Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Dokumenter "The Great Hack" Bukan untuk Orang Indonesia

30 Juli 2019   23:02 Diperbarui: 31 Juli 2019   21:24 5641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Great Hack poster - Ilustrasi: sciencefiction.com

Dibutuhkan pemahaman literasi digital yang baik. Terutama soal data personal di dunia digital. Sedang banyak orang Indonesia tidak begitu peduli soal hal ini. Tak heran Dirjen Dukcapil mengizinkan perusahaan swasta mengakses data pribadi. Sampai dibuatkan petisi online-nya pun. Beritanya tidak seheboh kontroversi konten vlog Kimi Hime.

Apalagi menyoal peran pemerintah Indonesia pada hak perlindungan data warga negaranya. Hal ini nyaris tak mumpuni. Ada toko online dan oknum yang menjual blangko KTP-el. Bahkan jual beli NIK dan KK via sosmed cukup mengerikan seperti investigasi salah satu netizen di bawah.

Dan hampir mustahil meruntuhkan polarisasi politik/ideologi di linimasa usai Pemilu. Netizen akan selalu gaduh dengan trending dan berita politik populer. Algoritma filter bubble telah menjebak publik dengan realitas yang mereka inginkan. Mirisnya, banyak yang merasa nyaman mengumbar benci, melabeli, sampai melakukan persekusi jika pilihan politik/ideologi dirasa berbeda.

Disinformasi atau hoaks linimasa menjadi konsumsi tidak sehat logika kritis. Banyak aktor dan figur yang memproduksi dan menyebarkan hoaks demi menjaga opini perpecahan. Dan hal ini akan terus mengancam demokrasi negara ini. Sayangnya, masih banyak yang terlena dengan hiperkonektivitas sosmed yang ilusif ini.

Dan film TGH ini hanya pas dikonsumsi para WEIRD, menurut Jared Diamond. WEIRD sendiri adalah Westernized, Educated, Industrialized, Rich dan Democratic. Dengan kata lain, kalangan rural, sederhana berfikirnya, dan lebih 'sosialis' dalam berinteraksi. Mungkin akan sulit mencerna narasi dan tujuan film TGH.

Namun, bukan berarti kita mengurungkan niat menonton TGH. Sebaiknya jangan dilakukan. Namun, ada baiknya sebelum menonton kita telusur dulu review dan komentar tentang TGH. Terutama pada berita, liputan, dan opini seputar isu yang dikupas film ini.

Lebih baik lagi, usai menonton TGH ada sesi bedah film dan diskusi. Agar isu dan tujuan film TGH bisa difahami bagi orang awam. Dan dinternalisasi bagi peminat dunia literasi media dan digital. 

Ditambah menayangkan film dokumenter untuk kegiatan edukasi tidak melanggar S&K Netflix. Dan film TGH masuk dalam genre documentary movie.

Salam,

Wonogiri, 30 Juli 2019

11:02 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun