kontra bersaing di linimasa. Baik melalui perang mengangkat tagar, saling nge-troll (caci maki/twitwar), sampai memviralkan hoaks.

Polarisasi besar dengan kluster yang dikomandoi akun/influencer terkenal menimbulkan banyak dampak tak dinyana. Mulai dari tribalisme digital atau yang kita kenal sebagai militansi akun. Sampai mempercayai hoaks pun bukan menjadi keanehan bagi mereka yang terjebak dalam polarisasi ini. 

Pada sisi yang ekstrim, radikalisme individu bisa terjadi. Seperti melakukan gerakan pengeboman seorang diri karena menonton video via YouTube. Atau gerakan memobilisasi massa yang berkoordinasi via WhatsApp. Bukan lagi kekhawatiran kita bersama. Tapi telah kita lihat sendiri terjadi.

Polarisasi ini terjadi karena dua proses. Pertama, pilihan personal seseorang. Dimana seseorang telah memiliki kecenderungan untuk menjadi bagian kelompok besar yang homogen. Mulai dari warna kulit, keyakinan, sampai hobi menjadi faktor kita ikut dalam suatu kelompok atau golongan.

Proses kedua cukup rumit dan sulit terlepas. Algoritma sosial media mengelompokkan kita berdasar jejaring pertemanan, social gestures, sampai perilaku konsumtif. Biasa disebut sebagai filter bubble, pola ini menjebak kita dalam ekosistem homogen.

Kedua proses polarisasi tadi membentuk echo chamber atau ruang gema. Bias konfirmasi pun diglorifikasi. Seseorang akan terus diperkuat keyakinan yang sudah dianutnya. Bias kognisi yang menyaring kesulitan untuk menalar informasi pun dipaparkan dalam ruang gema ini.

Maka tak heran, suatu hoaks menjadi konsumsi 'wajib' bagi kelompok terpolarisasi. Bias konfirmasi adalah 'the new normal' buat mereka. Bias kognisi adalah menjadi alasan dan bahan bakar untuk melakukan ujaran kebencian sampai tindakan rasis dan fasis. 

Lalu adakah jalan keluar atau solusi yang bisa kita lakukan terhadap polarisasi ini?

Mengakali dengan menerapkan de-filterisasi dengan teknis kounter-algoritma belum bisa dilakukan. Mengingat terstruktur, masif, dan sistematisnya polarisasi. Metode kounter-narasi dengan konten dan kampanye positif belum cukup efektif mencegah polarisasi kian menguat. Cek fakta dan klarifikasi pun tak jarang menuai efek bumerang atau back-fire effect.

Karena teknologi digital berbasis tulisan, audio, dan video. Hilangnya nuansa bertemu muka. Atau interaksi gestural seperti berjabat tangan, tersenyum, sampai tertawa nyaris tidak ada. Dislokasi diri sendiri dengan orang lain diwadahi dengan baik bahkan cenderung membahayakan di dunia digital.

Tanpa komunikasi berbasis lisan, manusia hanya akun-akun semata. Alias kita adalah mahluk digital. Sedang insting dan hakikat kemanusiaan adalah mahluk sosial.

Oleh sebab itu, pentingnya duduk bersama menjadi solusi polarisasi. Karena kadang, akun menjadi alter ego, eskapisme, bahkan katarsis diri kita yang lain. Sedang bertemu wajah, dengan mata dan kepala kita setidaknya mampu menilai dan menghormati orang lain.

Seseorang yang galaknya bukan main di Facebook. Bisa saja begitu bersahabat dan sopan saat bertemu wajah. Tokoh yang begitu sumbang dan anti-kritik dengan jutaan follower Twitter. Bisa jadi ayah yang penyayang dan ayah yang bertanggung jawab pada keluarganya.

Dunia digital memberangus dan melesapkan hal-hal ini. Foto pribadi yang diunggah sudah melalui proses ratusan kali berpose. Pun juga mendapat suntingan filter yang cukup berat atau banyak. Caption dan narasi pun sudah dipengaruhi bias konfirmasi dan kognisi personal tanpa cek-ricek.

Bertemu muka menumbuhkan empati. Sulit rasanya mencaci maki langsung di depan orang yang di linimasa menjadi 'musuh'. Sungkan rasanya juga bercerita tentang informasi yang belum jelas faktanya dengan 'musuh' kita tersebut.

Melepas belenggu polarisasi menjadi tanggung jawab kita semua. Pemerintah bisa memfasilitasi debat dan diskusi sehat antar stakeholder yang berselisih. Media partisan bisa duduk bersama dan membahas isu yang sejatinya memecah bangsa ini. Dan tidak lagi memikirkan jumlah view dan klik.

Publik difasilitasi tokoh kampung atau masyarakat bisa mengadakan sarasehan. Pihak-pihak di sosmed yang diketahui berselisih bisa duduk bersama sembari membahas. Tak perlu serius dalam ruang. Cukup duduk di balai desa sembari minum kopi atau makan bersama.

Dunia digital yang kita anggap menyatukan setidaknya kita rasa kini memecah. Saudara kita di grup chat yang berbeda pilihan politik akhirnya left group selamanya. Teman-teman di Facebook yang berbeda pandangan soal vaksin atau imuniasasi pun meng-unfriend kita. Dan beragam pola perpecahan lain.

Ada baiknya kita kembali ke teknologi cetak biru kita sebagai manusia. Bersosialisasi, keluar dari ruang linimasa kita, dan duduk bersama menjadi solusi. 

Salam,

Brisbane, 23 September 2019
12:52 am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun