"Kejahatan bukan hanya siapa yang melanggar hukum, tetapi siapa yang membuat hukum dan siapa yang ditunjuk sebagai pelakunya."
Ketika kita berbicara tentang kejahatan, bayangan yang muncul sering kali adalah sosok individu yang mencuri, membunuh, atau menipu seseorang yang dengan sadar melanggar hukum. Namun dalam pemikiran Marxis, kejahatan tidak sesederhana itu. Ia tidak hanya dilihat sebagai perbuatan menyimpang dari norma hukum, tetapi sebagai manifestasi dari struktur sosial yang timpang. Marxisme menantang kita untuk melihat hukum bukan sebagai institusi netral, tetapi sebagai refleksi dari kekuasaan kelas dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, pertanyaan mendasar bukan hanya "siapa yang melanggar hukum?", tetapi "siapa yang membuat hukum dan untuk siapa hukum itu bekerja?"
Hukum sebagai Cermin Kekuasaan Kelas
Menurut Karl Marx, "hukum hanyalah kehendak kelas penguasa yang diangkat menjadi hukum umum" (Das Kapital, 1867). Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam masyarakat kapitalis, hukum bukanlah hasil dari kehendak bersama (volont générale), sebagaimana dibayangkan oleh filsuf seperti Rousseau, tetapi merupakan instrumen dominasi kelas.
Hukum terbentuk dalam kerangka struktur ekonomi. Dalam A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), Marx menjelaskan bahwa basis (struktur ekonomi) menentukan superstruktur (termasuk hukum, politik, ideologi). Dengan kata lain, hukum diciptakan dan dijalankan untuk mempertahankan kepemilikan alat produksi oleh kelas borjuis dan menundukkan kelas prproletariat.
Contohnya dapat dilihat dalam undang-undang ketenagakerjaan yang membatasi hak mogok kerja, atau hukum pertanahan yang menghalangi akses petani terhadap tanah. Dalam kasus ini, hukum bukan melindungi masyarakat secara keseluruhan, tetapi mempertahankan status quo yang menguntungkan minoritas kaya.
Konstruksi Sosial terhadap Kriminalitas
Kriminalitas dalam Marxisme dipandang sebagai fenomena sosial yang dikonstruksi, bukan semata hasil dari kehendak bebas individu. Pemikir Neo-Marxis seperti Richard Quinney dalam bukunya The Social Reality of Crime (1970) berargumen bahwa "definisi kejahatan dibuat oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk melindungi kepentingan mereka sendiri."
Konsep ini berarti bahwa tindakan dianggap kriminal bukan karena inheren salah secara moral, tetapi karena mengancam kepentingan kelas penguasa. Di satu sisi, pencurian kecil oleh rakyat miskin segera dihukum berat, sementara di sisi lain, pencurian besar-besaran oleh korporasi diberi ruang legal untuk bernegosiasi dan lolos dari jerat hukum.
William Chambliss, dalam studinya The Saints and the Roughnecks (1973), menunjukkan bahwa dua kelompok remaja yang melakukan pelanggaran yang serupa diperlakukan sangat berbeda oleh sistem hukum semata-mata karena status kelas dan penampilan sosial mereka. Chambliss menyimpulkan bahwa sistem hukum menciptakan dan memperkuat stereotip sosial yang menguntungkan kelompok dominan.
Hukum sebagai Aparatus Ideologis Negara
Dalam pandangan Louis Althusser, hukum bukan hanya alat represi (seperti polisi dan militer), tetapi bagian dari Ideological State Apparatus (ISA) yang membentuk kesadaran masyarakat agar tetap patuh kepada tatanan kapitalis. Dalam tulisannya Ideology and Ideological State Apparatuses (1970), Althusser menulis bahwa "ideologi bekerja melalui institusi-institusi seperti sekolah, gereja, media, dan hukum, untuk menanamkan nilai-nilai yang mendukung dominasi kelas."
Hukum menciptakan ilusi bahwa ia bekerja atas dasar keadilan netral. Padahal, fungsi utamanya adalah menjaga stabilitas sistem kapitalis melalui legitimasi simbolik. Dalam konteks ini, hukum memainkan peran ganda:
- Menampilkan dirinya sebagai institusi rasional dan adil, agar masyarakat percaya bahwa sistem hukum melindungi semua orang secara setara.
- Menutupi kekerasan struktural, seperti pengangguran, upah rendah, diskriminasi, dan ketimpangan sosial, yang sebenarnya merupakan hasil sistemik dari kapitalisme itu sendiri.