Perkenalkan namaku Gildan Eka Cahya Wardani, aku lahir di Bidan Delima daerah Batujajar. Sekarang usiaku 17 tahun, dan saat ini aku seorang pelajar di SMAN 1 PADALARANG. Disini aku ingin berbagi sedikit cerita tentang masa laluku yang penuh dengan lika-liku mencari jati diri ku sendiri.
  Peristiwa ini terjadi pada saat bulan Ramadhan tahun 1438 Hijriah, tahun 2016 Masehi dan pada saat aku sedang duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku dan temanku merencanakan untuk ngabuburit bersama.  Nama temanku adalah Noval Fauzian, panggilannya Pal. Aku dan temanku ini bagaikan Upin Dan Ipin. Penuh cerita, suka dan duka kami lalui bersama.
  Pada hari itu aku dan temanku pergi ke Saguling untuk ngabuburit dan sambil menghafal jalan. Lalu aku pun mengingatkan kepada temanku agar tidak ngebut di jalan karena, jika kita ngebut takutnya kita celaka. Dan celaka itu tidak ada yang tahu.
"Pal, jangan ngebut, bahaya, takutnya ada apa-apa." Ucapku padanya.
"Tenang aja Gil, gapapa kok, santai aja kali." Jawab Dia dengan santai.
  Nah pada saat perjalanan pergi kami menikmati pemandangan alam desa Saguling yang masih asri dan sejuk. Kami pun sampai disebuah tempat yang seperti rest area. Tempatnya dekat dengan tujuan kita yaitu Bendungan Saguling. Sebelum masuk aku bertanya kepada temanku.
" Pal, nanti kita pas mau masuk ke kawasan Bendungan Saguling harus bayar tiket masuk gak?."
Tanyaku padanya.
"Engga Gil, gratis kok, cuman kalau kamu mau jajan ya harus bayar!."
Jawabnya sambil tertawa.
"Oh berarti gratis dong, gak perlu bayar lagi?."
Tanyaku sekali lagi.
"Yoi."
Jawabnya sambil mengunci stang motornya.
  Kami pun langsung berjalan ke kawasan Bendungan Saguling. Disini merupakan PLTA yang sering dikunjungi oleh warga sekitar dan juga sering dipakai untuk latihan menembak oleh TNI AD. Aku dan temanku masuk sambil melihat-lihat pemandangan indah disekitar kawasan Bendungan Saguling. Walaupun cuaca sedang panas, namun terasa sejuk karena, angin yang menghembus kencang. Setelah menikmati pemandangan yang indah, kami pun memutuskan untuk pulang, karena hari mulai sore, dan sudah mau buka puasa. Sebelum pulang aku mengingatkan untuk tidak ngebut karena aku memiliki firasat yang tidak enak.
  Dan benar saja firasat ku menunjukkan nya, ketika di tikungan kendaraan yang kami naikin itu ban nya selip  pada saat sedang menikung yang mengakibatkan kecelakaan. Temanku dan motornya terpental sejauh 6 meter, sedangkan aku terpental sejauh 3 meter. Tangan kiri ku menggores aspal yang sedang diam. Pada kejadian itu, aku menyempatkan diri untuk melihat kondisi handphone ku apakah lecet atau tidak dan ternyata handphone ku baik-baik saja.
Lalu datang seorang Bapak-bapak menghampiri ku sambil bertanya dengan Bahasa Sunda.
" Jang? Teu kunanaon kan?."
Tanya si Bapak.
Aku hanya bisa menatap mukanya sambil berkata dalam hati.
"Bapak gak lihat saya abis celaka?."
Ucapku dalam hati sambil dengan nada kesal.
  Setelah itu, aku duduk di pembatas jalan sambil mencoba menggerakkan tangan kiri ku. Setelah beberapa saat, aku sadar bahwa sendalku yang kanan hilang, aku langsung mencarinya. Dan akhirnya sendalku dapat ditemukan. Sendal itu sangatlah penting untukku, karena itu merupakan pemberian dari nenekku. Apabila sendal itu hilang, nenekku pasti marah besar.
Bapak-bapak itu bertanya lagi padaku.
"Kamu orang mana dek?."
Tanya beliau.
"Aku orang Padalarang, Pak."
Jawabku singkat.