Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sistem Sekolah Zonasi Bernuansa Alienisasi

21 Juni 2019   13:45 Diperbarui: 22 Juni 2019   05:32 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
School Girl oleh Rasy Nak - Foto: pexels.com

Terburu-buru dan prematur. Dua ekspresi ini merangkum kebijakan pendidikan nasional kita. Kemendikbud pernah tergesa mencetuskan kebijakan Full Day School yang akhirnya dibatalkan. Atau implementasi keruwetan kebijakan Kurikulum 2013 yang masih belum jenak.

Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) seolah-olah adalah medium eksperimentasi. Pun, banyak yang berasumsi tiap kebijakan adalah ladang proyek baru penyerapan anggaran. Dengan budget APBN 444 triliun lebih, nyatanya kebijakan dan proyek Sisdiknas serasa belum jua beres.

Dan dalam beberapa ke belakang, sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi membuat banyak orangtua sewot. Zonasi yang sekolah idealis pembuat kebijakan Sisdiknas serasa jauh panggang dari api.

PPDB berbasis zonasi telah diatur Permendikbud No 17 tahun 2017. Misi PPDB zonasi tertuang dalam Bab II Tujuan pasal 2 yaitu:

"PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi sehingga mendorong peningkatan akses layanan pendidikan."

Objektif, akuntabel, dan transparan yang dimaksud dalam Permendikbud diatas mengacu pada pasal 3-14. Sedang yang secara khusus mengatur sistem PPDB zonasi adalah pasal 15.

Dengan jelas, pasal ini mengatur kuota untuk peserta didik baru dengan radius zona terdekat adalah 90%. Dengan sisa 5% diperuntukkan untuk siswa jalur prestasi. Dan siswa yang berpindah domisili karena faktor bencana atau sosial sebanyak 5%.

Dikutip dari Harian Rakyat, sistem PPDB zonasi adalah juga untuk meruntuhkan stigma sekolah favorit. Semua sekolah (negri) kini adalah sekolah favorit. PPDB zonasi juga dapat memeratakan jumlah siswa sekolah dalam satu daerah dengan penduduk yang padat.

Harapan utopis dari kebijakan zonasi berbanding terbalik dengan realitas. Zonasi justru menciptakan problem baik untuk sekolah maupun orangtua. Dan dalam kehidupan sosial siswa sendiri, mereka akan merasakan alienisasi. 

Sekolah di beberapa daerah tidak menerapkan sepenuhnya sistem kuota 90% berbasis zonasi. Di tahun 2018 lalu, beberapa sekolah di Bandung menentukan hanya 55%-60% kuota siswa berbasis zonasi. Sedang sisanya didasarkan pada nilai UN.

Seorang kepala sekolah sempat disandera orangtua siswa yang kecewa anaknya tidak lolos ke SMPN 23 Kota Tangerang. Banyak siswa di Sleman Yogyakarta tidak bisa mendaftar di sekolah manapun karena kerumitan zonasi.

Pada 2018 di Jateng, kuota siswa 5% dengan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dimanfaatkan semena-mena. Banyak orangtua siswa mengakali SKTM sebagai celah masuk sekolah favorit. Dari 150 ribu lebih pendaftar dengan SKTM. Ada 78 ribu lebih SKTM bodong siswa SMA/SMK yang didapati.

Berdusta agar anaknya sendiri bisa masuk sekolah favorit adalah buruk. Namun akan lebih tidak bertanggung jawab jika anak bersekolah di sekolah dekat rumah yang tidak terjamin kualitasnya. Sedang kualitas pendidikan di Indonesia, belum merata secara angka dan penilaian subjektif saya pribadi. 

Chains oleh PublicDomainPictures - Foto: pixabay.com
Chains oleh PublicDomainPictures - Foto: pixabay.com

Zonasi, Baik Tapi...

Dikutip dari data BPS dalam laporan Statistik Pendidikan 2017, yang dimaksud pendidikan berkualitas adalah:

".... merupakan jalur yang mampu menciptakan manusia unggul, berkualitas, dan berdaya saing yang kelak menjadi generasi tumpuan harapan bangsa, engine of growth, dan lokomotif pembangunan." (hal. 32).

Ironisnya, tingginya angka partisipasi sekolah (APS), yaitu 97,81%, tidak diiringi peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah. Jumlah ruang kelas untuk SMA mengalami penurunan. Sedang jumlah untuk kelas SMK cenderung stagnan. Ditambah dengan fakta, sekolah swasta baik kualitas dan kuantitas semakin baik. (hal. 14)

Pemerataan pun kian disangsikan jika mengacu pada angka kesiapan sekolah (AKS. Di pedesaan Indonesia, AKS hanya 69.31%. Sedang di daerah perkotaan mencapai 74,50%. Dengan kata lain akses, sarpras, dan kualitas gurunya menjamin ketertarikan siswa untuk bersekolah (hal. 30).

Kemudahan akses sekolah juga bersumbangsih besar pada angka melanjutkan sekolah. Di daerah perkotaan, angka melanjutkan sekolah ke jenjang atas lebih tinggi , 91,37%. Sedang di daerah pedesaan lebih kecil, yaitu 82,70% (hal. 68).

Dari dua jabaran singkat data Statistik Pendidikan 2017 diatas secara implisit didapat. Bahwa secara fisik belum ada pemerataan jumlah fisik sekolah dan kelasnya. Siswa di pedesaan enggan atau urung bersekolah karena jumlah dan kualitas sekolah yang masih dipertanyakan. 

Stagnasi sekolah negri di perkotaan dan desa telah prediksi. Dalam 10 tahun, sekolah negri akan dikalahkan sekolah swasta secara kuantitas dan kualitas. Apalagi jika zonasi hanya berfokus pada pemerataan sebaran kuantitas siswa saja.

Jika banyak orangtua tidak sanggup menyekolahkan anak di sekolah swasta. Maka mau tak mau, mereka mendapati anaknya di sekolah negri dekat tempat tinggal yang apa adanya.

Saya pun sebagai orangtua, memahami keinginan anak dan pribadi untuk masuk sekolah favorit. Bagi banyak orangtua, zonasi juga memberi manfaat. Karena nilai UN dan faktor ekonomi bukan lagi penghambat anak bisa sekolah di SMP/SMA/SMK favorit di kota/kecamatannya.

Alih-alih memeratakan pendidikan secara materil dan imateril. Kemendikbud secara prematur menginisiasi sistem PPDB zonasi. Maka tak ayal dampak sistem zonasi ini berlanjut dari tahun ke tahun.

Zonasi Sebagai Alienisasi Subtil

Yang terjadi saat ini di benak siswa adalah mereka diasingkan. Keinginan mereka untuk mendapat sekolah favorit pupus. Karena mau tak mau, labelisasi sekolah favorit sudah berlangsung lama.

Sedang untuk merubah label sekolah favorit bukan dengan menerapkan zonasi. Apalagi jika pemerataan pendidikan seperti data diatas belum juga optimal. 

Calon siswa mungkin sudah mempersiapkan diri untuk jalur prestasi. Seperti dengan menjuarai kejuaran akademik ataupun non-akademi. Namun yang bisa saja terjadi adalah calon siswa lain yang berprestasi lebih baik, sudah lebih dahulu mengisi kuota 5% tersebut.

Sekolah favorit favorit pun akan diserbu orangtua siswa yang bingung akan zonasi. Ratusan orangtua di Karanganyar mengantri sejak subuh demi registrasi di SMPN 1 Tawangmangu. Di Beji Depok, ratusan orangtua yang mencoba peruntungan masuk SMAN 1 Depok mengantri sejak pukul 6 pagi.

Kekecewaan anak mungkin berfek domino kepada orangtua. Anak akan merasa rendah diri tidak dapat masuk sekolah favorit. Sedang orangtua akan kelimpungan mencari sekolah swasta yang setara atau setidaknya baik.

Sumatra Kids oleh David Mark - Foto: pixabay.com
Sumatra Kids oleh David Mark - Foto: pixabay.com

Pengalaman orangtua yang saya pernah tanya merasa kecewa pada zonasi. Ketika anaknya tidak mau masuk sekolah favorit karena rumahnya jauh dari kota dimana SMA favorit berlokasi. Anaknya pun memilih sekolah swasta Islam cukup mahal di sekitaran Solo.

Orangtua ini mengatakan, sistem zonasi sejatinya mengerdilkan pengalaman hidup anak. Jika seorang anak sudah siap mandiri dengan bersekolah jauh dari rumah. Mengapa sistem zonasi malah membuat anak harus terus dekat dengan orangtuanya?

Apalagi saat orangtua sendiri sudah mengetahui sejak lama mutu sekolah di daerahnya. Maka tak ayal, alternatif sekolah swasta yang setara sekolah negri favorit harus dibuat. Dan sekolah swasta 'setara' sekolah negri favorit tidak sedikit mengeluarkan biaya.

Dampak lain dari bentuk alienisasi pengalaman anak ini juga nyata pada tingkat okupansi kos. Tempat kos di sekitaran sekolah favorit yang sebelum sistem zonasi penuh diisi. Kini mengalami kemunduran jumlah penghuninya.

Seorang rekan yang memiliki kos-kosan untuk anak sekolah mengatakan sendiri dampak tersebut. Jika dulu dari 20 kamar kos didominasi anak sekolah SMA favorit dekat tempat tinggalnya. Kini kurang dari setengah kamar kosnya terisi siswa yang belajar jauh dari asal daerahnya.

Solusinya: Sistem Zonasi 20 Tahun Lagi

Dengan gambaran ketimpangan pendidikan kita saat ini, zonasi baiknya diterapkan 20 tahun lagi. Dimana idealnya, sekolah di daerah sampai desa terpencil benar-benar merata. 

Zonasi yang ideal bukan didasarkan laporan pemerataan pendidikan yang semu. Namun data konkrit gambaran Sisdiknas yang holistik. Pun, baiknya laporan pemerataan pendidikan tidak sekadar prinsip ABS.

Menghabiskan anggaran menerapkan sistem PPD online dan zonasi bukan keputusan baik kini. Sekolah favorit yang sudah berdasawarsa dibangun dan dikenal tidak bisa runtuh dengan sistem zonasi.

Namun satu hal yang pasti akan dirasa adalah pembangunan fisik dan non-materiil sekolah di daerah. Sekolah yang bagus membuat siswa tertarik menuntut ilmu. Guru yang berkompeten dan sejahtera membuat sekolah menjadi nyaman. Sisdiknas yang transparan, kredibel, dan mudah akan menjadi bukti kinerja baik pemangku kebijakan pendidikan.

Dari perspektif subjektif orangtua, orangtua yang baik juga tak ingin anaknya bersekolah di daerah yang mereka tahu sejak lama tidak mumpuni. Apalagi jika taraf ekonomi keluarga mapan. Maka bukan tidak mungkin anak mereka pintar dan mampu bersaing di sekolah favorit sekalipun.

Sekolah swasta mahal bukan pilihan bagi siswa dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sekali pun anak mereka berprestasi dan pintar. Sistem zonasi bisa memenjarakan potensi akademik dan life skill mereka.

Masa 20 tahun dari sekarang mungkin cukup lama. Dan bisa jadi terasa cukup tidak mungkin diraih. Namun fokus para pembuat kebijakan Sisdiknas kita ada baiknya tidak terdiversifikasi pada kebijakan instrumental macam zonasi.

Kebutuhan fundamental pendidikan seperti bangunan fisik sekolah, sarpras yang baik, guru kompeten dan sejahtera, kurikulum yang menunjang, dan sisdiknas yang transparan dan aksesibel ditingkatkan dan dievaluasi. 

Jangan kebijakan bersifat memaksa, sporadis dan guna menyerap anggaran semata. Kebijakan yang terlalu urbanistik dan tak mengingklusi corak kedaerahan Indonesia juga akan sia-sia.

Salam,

Wonogiri, 21 Juni 2019

01: 45 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun