Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Sarjana Menganggur Meningkat di Indonesia?

17 Mei 2018   12:12 Diperbarui: 17 Mei 2018   14:34 11782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hire Me - ilustrasi: worldofbuzz.com

"Kalau cuma menganggur di rumah, buat apa dulu kuliah? Sudah sana, pakai saja ijazah SMA untuk daftar kerja."

Mungkin pernah terbersit pikiran demikian di benak para fresh-graduates. Sebuah realita pahit dunia kerja yang kian kompetitif dan inovatif. Selain jumlah lulusan S1 tinggi dan tidak terserap. Ada disrupsi teknologi yang mengubah peta industri di era informatika. Saat pekerjaan kian high-tech, para lulusan S1 tidak banyak faham teknologi. Saat teknologi dipelajari sendiri, bidang studi pun tidak sesuai pekerjaan.

Menurut data BPS terbaru 2018, hampir 8% dari total 7 juta lebih sarjana menganggur. Angka ini meningkat 1,13% dari tahun 2017. Namun menurut Kemenristek Dikti, di tahun 2017 sarjana pengangguran mencapai 8,8%. Jumlahnya mencapai lebih dari 630 ribu orang. Sedang para lulusan SMK, SMA dan SMP menunjukkan penuruana. Lulusan SD-lah yang mudah terserap di dunia kerja.

Dari indikasi data di atas mengungkap terjadi perbaikan ekonomi. Namun, penyerapan tenaga kerja lebih condong ke pekerjaan non-formal dan informal. Pekerjaan yang tidak membutuhkan ketrampilan dan pendidikan tinggi menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dan lulusan non-sarjana lebih banyak menempati bidang kerja seperti ini.

Banyak faktor yang menyebabkan sarjana lebih banyak menganggur. Ada beberapa poin yang saya petik dan telaah dari isu ini.

Pertama, menurut Menristek Moh. Nasir isu ini muncul karena sarjana yang berdaya saing dan adaptasi rendah. Saat dunia kerja sudah berkembang pesat dalam hal teknologi, banyak kampus masih berpola konservatif dalam mengajar. Relevansi kebutuhan pekerjaan dan kurikulum perguruan tinggi yang tidak saling melengkapi. 

Menurut pemetaan penyerapan tenaga kerja, serapan kerja level sarjana memprihatinkan. Dengan kisaran 17,5%, angka serapan naker ini jauh lebih kecil dari level non-S1. Untuk tingkat SMA/SMK mampu mencapai 80%. Sedang pada level SD mencapai angka 60%. 

Kedua, menurut saya pribadi kurang kreatifnya kampus. Minimnya visi ke depan menghadapi era ICT, membuat lulusan gagap kemajuan. Kampus-kampus masih berpatron pada pola konservatif mengajar. Mungkin ada kemajuan yang dibuat. Namun nilai lebih tadi tak lebih melengkapi poin akreditasi KKNI.

Padat dan njlimetnya perihal akreditasi kadang menjebak perguruan tinggi. Coba berinovasi dan ciptakan perspektif visioner untuk bidang studi. Misalkan, sebuah jurusan Pendidikan Guru SD tidak melulu mengajar di kelas. 

Coba berinovasi membuat kelas virtual untuk anak SD. Ajak ahli di bidang ICT terlibat. Dan pada pembelajarannya, dimasukkan literasi media dan digital. Hal ini berisiko. Namun yakinlah 5-10 tahun lagi dibutuhkan kelas seperti ini.

Dokumen Lamaran Pekerjaan - ilustrasi: edwardrhidwan.com
Dokumen Lamaran Pekerjaan - ilustrasi: edwardrhidwan.com
Ketiga, individu dosen yang pragmatis dalam bidang ilmunya. Dalam hal ini, apa-apa yang tidak sesuai apa yang dipelajari cukup dinafikan. Terjadilah kekeruhan akademis. Isu ini menyimbolisasi ke-akuan dalam bidang ilmunya. Alih-alih kritik pada ilmu menjadi pendorong ilmu yang ditekuni. Kritik adalah disrupsi. Pun kadang, hal-hal yang tidak bernilai ekonomis untuknya tidak begitu diindahkan.

Landasan tridarma perguruan tinggi kadang dilakukan semata untuk cum atau poin naik pangkat. Mengajar menjadi rutinitas yang kadang tidak penuh inovasi. Penelitian pun kadang hanya hal itu-itu saja. Sehingga tak heran jurnal ilmiah banyak di Scopus. Namun tidak banyak disitasi. Pengabdian pun kadang masyarakat hanya sebatas dilakukan dan dilaporkan. 

Keempat, status quo sistem pendidikan ala bisnis. Kembali, perguruan tinggi pun kini berpagu pada revenue. Dengan PTN yang kurang dari 150, banyak yang memilih PTS. Pada PTS unggul dengan uang gedung tinggi dan SPP selangit, lulusan bisa dijamin bagus. Namun bagaimana nasib lulusan PTS biasa-biasa aja, yang jumlahnya lebih dari 3,000 institusi?

Mendidik lulusan SMA yang sudah unggul mungkin lebih mudah. Mereka bisa mandiri dan sadar mau diapakan ilmunya setelah lulus sarjana. Sedang bagaimana dengan mereka yang 'pokoknya kuliah'. Konon daripada menganggur di rumah, lebih baik kuliah. Sedang ditanya cita-cita setelah lulus saja mereka masih berpikir lama. 

Andai suatu waktu, dosen di PTN/PTS terbaik mengajar mahasiswa seperti ini. Jika bisa membentuk mindset yang mungkin unggul. Maka itulah saya kira makna pendidikan. Lulusan bisa jadi setara dan layak untuk menghadapi dunia kerja. Pun mereka bisa siap membuat lingkup kerja sendiri. Dari kreativitas ilmu dan teknologi yang sudah dipelajari, saya yakin mereka mampu.

Membicarakan pendidikan adalah membicarakan celanya. Karena yang menilai pendidikan kita maju dan berarti adalah generasi nanti. Bisa 5 sampai 10 tahun dari sekarang. Namun, saat cela pendidikan terus direvitalisasi dengan placebo berupa proyek tak visioner. Maka jangan banyak berharap pendidikan bisa dipandang unggulnya.

Referensi: bps.go.id | katadata.co.id | pikiran-rakyat.com | tirto.id 

Salam,

Solo, 17 Mei 2018

12:18 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun