Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jurnalisme, Badai Disinformasi, dan Indonesia

1 Februari 2019   14:17 Diperbarui: 1 Februari 2019   20:22 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Question Mark oleh qimono - Foto: pixabay.com

Dan ranah jurnalisme wajib berperan penting saat ini. Selain dominan dan aktif dalam membendung disinformasi. Jurnalisme juga wajib turut membekali generasi saat tentang disrupsi informasi ini.

"Journalism, Fake News, and Disinformation" dan Indonesia

UNESCO di tahun 2017 mempublikasi sebuah handbook berjudul 'Journalism, Fake News, and Disinformation'. Bersama banyak akademisi dan praktisi journalisme dunia buku ini dibuat praktikal dan straight to the point. Dan tentu dengan banyak sumber referensi yang bisa ditelusur.

Handbook ini menjadi panduan praktis untuk akademisi, pegiat literasi informasi, jurnalis dan publik sendiri dalam menghadapi era disrupsi teknologi 4.0.

Di banyak negara, buku ini telah dibahas dan diadaptasi. Selain praktis, modul-modul dalam buku memberi gambaran komprehensif isu disinformasi dan solusinya. Mulai dari isu gambaran post-truth, transformasi industri berita, fact-checking, sampai persekusi daring untuk jurnalis. 

Dan yang lebih penting, e-book Journalism, Fake News and Disinformation ini bebas diunduh dan diakses. Link unduh ada di akhir artikel ini.

Indonesia pun tak luput dari perhatian UNESCO menyoal isu disiformasi dan era journalisme 4.0 ini.  Bersama Fisipol UGM, UNESCO menggelar workshop yang mendiskusikan dan mengkontekstualisasi buku panduan UNESCO untuk Indonesia. 

Bersama para akademisi, jurnalis, dan praktisi jurnalisme dalam workshop tersebut. Kekhasan literasi informasi, distribusi, dan dampak disrupsi di Indonesia didiskusikan. Setelah diterjemahkan dan dikontekstualisasi. Buku panduan diharapkan bisa diimplementasikan dan diacu akademisi, jurnalis, dan pegiat literasi digital di Indonesia. 

Baik akademisi dan jurnalis, banyak mengutarakan keprihatinan terhadap disinformasi yang terjadi di Indonesia di forum ini. Produksi dan distribusi mis/disinformasi di Indonesia kian masif dan meresahkan. Gawai memungkinkan misinformasi kian personal. Apalagi dikaitkan pada preferensi politik saat ini.

Akibatnya, polarisasi politik kian nyata. Bagi para jurnalis, mengurai kebenaran dari mindset post-truth macam ini kian pelik. Independensi dan kredibilitas media pun terseret dalam friksi polarisasi pasangan Capres-Cawapres seperti saat ini. Tak pelak, pengejawantahan kode etik jurnalistik pun menjadi perdebatan.

Sambutan dari Perwakilan UNESCO untuk ASEAN - Foto: Dokumentasi Panitia
Sambutan dari Perwakilan UNESCO untuk ASEAN - Foto: Dokumentasi Panitia
Bahkan portal berita digital kini bisa didirikan dan dikelola oleh oknum non-jurnalis. Banyak sekali portal berita digital disinyalir tidak pernah diverifikasi oleh Dewan Pers atau AJI. Namun karena alasan finansial atau kepentingan politik tertentu. Portal berita seperti ini tumbuh subur di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun