Nyaris sejam berendam dengan penuh ria, kami berdua kembali ke Kandang Batu lantas mengepak keril masing-masing untuk segera menghadapi pertarungan sesungguhnya. Tak kusadari, rupanya energi yang aku peroleh pada sarapan pagi tadi telah terkuras sebagian usai berendam. Tidak sampai satu jam, kami tiba di persinggahan Kandang Badak yang juga kosong. Tempat ini adalah percabangan antara Gunung Gede (lurus) dan Pangrango (kanan). Di sebelah kanan pepohonan yang menjulang, terlihat Pangrango yang lumayan jauh dipandang dan tinggi sekali kepalanya.
Jalan menuju Pangrango berbeda sekali dengan jalur menuju Gede, tetangganya. Jalurnya cukup sempit dan gembur betul, nyaris tak ada bebatuan yang berserak. Di sekeliling, warna hijau pekat sekali. Saking teduh nan rimbunnya, hujan orografis -- hujan pegunungan -- yang sesekali menyapa kami tak sempat membuat kami kuyup lantaran ditadah dedaunan rimba. Di jalur ini pula lah, tenagaku yang sudah tercecer banyak tadi pagi di sungai, terkikis nyaris habis.
Kami hanya sempat mengisi ulang sedikit energi dengan mereguk segelas susu dengan roti telur. Untuk jenis usus macam kami, kudapan itu tentu tak lebih dari basa-basi. Rasa lapar pun semakin kuat menggedor-gedor perut dan dinginnya udara membalut bibir hingga kering. Batang dan akar-akar raksasa mengadang sesukanya, tak peduli betis dan paha kami yang menjerit minta ampun. Keduanya berpadu mencuri sisa-sisa energi yang kami punya, sementara paru-paru sudah kalut. Di saat punggung mulai suntuk membawa keril, sepasang tungkai pun rasanya ingin lepas. Maklum, selain jaraknya yang jauh, jalan menuju singgasana pelarian Soe Hok Gie terjal. Kameraku sempat jatuh dan berguling-guling cepat sekali hingga jauh, sebelum akhirnya tersangkut di akar pohon yang melintang; menggambarkan curam jalurnya yang bertingkat-tingkat.
Rasa lelah bergerombol mendesak ke ubun-ubun. Pikiran untuk menyerah seliweran di benak yang makin liar tak terkendali. Di tengah perjalanan yang lumayan membosankan ini, cuma Geliga Krim yang senantiasa menjaga badan #bebaspegal dan bebas kram.
Kusempatkan rehat sejenak buat merogoh keril, mengambil Geliga Krim, lalu mengecatnya ke segala penjuru tungkai. Angan-angan soal Lembah Mandalawangi, lembah cantik favorit Gie, pun selalu gentayangan. Dua makhluk itu terus berangkulan berperang dengan segala macam siksa yang meruntuhkan niat.
Akhirnya, segala susah-payah yang merongrong tubuh sukses dijinakkan. Eureka! Puncak Pangrango yang terkenal mengecewakan -- sudah sulit dijangkau, panoramanya tak istimewa -- kini ada di bawah sepatu.

Tujuan kami tak lain Mandalawangi, lembah yang luasnya kalah jauh dibanding Suryakencana di Gunung Gede. Namanya pun kalah fenomenal, kendati akrab di telinga orang-orang melalui puisi Gie. Hanya butuh sedikit tambahan penantian, sekitar 5 menit menjauh dari puncak, untuk kemudian penantian itu dibayar lebih dengan kecantikan tak terpermanai ala Mandalawangi yang meracuni.
Wangi Mandala
Sejuknya hawa berganti menjadi bius dan tamparan angin yang menusuk berubah menjadi belaian yang lembut, setibanya tubuhku di Mandalawangi. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tempat ini. Ketiadaan orang lain di sini membuatku seolah-olah terlempar ke semesta raya -- kalau bukan surga -- yang penuh magis. Burung dan serangga meperbincangkan bahasa dalam kicau dan derik yang tak kupahami, sementara pohon-pohon dan hamparan rumput saling bertukar napas dalam diamnya.
Kuntum-kuntum edelweis bermekaran. Sosoknya seperti peri-peri kecil yang menularkan kedamaian di sekujur lembah ini pada jiwa. Di jurang sebelah barat, Gunung Salak berjubah remang senja. Taram-temaram mulai menoleh ke sini, mengintip dari balik bukit. Aroma kehidupan perlahan-lahan tertidur. Semua berlangsung begitu saja, tak peduli keberadaan manusia.