Si dempet Gede-Pangrango selalu mengutus rasa rindu untuk mengintai tiap pendaki yang baru saja mencicipinya, pun dengan aku. Sudah dua kali aku ke sana, lalu pulang ditawan rindu. Selain rindu, aku memang berutang pada Pangrango. Satu musim yang lalu, rencana singgahku ke Pangrango urung oleh satu dan lain hal. Saat itu, aku menyimpang ke Gede dengan Alun-alun Suryakencana-nya yang legendaris.
Sejauh empat pendakian yang sudah kucentang, si dempet inilah yang paling lain, lebih-lebih bila ia kita daki dari Cibodas. Selain menyelami zamrud rimba yang sejuk nan lembab, pendakian melalui Cibodas menyuguhkan ragam kehidupan alam yang paripurna. Anak-anak sungai yang berlarian, kicau burung yang bersahutan, jamur-lumut hingga anggrek yang memeluk manja batang-batang pohon jangkung, sampai pendar kunang-kunang yang menandai pesta raya di malam hari, niscaya melunturkan sepi sekaligus menegaskan sunyi.
Pendakian melalui Cibodas adalah cara yang paling ringkas untuk menggapai puncak Pangrango yang berselimut tebal hijau rimba. Rabu (22/6) petang, aku bersama Mas Iwan dan Yahya menggendong keril masing-masing selepas gesa-gesa yang memburu, untuk memulai pendakian low budget kali ini.
"Nikmati perjalanannya," pesan Mas Iwan mengakhiri segala keterburuan pra-pendakian, sebelum memimpin perjalanan. Pesan itu aku resapi betul-betul sebab aku tak mau lagi didesak gesa, karena kami akan menghabiskan tiga hari di perjalanan ini.
Matahari mengantuk di senja itu dan binarnya kian malas menyapa bumi melalui celah-celah hutan Cibodas yang rapat. Beberapa saat kemudian, akhirnya ia jatuh terlelap, meninggalkan kami berjalan menyusuri bebatuan dengan ditikam gelap dan senyap. Sinar headlamp pun nyala, menjadi petunjuk bagi sepasang mata dengan menyibak gelap yang menyelubungi. Hawa masih sejuk menyegarkan, belum berganti dingin yang menyiksa. Peluh menyungai dari kening sampai ke perut, derasnya serupa jeram di sebelah kami yang gaduh derunya tertangkap telinga pada malam ini.
Kami sepakat bermalam di Kandang Batu pada hari pertama ini.
Lahir di tengah padatnya pembangunan di pinggir Jakarta, aku baru pernah melihat kunang-kunang pada malam ini. Kilaunya begitu cantik dan tenteram, melampaui kelip-kelip lampu kota.
Kami tiba di Kandang Batu yang kosong usai empat jam mengumpulkan lapar. Kondisi raga masih di taraf puncak. Sepanjang jalur Cibodas, hingga Kandang Batu, memang disusun atas bebatuan yang menyerupai tangga, sehingga tak mengerjai otot-otot kaki. Tak ada seorang pun di sini; maka sunyi semakin berkuasa dan inilah yang aku cari-cari. Seperti biasa, hangat api kompor adalah hal pertama yang kami nanti. Setiap seduhan kopi dan susu hangat yang direguk dalam teduh tenda malam hari merupakan pengganda nikmat yang didapat dari pendakian.
Kamis (23/6), pagi menyapa kami bersemangat dengan terangnya yang terik. Hangat susu dan kopi mengawali sarapan pagi ini, sebelum aku dan Yahya berniat menelusuri sungai air hangat yang mengalir di dekat Kandang Batu. Memang, jika menuju Kandang Batu, pendaki akan melalui jalur menantang berupa air panas yang mengaliri tumpukan batu-batu cadas.
Dasar sungai kecil itu berwarna putih, menandai endapan belerang yang terbawa airnya. Kutaksir, hulunya mungkin ada di sekitar puncak Gede yang kawahnya masih aktif. Kami berdua menyelinap dan memanjati tebing-tebing sungai itu yang tak begitu tinggi tapi amat licin, demi meraih posisi paling nyaman untuk mandi air yang hangat-hangat kuku. Di sekeliling, menjuntai dahan dan tangkai-tangkai berduri yang kadang-kadang melintangi sungai.
Nyaris sejam berendam dengan penuh ria, kami berdua kembali ke Kandang Batu lantas mengepak keril masing-masing untuk segera menghadapi pertarungan sesungguhnya. Tak kusadari, rupanya energi yang aku peroleh pada sarapan pagi tadi telah terkuras sebagian usai berendam. Tidak sampai satu jam, kami tiba di persinggahan Kandang Badak yang juga kosong. Tempat ini adalah percabangan antara Gunung Gede (lurus) dan Pangrango (kanan). Di sebelah kanan pepohonan yang menjulang, terlihat Pangrango yang lumayan jauh dipandang dan tinggi sekali kepalanya.
Jalan menuju Pangrango berbeda sekali dengan jalur menuju Gede, tetangganya. Jalurnya cukup sempit dan gembur betul, nyaris tak ada bebatuan yang berserak. Di sekeliling, warna hijau pekat sekali. Saking teduh nan rimbunnya, hujan orografis -- hujan pegunungan -- yang sesekali menyapa kami tak sempat membuat kami kuyup lantaran ditadah dedaunan rimba. Di jalur ini pula lah, tenagaku yang sudah tercecer banyak tadi pagi di sungai, terkikis nyaris habis.
Kami hanya sempat mengisi ulang sedikit energi dengan mereguk segelas susu dengan roti telur. Untuk jenis usus macam kami, kudapan itu tentu tak lebih dari basa-basi. Rasa lapar pun semakin kuat menggedor-gedor perut dan dinginnya udara membalut bibir hingga kering. Batang dan akar-akar raksasa mengadang sesukanya, tak peduli betis dan paha kami yang menjerit minta ampun. Keduanya berpadu mencuri sisa-sisa energi yang kami punya, sementara paru-paru sudah kalut. Di saat punggung mulai suntuk membawa keril, sepasang tungkai pun rasanya ingin lepas. Maklum, selain jaraknya yang jauh, jalan menuju singgasana pelarian Soe Hok Gie terjal. Kameraku sempat jatuh dan berguling-guling cepat sekali hingga jauh, sebelum akhirnya tersangkut di akar pohon yang melintang; menggambarkan curam jalurnya yang bertingkat-tingkat.
Rasa lelah bergerombol mendesak ke ubun-ubun. Pikiran untuk menyerah seliweran di benak yang makin liar tak terkendali. Di tengah perjalanan yang lumayan membosankan ini, cuma Geliga Krim yang senantiasa menjaga badan #bebaspegal dan bebas kram.
Kusempatkan rehat sejenak buat merogoh keril, mengambil Geliga Krim, lalu mengecatnya ke segala penjuru tungkai. Angan-angan soal Lembah Mandalawangi, lembah cantik favorit Gie, pun selalu gentayangan. Dua makhluk itu terus berangkulan berperang dengan segala macam siksa yang meruntuhkan niat.
Akhirnya, segala susah-payah yang merongrong tubuh sukses dijinakkan. Eureka! Puncak Pangrango yang terkenal mengecewakan -- sudah sulit dijangkau, panoramanya tak istimewa -- kini ada di bawah sepatu.

Tujuan kami tak lain Mandalawangi, lembah yang luasnya kalah jauh dibanding Suryakencana di Gunung Gede. Namanya pun kalah fenomenal, kendati akrab di telinga orang-orang melalui puisi Gie. Hanya butuh sedikit tambahan penantian, sekitar 5 menit menjauh dari puncak, untuk kemudian penantian itu dibayar lebih dengan kecantikan tak terpermanai ala Mandalawangi yang meracuni.
Wangi Mandala
Sejuknya hawa berganti menjadi bius dan tamparan angin yang menusuk berubah menjadi belaian yang lembut, setibanya tubuhku di Mandalawangi. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tempat ini. Ketiadaan orang lain di sini membuatku seolah-olah terlempar ke semesta raya -- kalau bukan surga -- yang penuh magis. Burung dan serangga meperbincangkan bahasa dalam kicau dan derik yang tak kupahami, sementara pohon-pohon dan hamparan rumput saling bertukar napas dalam diamnya.
Kuntum-kuntum edelweis bermekaran. Sosoknya seperti peri-peri kecil yang menularkan kedamaian di sekujur lembah ini pada jiwa. Di jurang sebelah barat, Gunung Salak berjubah remang senja. Taram-temaram mulai menoleh ke sini, mengintip dari balik bukit. Aroma kehidupan perlahan-lahan tertidur. Semua berlangsung begitu saja, tak peduli keberadaan manusia.

Dalam baris puisinya, Gie jatuh cinta pada Pangrango yang dingin dan sepi. Kalimat Gie adalah kalimat yang paling mewakilkan segala syahdu yang kurasa di sini, kendati keagungan Pangrango dan Mandalawangi-nya jauh lebih lapang dan jelas lebih dalam dari kata-kata itu. Aku sadar, Mandalawangi adalah kenyataan yang akan sangat sementara, maka itu aku enggan terburu berlindung ke tenda. Seraya telapak tangan meremas dan mengurut-urut betis dengan Geliga Krim agar #bebaspegal, kunikmati hangatnya yang terus membakar, bersama dengan sapuan angin dingin yang menguliti tubuh dan menikam hidung, saat awang-awang petang terus terperosok ke jurang.

Rupanya, seharusnya hidup sungguh-sungguh sederhana, bebas dari segala pongah tingkah dan kecemasan akan tahta serta nama. Tak seperti hidup manusia rakus.
Langit melegam dan malam tiba begitu hitam. Kami masak di kolong langit yang berhias gemintang, mencoba melawan rendahnya suhu yang menyergap, sebelum terempas dalam tidur yang amat nyenyak. Sesekali guntur meletup-letup, namun Mandalawangi menenangkan mimpi kami bagai seorang bunda, juga berhasil memperdaya langit agar tak menerjunkan hujannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI