Indonesia adalah negara yang menerapkan prinsip Trias Politica. Trias Politica merupakan pembagian kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga komponen, yaitu:
- Eksekutif adalah lembaga yang bertugas melaksanakan undang-undang dan mengelola pemerintahan (Presiden, ASN, Gubernur, Bupati, Wali Kota).
- Legislatif adalah lembaga yang bertanggung jawab dalam merumuskan undang-undang, peraturan daerah, dan melakukan pengawasan (DPR, MPR, DPD).
- Yudikatif adalah lembaga yang berfungsi untuk penegakan hukum dan bertanggung jawab memastikan hukum dijalankan dengan benar (MA, MK, KY).
Tujuan dari konsep Trias Politica adalah untuk mencegah adanya konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan penyalahgunaan oleh salah satu lembaga. Pemikiran John Locke yang dikembangkan oleh Montesquieu bertujuan agar negara menjadi lebih stabil, dan pemerintahan lebih adil melalui penerapan Trias Politica. Namun, kenyataan yang terjadi di Indonesia sangat jauh dari harapan tersebut. Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia mengalami ketidakpuasan yang meluas, dipicu oleh viralnya informasi terkait gaji anggota DPR dan reaksi beberapa anggota DPR mengenai situasi yang sedang berlangsung.
TB Hasanuddin, anggota Komisi I DPR, menyampaikan bahwa gaji yang diperoleh anggota DPR mencapai Rp 100 Juta per bulan, ditambah Rp 50 Juta sebagai tunjangan tempat tinggal. Tidak hanya TB Hasanuddin yang mengomentari soal pendapatan DPR. Adies Kadir sebagai wakil ketua DPR juga menyatakan dengan jelas bahwa dalam 15 tahun terakhir, gaji pokok tidak naik, hanya beberapa tunjangan yang mengalami peningkatan.
Rasa gelisah dan emosi masyarakat terlihat ketika tunjangan tersebut dibahas. Di tengah ketidakstabilan negara, pemerintah justru mampu menaikkan gaji yang dianggap tidak wajar. Tunjangan yang sangat besar tidak sebanding dengan kinerja yang dihasilkan oleh DPR-RI. Gaji dan tunjangan yang menguntungkan bagi pihak DPR mudah sekali diadakan. Sementara itu, pendapatan buruh dan guru bisa dikatakan tidak layak. Bahkan saat permintaan perubahan gaji guru di DPR, hanya diberikan tambahan sebesar Rp 500. 000 per bulan.
Ketimpangan telah diperlihatkan oleh DPR sebagai wakil rakyat. Istilah ‘wakil rakyat’ seharusnya berfungsi sebagai pelindung dan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Namun, harapan beberapa masyarakat terhadap DPR kini tidak sesuai. Kepentingan pribadi lebih diutamakan, dan mengabaikan segala kebutuhan masyarakat yang masih belum terpenuhi. Akibatnya, banyak orang melakukan aksi demonstrasi yang anarkis di berbagai daerah, seperti Jakarta, beberapa daerah Jawa, dan Makassar. Aktivitas ini tidak hanya sebatas pada demonstrasi biasa, melainkan juga termasuk penjarahan yang dilakukan di rumah sejumlah tokoh seperti Sri Mulyani, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Ahmad Sharoni.
Masyarakat secara bersamaan menyerukan agar DPR diberhentikan, tetapi apakah DPR bisa dibubarkan?
Dalam hukum yang tertulis pada Pasal 7C UUD 1945, disebutkan bahwa “Presiden tidak boleh membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal tersebut menjelaskan bahkan orang yang memiliki kedudukan tertinggi di negara ini tidak dapat menghentikan DPR-RI. UUD 1945 juga tidak mencantumkan lembaga mana saja yang diizinkan untuk memberhentikan DPR dari kedudukannya sebagai lembaga legislatif. Perubahan hanya dapat dilakukan melalui pemilihan anggota DPR selama 5 tahun sekali. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat sebaiknya memilih DPR yang memiliki visi dan misi yang mengutamakan integritas dan kepentingan bersama.
Jika masyarakat pintar, maka akan melahirkan pemimpin yang bijak. Mari lakukanlah pemilihan tanpa memandang pemberian uang yang dilakukan oleh oknum-oknum calon lembaga manapun. Semakin besar uang yang kamu dapatkan untuk memilih, maka semakin besar juga tindakan korupsi dan sikap mengabaikan kepentingan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI