Religious trauma atau trauma keagamaan adalah kondisi psikologis yang dapat timbul ketika seseorang, termasuk anak-anak, mengalami tekanan, rasa takut, atau penderitaan emosional akibat praktik keagamaan yang bersifat otoriter, penuh ancaman, dan menutup ruang untuk pertanyaan atau keraguan. Meskipun ajaran agama sering kali bertujuan membimbing ke arah kebaikan, dalam praktiknya, ada kalanya nilai-nilai tersebut disampaikan dengan cara yang justru membebani kesehatan mental, terutama pada anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan identitas dan emosi.
Menurut Dr. Marlene Winell, seorang psikolog yang mencetuskan istilah Religious Trauma Syndrome (RTS), trauma keagamaan bisa muncul ketika individu---termasuk anak-anak---menginternalisasi ajaran agama secara ekstrem, terutama yang penuh ancaman hukuman kekal, larangan keras terhadap keraguan, serta kontrol yang berlebihan atas pikiran dan perilaku. Dalam konteks anak-anak, lingkungan keagamaan yang kaku bisa menyebabkan rasa takut permanen terhadap dosa dan neraka, bahkan atas tindakan-tindakan kecil yang sebetulnya wajar dalam tahap pertumbuhan.
Anak-anak yang dibesarkan di lingkungan seperti ini sering kali mengalami gangguan seperti kecemasan kronis, rasa bersalah berlebihan, rendahnya harga diri, dan kesulitan mengambil keputusan karena takut salah secara moral. Winell mencatat bahwa dampak ini mirip dengan efek dari pelecehan psikologis (emotional abuse), karena anak dipaksa tunduk pada sistem kepercayaan tanpa hak untuk bertanya atau mengeksplorasi perasaan mereka secara bebas.
Selain itu, psikolog perkembangan seperti Erik Erikson menunjukkan bahwa masa kanak-kanak adalah fase penting dalam pembentukan identitas. Jika anak dibatasi dalam mencari makna hidupnya dan dipaksa menerima satu narasi keagamaan tanpa ruang untuk diskusi atau pertumbuhan spiritual yang sehat, maka proses pencarian jati diri bisa terhambat. Hal ini dapat menyebabkan konflik batin, penolakan diri, bahkan ketergantungan pada otoritas eksternal dalam mengambil keputusan, karena mereka tidak pernah belajar mempercayai intuisi dan pemikiran sendiri.
Dalam kasus yang lebih ekstrem, anak yang menunjukkan minat atau identitas yang tidak sesuai dengan norma agama---misalnya dalam hal orientasi seksual, cara berpikir kritis, atau gaya hidup---sering kali dikucilkan atau ditekan agar "bertobat." Ini dapat menyebabkan trauma mendalam, terutama jika terjadi di dalam keluarga sendiri. Banyak anak yang akhirnya mengalami depresi, penyalahgunaan zat, hingga pikiran untuk bunuh diri sebagai akibat dari ketegangan antara identitas diri dan tuntutan agama.
Karenanya, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memperhatikan cara mereka menyampaikan nilai-nilai agama. Pendidikan agama seharusnya dibangun dengan kasih sayang, dialog terbuka, dan penghormatan terhadap proses berpikir anak. Anak perlu diberi ruang untuk bertanya, mengalami keraguan, dan mengembangkan spiritualitasnya sendiri secara sehat. Seperti yang ditegaskan oleh psikolog Dr. Lisa Miller, dalam bukunya The Spiritual Child, spiritualitas yang dibangun secara sehat---dengan cinta, kebebasan, dan pengertian---dapat memperkuat kesehatan mental dan kesejahteraan anak, bukan malah melukai mereka.
Dengan demikian, memahami potensi religious trauma bukan berarti menolak agama, tetapi justru menjadi pengingat penting agar nilai-nilai spiritual ditanamkan dengan penuh empati, sehingga agama menjadi sumber harapan dan ketenangan---bukan ketakutan dan luka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI