Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sistem Sekolah Zonasi Bernuansa Alienisasi

21 Juni 2019   13:45 Diperbarui: 22 Juni 2019   05:32 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
School Girl oleh Rasy Nak - Foto: pexels.com

Pengalaman orangtua yang saya pernah tanya merasa kecewa pada zonasi. Ketika anaknya tidak mau masuk sekolah favorit karena rumahnya jauh dari kota dimana SMA favorit berlokasi. Anaknya pun memilih sekolah swasta Islam cukup mahal di sekitaran Solo.

Orangtua ini mengatakan, sistem zonasi sejatinya mengerdilkan pengalaman hidup anak. Jika seorang anak sudah siap mandiri dengan bersekolah jauh dari rumah. Mengapa sistem zonasi malah membuat anak harus terus dekat dengan orangtuanya?

Apalagi saat orangtua sendiri sudah mengetahui sejak lama mutu sekolah di daerahnya. Maka tak ayal, alternatif sekolah swasta yang setara sekolah negri favorit harus dibuat. Dan sekolah swasta 'setara' sekolah negri favorit tidak sedikit mengeluarkan biaya.

Dampak lain dari bentuk alienisasi pengalaman anak ini juga nyata pada tingkat okupansi kos. Tempat kos di sekitaran sekolah favorit yang sebelum sistem zonasi penuh diisi. Kini mengalami kemunduran jumlah penghuninya.

Seorang rekan yang memiliki kos-kosan untuk anak sekolah mengatakan sendiri dampak tersebut. Jika dulu dari 20 kamar kos didominasi anak sekolah SMA favorit dekat tempat tinggalnya. Kini kurang dari setengah kamar kosnya terisi siswa yang belajar jauh dari asal daerahnya.

Solusinya: Sistem Zonasi 20 Tahun Lagi

Dengan gambaran ketimpangan pendidikan kita saat ini, zonasi baiknya diterapkan 20 tahun lagi. Dimana idealnya, sekolah di daerah sampai desa terpencil benar-benar merata. 

Zonasi yang ideal bukan didasarkan laporan pemerataan pendidikan yang semu. Namun data konkrit gambaran Sisdiknas yang holistik. Pun, baiknya laporan pemerataan pendidikan tidak sekadar prinsip ABS.

Menghabiskan anggaran menerapkan sistem PPD online dan zonasi bukan keputusan baik kini. Sekolah favorit yang sudah berdasawarsa dibangun dan dikenal tidak bisa runtuh dengan sistem zonasi.

Namun satu hal yang pasti akan dirasa adalah pembangunan fisik dan non-materiil sekolah di daerah. Sekolah yang bagus membuat siswa tertarik menuntut ilmu. Guru yang berkompeten dan sejahtera membuat sekolah menjadi nyaman. Sisdiknas yang transparan, kredibel, dan mudah akan menjadi bukti kinerja baik pemangku kebijakan pendidikan.

Dari perspektif subjektif orangtua, orangtua yang baik juga tak ingin anaknya bersekolah di daerah yang mereka tahu sejak lama tidak mumpuni. Apalagi jika taraf ekonomi keluarga mapan. Maka bukan tidak mungkin anak mereka pintar dan mampu bersaing di sekolah favorit sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun