Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Dokumenter "The Great Hack" Bukan untuk Orang Indonesia

30 Juli 2019   23:02 Diperbarui: 31 Juli 2019   21:24 5641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Great Hack poster - Ilustrasi: sciencefiction.com

Selama 2 jam lebih saya menonton film dokumenter The Great Hack (TGH) dari Netflix. Menggurat pergumulan opini dan realitas dalam diri saya. Ada realitas literasi digital dan media di Indonesia yang urung dianalogikan paralel dengan narasi dan pesan film TGH. 

Walau sejatinya, film ini menggambarkan realitas disruptif teknologi yang kita ketahui. Tapi lebih sering dinafikan. Yang jika ditamsilkan bak peribahasa sembunyi tuma, ekor kelihatan.

Film TGH berfokus pada eksploitasi data pribadi untuk propaganda politik negatif. Bagaimana data pribadi via platform digital bisa "dipanen" dan mencelakakan kita. Seperti menggiring opini linimasa untuk membenci, menjustifikasi, sampai mendiskriminasi saat musim kampanye.

David Carroll, sebagai akademisi Parsons School dan pemeran utama TGH, menggugat CA. Ia hanya ingin CA mengembalikan data pribadinya. Dan yang terjadi malah mengejutkan banyak pihak. Ternyata CA sudah lama mengeksploitasi data users untuk kepentingan politik dan ekonomi.

Skandal Cambridge Analytica (CA) dan Facebook-lah yang menarik semua perhatian pada eksplotasi data users ini. Teknik psychography telah diterapkan CA secara ilegal untuk mempolarisasi publik jelang Pemilu. Teknik ini diakui CA berdampak signifikan di Pemilu. Contoh efektif teknik ini dieksperimentasi pada Pemilu Trinidad-Tobago tahun 2013.

Kemudian, parlemen Uni Eropa pun mendapati CA juga menginisiasi polarisasi publik UK pada Brexit di tahun 2016. Dan di waktu yang hampir sama, mengorkestrasi kemenangan kampanye digital Trump pada Pemilu US tahun 2016. 

Beberapa whistleblower dari CA akhirnya muncul ke publik. Seperti Paul-Olivier Dehaye, Christopher Wylie, dan Britanny Kaiser. Mereka mengungkap kebenaran investigasi eksploitasi data users ilegal untuk kepentingan politik. Sehingga pada akhirnya CA ditutup dan dinyatakan bangkrut.

Cuplikan Trailer The Great Hack - Ilustrasi: filmstarts.de
Cuplikan Trailer The Great Hack - Ilustrasi: filmstarts.de
Dan film dokumenter ini mengungkap narasi dan fakta penting untuk penontonya, yaitu:
  • Valuasi data users kini nilainya melebihi harga minyak bumi dengan dimonopoli beberapa mogul teknologi saja
  • Betapa rapuhnya pemerintah negara melindungi hak privasi warganya di hadapan mogul teknologi 
  • Data pribadi yang diunggah setiap saat saat online begitu mudah dieksploitasi pihak berkepentingan picik
  • Penggiringan opini via disinformasi dan hacktivism (negatif) mampu merusak sendi-sendi demokrasi negara secara cepat dan masif
  • Gagapnya users platform sosmed melindungi diri mereka dari eksploitasi macam ini.

Saya pribadi melihat TGH cukup faktual dan informatif. Namun dalam kacamata orang Indonesia yang lain, TGH tidak akan mudah dipahami pesan dan cerita dibalik investigasi pada CA.

Saya pun memahami film-film bergenre dokumenter akan begitu khas atau memiliki niche tertentu. Namun TGH yang mengusung fakta berupa investigasi CA. Dan juga isu privasi pada users platform sosmed. Tidak cukup 'ringan' dipahami. Walaupun terlalu ringan pun bisa dianggap terlalu picisan.

Bagi penonton yang belum ngeh soal data pribadi, algoritma, big data, sampai disinformasi. Memahami investigasi pada skandal CA dan Facebook oleh parlemen EU dan senat US cukup pelik. Mungkin beberapa penonton akan meng-Googling kasus-kasus yang dideskripsikan TGH saat dan usai menonton filmnya.

Dibutuhkan pemahaman literasi digital yang baik. Terutama soal data personal di dunia digital. Sedang banyak orang Indonesia tidak begitu peduli soal hal ini. Tak heran Dirjen Dukcapil mengizinkan perusahaan swasta mengakses data pribadi. Sampai dibuatkan petisi online-nya pun. Beritanya tidak seheboh kontroversi konten vlog Kimi Hime.

Apalagi menyoal peran pemerintah Indonesia pada hak perlindungan data warga negaranya. Hal ini nyaris tak mumpuni. Ada toko online dan oknum yang menjual blangko KTP-el. Bahkan jual beli NIK dan KK via sosmed cukup mengerikan seperti investigasi salah satu netizen di bawah.

Dan hampir mustahil meruntuhkan polarisasi politik/ideologi di linimasa usai Pemilu. Netizen akan selalu gaduh dengan trending dan berita politik populer. Algoritma filter bubble telah menjebak publik dengan realitas yang mereka inginkan. Mirisnya, banyak yang merasa nyaman mengumbar benci, melabeli, sampai melakukan persekusi jika pilihan politik/ideologi dirasa berbeda.

Disinformasi atau hoaks linimasa menjadi konsumsi tidak sehat logika kritis. Banyak aktor dan figur yang memproduksi dan menyebarkan hoaks demi menjaga opini perpecahan. Dan hal ini akan terus mengancam demokrasi negara ini. Sayangnya, masih banyak yang terlena dengan hiperkonektivitas sosmed yang ilusif ini.

Dan film TGH ini hanya pas dikonsumsi para WEIRD, menurut Jared Diamond. WEIRD sendiri adalah Westernized, Educated, Industrialized, Rich dan Democratic. Dengan kata lain, kalangan rural, sederhana berfikirnya, dan lebih 'sosialis' dalam berinteraksi. Mungkin akan sulit mencerna narasi dan tujuan film TGH.

Namun, bukan berarti kita mengurungkan niat menonton TGH. Sebaiknya jangan dilakukan. Namun, ada baiknya sebelum menonton kita telusur dulu review dan komentar tentang TGH. Terutama pada berita, liputan, dan opini seputar isu yang dikupas film ini.

Lebih baik lagi, usai menonton TGH ada sesi bedah film dan diskusi. Agar isu dan tujuan film TGH bisa difahami bagi orang awam. Dan dinternalisasi bagi peminat dunia literasi media dan digital. 

Ditambah menayangkan film dokumenter untuk kegiatan edukasi tidak melanggar S&K Netflix. Dan film TGH masuk dalam genre documentary movie.

Salam,

Wonogiri, 30 Juli 2019

11:02 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun