Mohon tunggu...
gina sinaga
gina sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah pribadi yang terbuka, suka mencoba hal baru, dan senang berinteraksi dengan orang lain. Hobi saya membaca, menulis, serta mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Human Capital adalah Game Chager:Mengapa Investasi pada Karyawan adalah Masa Depan Bisnis

4 Oktober 2025   13:25 Diperbarui: 4 Oktober 2025   13:37 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika berbicara tentang investasi, bayangan perusahaan biasanya tertuju pada pembelian mesin baru, pengembangan teknologi, ekspansi pasar, atau peningkatan strategi pemasaran. Semua itu memang penting. Namun, ada satu bentuk investasi yang sering terabaikan padahal dampaknya signifikan: investasi pada kebahagiaan dan kesejahteraan karyawan.

Karyawan bukan sekadar roda penggerak perusahaan, melainkan inti dari setiap keberhasilan. Perusahaan dengan teknologi paling canggih sekalipun tidak akan bertahan lama tanpa dukungan tenaga kerja yang loyal, produktif, dan berdedikasi. Inilah mengapa membahagiakan karyawan bukan semata soal "kebaikan hati" manajemen, melainkan strategi bisnis yang cerdas.

Kesejahteraan karyawan tidak hanya diukur dari besarnya gaji. Kompensasi yang layak memang menjadi fondasi utama, tetapi kebahagiaan juga lahir dari lingkungan kerja yang sehat, kesempatan berkembang, rasa dihargai, serta hubungan harmonis dengan atasan dan rekan sejawat. Teori hierarki kebutuhan Maslow mengajarkan bahwa manusia baru bisa mencapai aktualisasi diri setelah kebutuhan dasar fisik dan rasa aman terpenuhi. Sementara Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 1985) menekankan pentingnya pemenuhan tiga kebutuhan psikologis: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial. Artinya, sekadar memberi gaji tinggi tidak akan cukup jika perusahaan mengabaikan dimensi emosional dan sosial karyawan.

Dukungan empiris untuk hal ini sangat kuat. Laporan State of the American Workplace oleh Gallup (2016) menunjukkan bahwa karyawan yang engaged mereka yang merasa diperhatikan, dihargai, dan dilibatkan memiliki produktivitas 17% lebih tinggi. Fenomena ini sejalan dengan Hawthorne Effect, di mana kinerja pekerja meningkat ketika mereka merasa diperhatikan. Dengan kata lain, perhatian utuh terhadap karyawan bukan hanya meningkatkan motivasi, tetapi juga mendorong kreativitas dan produktivitas.

Lebih dari itu, karyawan yang bahagia cenderung menunjukkan loyalitas tinggi sehingga menekan angka perpindahan karyawan (turnover). Menurut Work Institute (2020), biaya mengganti satu karyawan dapat mencapai 33% dari gaji tahunannya. Sementara Gallup mencatat,turnover karyawan yang tidak engaged menyebabkan kerugian hingga US$450–550 miliar per tahun bagi perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Di Indonesia, meski data spesifiknya terbatas, tingginya turnover pada sektor-sektor tertentu seperti teknologi dan jasa telah menjadi perhatian serius para pelaku bisnis.

Dampaknya tidak berhenti di internal organisasi. Energi positif dari karyawan yang sejahtera ternyata menular kepada pelanggan. Studi Harvard Business Review mengungkap bahwa perusahaan yang berfokus pada employee well-being mencatat tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi. Contoh nyata dapat dilihat pada Google dan Salesforce. Kedua raksasa teknologi ini konsisten mengutamakan kesejahteraan karyawan melalui budaya kerja inklusif, program pengembangan karir, dan lingkungan kerja yang inspiratif. Hasilnya, mereka tidak hanya menduduki peringkat teratas dalam Great Place to Work, tetapi juga mencatat kinerja finansial yang gemilang.

Sebaliknya, perusahaan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan kesejahteraan karyawan justru menuai konsekuensi serius. Tekanan kerja tinggi tanpa kompensasi yang adil memicu stres, penurunan kualitas kerja, dan gelombang turnover. Dampaknya tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menggerus reputasi dan keberlangsungan bisnis.

Membahagiakan karyawan tidak selalu memerlukan biaya besar. Langkah-langkah sederhana sering kali justru paling efektif dalam menciptakan komunikasi terbuka antara pimpinan dan bawahan, memberikan apresiasi atas pencapaian sekecil apa pun, menawarkan fleksibilitas kerja yang seimbang dengan kehidupan pribadi, dan menyediakan ruang kerja yang nyaman. Hal-hal ini mungkin terlihat sepele, tetapi penelitian membuktikan bahwa faktor non-finansial seperti pengakuan dan dukungan sosial memiliki dampak  

Pada akhirnya, perusahaan perlu menyadari bahwa karyawan bukan sekadar aset, melainkan mitra yang berharga. Menjadikan kesejahteraan mereka sebagai prioritas adalah investasi jangka panjang yang menghasilkan keuntungan berlipat. Produktivitas meningkat, reputasi membaik, kepuasan pelanggan terdongkrak, dan keuntungan finansial menjadi lebih stabil.

Oleh karena itu, membahagiakan karyawan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan. Investasi terbaik tidak hanya diukur dari laba tahunan atau pertumbuhan pasar, melainkan dari sejauh mana perusahaan mampu menumbuhkan kebahagiaan orang-orang yang setiap hari bekerja untuk membesarkan namanya. Sebab, pada hakikatnya, kesejahteraan karyawan adalah modal yang tidak ternilai dan akan terus memberi hasil, bahkan ketika investasi lainnya gagal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun