Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ungkapkan Semua dengan Bunga

28 November 2020   16:17 Diperbarui: 28 November 2020   16:22 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by hdwal.com via pinterest

Sebenarnya tidak mudah untuk ada di tahap ini. Meninggalkan kehidupan kota, meneruskan bisnis orang tua yang sebenarnya tak sejalan dengan jurusan kuliahku dulu, hingga harus hidup seorang diri. Awalnya, aku nyaris menyerah. Harus merawat bunga setiap hari hingga melayani konsumen dengan berbagai macam tingkahnya. Tapi ternyata semua tidak seburuk yang aku bayangkan.

Melihat laki-laki sebagai seorang florist mungkin sedikit aneh di pandangan beberapa orang. Tak apa, aku tetap menyukai pekerjaan ini dan rutinitas di dalamnya. Bangun pagi -dengan udara Lembang yang menusuk kulit, menyiram bunga hingga di bagian belakang yang menyerupai kebun mini, hingga tak lupa mengecek satu persatu bunga untuk memastikan kesegarannya.

Jam sembilan pagi ketika toko bunga sederhana ini buka, aku akan ditemani oleh dua orang anak muda yang bekerja di sini, Danar dan Riska. Keduanya membantuku membereskan segala aktivitas. Melayani konsumen, menjadi kasir dan menghitung keuangan, hingga merawat segala jenis bunga yang dijual di sini.

"Nar, ini ada pesanan baru," kataku pada Danar sambil melihat komputer. "Sebuket bunga tulip paket B via market place. Sekalian kirim sama paket yang lain, hubungi kurir untuk datang jam 1 aja," 

"Siap, Kang," jawabnya.

"Oh iya Ris, Bu Ane katanya mau datang ke sini. Belum tahu mau pesan apa." 

"Oke. Aku akan stand by terus."

Ketika melangkahkan kaki ke luar karena ingin mencari sarapan, seorang laki-laki muda mengenakan seragam SMA datang. Ia tidak langsung masuk, hanya sekilas melihat beberapa bunga yang dipajang di luar.

"Ada yang bisa dibantu, Kak?" tanyaku sopan yang masih lengkap mengenakan apron berwarna coklat.

"Eh, ya?" Tampaknya ia sedikit terkejut. "Saya... mau lihat-lihat bunga dulu. Rencana mau kasih untuk... salah satu teman."

"Teman? A girl?"

"Ya, perempuan. Kita baru selesai Ujian Nasional. Sebentar lagi akan pisah dan... aku cuma mau memberi kenang-kenangan."

Kami berbincang sejenak dengan beberapa pertanyaan yang kuajukan. Hanya untuk memastikan kira-kira bunga apa yang cocok untuk gadis itu.

"Gimana? Mau coba Bunga Matahari?" tanyaku sekali lagi memastikan setelah sebelumnya menjelaskan banyak arti dari bunga matahari.

"Saya ambil 1 buket," jawabnya mantap.

Aku dan pembeli pertama ini beranjak ke dalam, memperkenalkan Risna dan Danar sekaligus menyuruh mereka berdua untuk menyiapkan pesanan.

"Tenang, ada diskon 10% untuk pelanggan baru," kataku sebelum benar-benar meninggalkan toko.

***

"Bu Ane!" seruku ketika seorang perempuan paruh baya datang sendirian ke toko. Kami berdekapan beberapa saat. Risna dan Danar yang sudah sering bertemu pun ikut menyapanya.

Di toko ini kami memang menyediakan satu spot khusus untuk duduk. Hanya dua kursi rotan dan satu meja kaca bundar. Maka di sinilah aku dan Bu Ane berbincang sejenak. Biasanya kami saling berbasa-basi dahulu dengan menanyakan kabar masing-masing. Barulah ke inti pembicaraan soal bunga yang akan dipesan. Terakhir yang aku tahu, Bu Ane memesan bunga sekitar 4 bulan lalu saat anak keduanya wisuda.

"Bapak resmi pensiun beberapa hari lagi. Jadi Ibu mau kasih sesuatu yang spesial."

"Wah, sekarang jadi punya waktu lebih banyak dong untuk berduaan," candaku.

"Ah, bisa aja kamu. Tapi kira-kira bunga apa yang cocok, ya?"

Aku berpikir beberapa saat hingga menemukan satu ide sederhana. 

"Ini cocok untuk Bapak," kataku sambil memberi sebuah pot kecil yang diambil dari kebun belakang.

Bu Ane sempat memandang tak mengerti melihat aku yang tidak membawa buket bunga seperti biasanya. Sebelum ia bertanya, aku duluan menjelaskan apa maskud dari tanaman kecil ini.

"Ini bibit bunga mawar. Biar Bapak yang rawat ini di sela waktu pensiunnya. Spesial, kan?"

Ada senyuman tulus yang kulihat dari sudut bibir perempuan itu.

"Kamu selalu tahu apa yang terbaik untuk pelanggan."

Tak lama setelah itu, Bu Ane pamit. Kami berpelukan sekali lagi sebagai tanda perpisahan. Aku berkata jangan pernah bosan untuk datang ataupun sekadar mampir ke sini. Karena setiap melihatnya, aku selalu teringat Mama, sosok yang sudah tak bisa lagi aku temui di dunia ini.

***

Kabar di hari Kamis sore itu membuat aku tidak berpikir lama untuk pergi. Sebuket bunga lili putih yang sudah ditambahkan beberapa hiasan daun ini sebenarnya dibuat khusus untuk pajangan toko. Tapi, aku membawanya sebagai bentuk ucapan bela sungkawa atas dipanggilnya insan pada sang Maha Kuasa.

Toko aku titipkan pada Danar karena kebetulan Riska sedang libur. Dengan pakaian kemeja dan celana yang serba hitam, aku memesan taksi online lewat aplikasi untuk menuju daerah Cihampelas, Bandung. Sempat kulirik cuaca yang cukup mendung itu. Semoga tidak hujan dan aku bisa sampai di pemakaman sebelum senja tiba.

Aku baca sekali lagi pesan itu.

Arya, Ayahku meninggal.

Di tengah kemacetan kota, aku mencoba menahan tangis karena tiba-tiba teringat sosok Mama yang sudah lebih dulu dipanggil Tuhan. Aku sangat tahu rasa ini. Begitu dalam dan terus membekas hingga saat ini.

Untunglah taksi berhasil membawaku ketika matahari belum terbenam. Cuaca pun perlahan membaik meski sesekali cahaya mentari itu ditutup oleh awan. Di sana, orang-orang dengan pakaian serba hitamnya mulai meninggalkan lokasi. Seorang perempuan yang sebaya denganku masih diam di sana bersama keluarganya.

"Arya!" serunya ketika melihat aku yang mulai mendekat.

Aku langsung memeluknya, membiarkan kemejaku basah karena air matanya.

"Ayah udah pergi, Ar," katanya terus menangis.

"Seenggaknya Ayah kamu udah nggak merasakan sakit lagi."

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang hilang pada dirinya, sama sepertiku ketika kehilangan Mama. Tapi, aku tak boleh terbawa suasana. Aku terus mendekapnya untuk membuat perasaannya lebih baik.

Begitu perempuan ini tenang, aku menyimpan bunga lili yang tadi dibawa tepat di samping tanah yang masih basah itu. Aku mengusap nisan kayu itu pelan seakan sedang membelai seseorang.

"Tugas Om sudah selesai. Sekarang, biar aku yang menjaga Tia."

***

Seperti biasa, pagi itu setelah membuka toko, kami bertiga menyiram bunga-bunga di sini agar terlihat semakin segar. Seorang pelanggan masuk. Dia perempuan dan masih muda. Riska melayaninya dan menanyakan bunga apa yang sedang dicari. Perempuan itu hanya menjawab ingin bunga yang bagus untuk dihadiahkan pada seorang laki-laki.

Ketika Riska masih sibuk memberikan beberapa opsi untuk paket bunganya, aku menuju halaman luar sambil menyemprot beberapa bunga yang terlihat kering. 

"Nah kalau gini kan segar," kataku pelan.

"Mas!" seru seseorang.

Aku menengok, melihat anak SMA yang beberapa minggu lalu memesan sebuket bunga matahari. Kini ia berpakaian bebas, dihiasi oleh senyum sumringah yang mengisi wajahnya.

"Gimana kabarnya?" tanyaku sambil bersalaman.

"Sangat baik," jawabnya.

"Jadi, soal bunga matahari itu..."

"Dia senang banget. Makanya aku ke sini untuk bilang terima kasih."

"Terus, udah mengungkapkan perasaan?" tanyaku lagi dengan tatapan jahil.

"Kalau itu belum. Mungkin lain kali."

"Ya, asal jangan terlalu lama."

Di tengah perbincangan yang asyik itu, pelanggan perempuan tadi sudah menyelesaikan pesanannya. Aku melihatnya keluar dari pintu sambil membawa sebuket bunga mawar putih yang telah dihias cantik -oleh Danar, pastinya. 

Yang tak kuduga selanjutnya adalah perempuan itu kaget ketika melihat lawan bicaraku saat ini. Mata mereka bertemu untuk beberapa saat.

"Za, kok kamu di sini, sih?" tanya perempuan itu.

"Ka-kamu sendiri kenapa di sini? Terus, itu beli bunga buat siapa?"

Saat itu juga aku memilih untuk kembali ke dalam dan mengintip kisah mereka yang cukup manis itu dari balik jendela. Mungkin akan ada cerita baru yang bersemi hari ini. Bahagia, tentunya, juga disaksikan oleh bunga-bunga cantik di sini.

Sebelum keduanya meninggalkan toko, aku melihat tangan mereka saling berpegangan seakan tak ingin melepas.

***

Ungkapkan Semua Dengan Bunga - Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun