Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

7 Kontainer Surat Suara Tercoblos dan Propaganda FUD

3 Januari 2019   22:58 Diperbarui: 3 Januari 2019   23:24 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Confused - Ilustrasi: machinatorium.wordpress.com

"We're more prone to lie to those we like than to those we dislike" Bella DePaulo (1986) dalam Ralph Keyes - The Post Truth Era (2004)

Desas-desus menyoal tercoblosnya surat suara KPU dalam 7 kontainer di Tanjung Priok membuat gaduh linimasa kemarin. Para politisi dan publik figur ikut menyebarkan rumor tersebut via sosmed. Publik pun dibuat takut, was-was, dan meragukan pihak-pihak tertuduh. Yang antara lain KPU, kepolisian, dan juga kubu Capres nomor urut 01 sebagai rezim.

Walau faktanya, kasak-kusuk diatas adalah kebohongan. KPU belum mencetak surat suara. Sedang kontainer yang diperiksa pihak kepolisian tidak ditemukan surat suara apapun. Timses kubu 01 segera menuduh politisi opisisi menyebar hoaks. Namun, netizen dan publik masih dibuat bingung dengan fakta yang ada. Mulai dari tuduhan teori konspirasi dan media pendukung rezim masih diobrolkan di linimasa atau grup chat.

Tidak ada kebenaran selain kebenaran yang dibenarkan secara personal atau komunal. Konvensi kebenaran menjadi relatifitas dan pragmatisme mayoritas. Kita sedang memasuki era Post-Truth seperti Ralph Keyes uraikan dalam bukunya. Dan dalam era ini Fear, Uncertainty and Doubt (FUD) menjadi kunci memenangkan kebenaran.

Dan saya kira, kebohongan yang difabrikasi oleh satu pihak tidak ditujukan langsung untuk pihak oposisi. Keyes (2004) menguraikan hasil riset seorang psikolog Bella DePaulo tentang kebohongan. 

Dan dalam risetnya selama 2 dekade, DePaulo menemukan bahwa kita cenderung lebih suka berbohong pada orang terdekat. Sedang jarang atau tidak pernah pada orang yang jauh secara personal dengan kita.

Yang terjadi dalam model sirkulasi FUD dalam Pilpres ini pun serupa hasil riset DePaulo. Hoaks pertama kali disebarkan dan ditujukan bagi pendukung atau simpatisan. Jika momentum sudah didapat dan kubu berseberangan terpancing berdebat. Maka tak langsung kubu oposisi pun menyebarkan hoaks yang dibuat kubu sebelah.

Dalam kasus berita 7 kontainer surat suara tercoblos bisa diilustrasikan sbb. Pendukung Capres nomor urut 02 pertama kali diberitahu rumor tersebut. Sehingga kegaduhan linimasa dan grup chat pun terjadi. Kubu Capres 01 pun ikut turut meramaikan dengan mencoba menyangkal desas-desus tadi.

Publik dibuat takut dengan rumor puluhan surat suara Capres yang sudah dicoblos. Lalu timbul ketidakpastian akan kredibilitas KPU pada Pemilu yang Luber Jurdil. Walau fakta sudah dibeberkan, publik masih dibuat kebingungan dengan 'ekstra' rumor yang muncul setelahnya. 

Truth - Ilustrasi: publicseminar.org
Truth - Ilustrasi: publicseminar.org
Apalagi bagi lingkar filter bubble pada kubu Capres 02. Bagi mereka, berita ini bisa jadi dianggap benar. Karena apa yang dimunculkan lingkar komunalnya dianggap sebagai kebenaran. Sedang apapun kebenaran yang dibeberkan pihak berlawanan akan cenderung dilabeli bohong.

Namun yang publik tangkap dan fahami adalah hoaks tadi ditujukan untuk kubu sebelah. Cuitan politisi oposisi memiliki anasir untuk menyerang kubu sebelah. Karena domain sosmed yang sifatnya publik dan real-time. Baik pendukung kedua kubu pun berkerumun mendebatkan rumor yang ditampilkan tokoh-tokoh prominen.

Entah siapa yang mendalangi fabrikasi hoaks surat suara ini. Untuk lalu diinisiasi menjadi narasi yang begitu provokatif. Dan kemudian didiseminasi ke linimasa atau grup chat. Namun yang pasti, kabar bohong ini bisa jadi ditujukan dan disebarkan dalam lingkar pendukungnya pertama kali. 

Saat unsur dan momentum FUD dalam inner circle pendukung didapat. Tak ayal, para simpatisan atau bahkan swing voter yang menyebarkan hoaks ini ke luar lingkar pendukung. Mungkin pola seperti ini yang pernah saya ulas secara implisit pada berita hoaks Ratna Sarumpaet dulu. 

FUD secara masif dan terstruktur pun menyebar ke publik dan media arus utama. Dan tak jarang dilakukan berulang dan dalam runtutan frekuensi tertentu. Pola yang terlihat adalah Firehose of Falsehood (FoF) atau corong kebohongan. Publik dibuat takut, was-was dan bingung akan fakta informasi yang ada. Karena setiap pihak mengaku kebenaran adalah milik mereka.

Propaganda FUD yang berulang, masif, sistematis ini konon memenangkan Trump di US dan Bolsonaro di Brazil. Duterte pun kabarnya masih memfasilitasi FUD guna merepresi para aktifis dan komunitas yang vokal pada pemerintah. Sedang juncta militer Myanmar telah berhasil memobilisasi publik dengan sentimen rasis dengan insinuasi FUD di dalamnya.

Dan kini kita tinggal menalar bersama. Apakah propaganda FUD yang melahirkan pola FoF sedang terjadi di Indonesia?

Salam,
Solo, 03 Januari 2018
10:58 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun