Dalam ruang sederhana itu tiga orang duduk pada sofa hitam yang berbeda. Mereka membentuk posisi segitiga di mana bisa saling pandang satu sama lain. Seorang perempuan berusia 40-an menjadi satu-satunya yang berdiri di antara ketiganya. Ia sengaja memanggil mereka di waktu bersamaan, tidak seperti biasanya yang harus datang seorang diri dan membuat jadwal pertemuan lebih dulu.
Masih dengan posisinya, perempuan itu membuka sesi praktiknya hari ini. Mengucapkan selamat pagi, lalu menyapa pasien langganannya tersebut satu persatu.
Ada Januar, laki-laki gondrong usia 26 yang rutin datang ke praktik psikolognya selama setahun ke belakang. Selanjutnya Arin, perempuan usia 21 yang masih duduk di bangku kuliah jurusan Ekonomi Pembangunan. Terakhir Elsa, usia 28. Ia baru menggunakan jasa psikolog ini selama 3 bulan terakhir.
"Baik, jadwal kali ini bukan konsultasi seperti yang biasa kita lakukan. Saya sengaja memanggil kalian bertiga untuk saling mengenal satu sama lain, juga berbagi cerita tentang apa yang sedang kalian perjuangkan. Ceritakan apa yang perlu diceritakan, dan simpanlah sesuatu yang menurut kalian bersifat pribadi."
Tak lama, psikolog itu meninggalkan ruangan dan menutupnya. Membiarkan tiga orang tadi saling menatap satu sama lain dengan perasaan bingung.
Setelah mereka berdiskusi singkat, maka Arin menjadi yang pertama untuk bercerita, disusul nantinya oleh Januar, baru Elsa pada urutan terakhir.
"Ayahku selingkuh," katanya. "Bunda tahu, tapi kita nggak bisa berbuat banyak."
Arin melanjutkan cerita. Tentang ibunya yang memilih pura-pura tak tahu, sementara dirinya berjuang keras bertahan dalam keluarga yang sebenarnya sudah tak utuh. Maka ia menyisihkan uang bulanan kuliahnya untuk datang ke psikolog. Berbagi beban hingga menangis, juga untuk mendapatkan saran terbaik.
"Bagaimana dengan Masnya?" tanya Arin pada Januar setelah menyelesaikan cerita singkatnya.
Sebelum menjawab, laki-laki itu membuka pergelangan tangannya yang tertutup kemeja. Memperlihatkan banyak bekas luka sayatan yang belum hilang. Arin dan Elsa sedikit kaget dan bertanya-tanya, sementara dirinya santai dan menanggapi dengan senyum simpul.
"Self harm. Setiap emosi nggak stabil, aku akan menyakiti diri sendiri. Marah, sedih, kecewa, apapun itu. Rasanya sakit, tapi juga menyenangkan. Aneh, kan? Tapi syukurlah, sekarang aku lebih bisa mengontrol diri."