
Dalam baris puisinya, Gie jatuh cinta pada Pangrango yang dingin dan sepi. Kalimat Gie adalah kalimat yang paling mewakilkan segala syahdu yang kurasa di sini, kendati keagungan Pangrango dan Mandalawangi-nya jauh lebih lapang dan jelas lebih dalam dari kata-kata itu. Aku sadar, Mandalawangi adalah kenyataan yang akan sangat sementara, maka itu aku enggan terburu berlindung ke tenda. Seraya telapak tangan meremas dan mengurut-urut betis dengan Geliga Krim agar #bebaspegal, kunikmati hangatnya yang terus membakar, bersama dengan sapuan angin dingin yang menguliti tubuh dan menikam hidung, saat awang-awang petang terus terperosok ke jurang.

Rupanya, seharusnya hidup sungguh-sungguh sederhana, bebas dari segala pongah tingkah dan kecemasan akan tahta serta nama. Tak seperti hidup manusia rakus.
Langit melegam dan malam tiba begitu hitam. Kami masak di kolong langit yang berhias gemintang, mencoba melawan rendahnya suhu yang menyergap, sebelum terempas dalam tidur yang amat nyenyak. Sesekali guntur meletup-letup, namun Mandalawangi menenangkan mimpi kami bagai seorang bunda, juga berhasil memperdaya langit agar tak menerjunkan hujannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI