Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dengan atau Tanpa

24 Agustus 2019   18:07 Diperbarui: 24 Agustus 2019   18:10 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by pinterest

Suasana di mobil tidak pernah seramai ini. Radean biasanya hanya akan menghabiskan waktu sendirian di tengah macetnya ibu kota sambil mendengarkan radio untuk mengisi kekosongan. Yang paling sering didengarnya adalah musik yang diputar secara acak. Sisanya hanya sekadar curhatan orang tidak penting, ramalan cuaca, atau kondisi arus lalu lintas.

Anak perempuan di bangku belakang tak henti-hentinya mengajak dia ngobrol. Siaran di radio kala itu bukan lagi fokus utamanya. Celoteh sederhana dari seorang anak TK yang masih mengenakan seragamnya lebih menarik perhatian. Sambil menatap anak itu sesekali, Radean tak berhenti tersenyum meski siang tadi ia dimarahi oleh kliennya.

"Thanks ya, De, mau jemput Sasa. Mama aku mendadak harus ke Surabaya sama Papa."

"Vidya, harusnya aku yang bilang makasih karena akhirnya aku bisa ketemu sama si cantik ini. Kita kan udah lama nggak ketemu. Iya, nggak?" tanya Radean pada anak kecil berambut ikal itu.

"Iya, Om. Pokoknya nanti kalau udah sampe, Om main dulu ya sama Sasa."

"Kasian dong nanti Omnya capek, sayang," kata ibunya membujuk.

"Biarin, sekali-kali doang," jawab Radean santai.

Setengah jam perjalanan tidak terasa bagi mereka hingga mobil yang dibawa Radean sudah terparkir di basement apartemen. Vidya, rekan kerjanya ini memang tinggal di apartemen bersama anak semata wayangnya, Sasa. Jangan tanya soal suaminya, karena orang yang bersangkutan sudah meninggal dua tahun lalu tepat saat Radean baru diterima di perusahaan tempat mereka kerja.

Hubungan mereka pun hanya sebatas rekan kerja. Hanya saja, karena jarak rumahnya dan apartemen Vidya searah, perempuan itu sesekali menumpang di mobilnya. Bahkan jika dibutuhkan seperti hari ini, Radean bersedia memutar arah terlebih dahulu demi menjemput Sasa di penitipan anak.

"Mau minum apa, De?" tanya Vidya setelah membuka pintu apartemennya.

"Teh anget, gulanya satu sendok makan." Yang menjawab justru bukan orang yang ditanya, tapi Sasa dengan wajah polosnya.

"Kamu tahu aja apa kesukaan Om," kata Radean mengelus pelan rambut Sasa.

Sambil menunggu Vidya yang membuatkan minum di dapur, Radean dan Sasa duduk di ruang tengah. Sebuah buku cerita fabel dibacakan Radean untuk mengisi kekosongan waktu. Sasa bersandar di dadanya yang dilihat langsung oleh Vidya dari kejauhan. Jika orang lain yang melihatnya, pasti akan menyangka bahwa laki-laki itu adalah ayah kandung Sasa karena kadekatan mereka.

Vidya ingat bahwa suaminya yang telah tidak ada lagi di dunia ini merupakan orang sibuk. Hampir setiap minggu ke luar kota karena urusan pekerjaan. Waktu untuk anak semata wayangnya pun bukan menjadi prioritas. Lalu, Radean datang di hidupnya dengan kasih sayang tulus yang diberikan pada Sasa. Laki-laki itu belum pernah menikah, tapi menjadi sosok sempurna yang bisa mendampingi Sasa sampai masa depan.

"Vid! Kok ngelamun aja? Sini gabung sama kita. Aku juga udah haus, nih."

***

Radean terbangun malas ketika mendengar volume tinggi di ponselnya. Sebuah nama tertera pada layar yang menginginkan sebuah panggilan video. Dengan wajah kusut dan rambut berantakan, ia bangkit, kemudian mengangkat panggilan tersebut. Seorang perempuan cantik berambut pendek melambaikan tangan pada layar ponsel. Radean tersenyum, membalas sapaan perempuan itu.

"Happy birthday, sayang!"

"Makasih, sayang. Kamu selalu jadi pengucap pertama pas aku ulang tahun."

"Ya harus, dong. Aku kan pacar kamu. Nggak kerasa, ya umur kamu udah hampir kepala tiga."

"Masih dua tahun lagi sebelum umur aku jadi 30 hahaha."

Selama kurang lebih sepuluh menit, keduanya menghabiskan waktu di pagi itu dengan percakapan sederhana namun penuh makna. Radean tidak berhenti tersenyum menatap perempuan di layar ponselnya. Ia sudah menjatuhkan hatinya kepada orang yang menurutnya tepat. Maka, setiap waktu kebersamaan ini tidak pernah disia-siakannya.

***

Tahun ini adalah ulang tahun terbaiknya. Di kantor, Radean tidak bisa berhenti tersenyum ketika mendapat sebuah amplop yang tersimpan di meja kerjanya. Di dalamnya ada selembar kertas dengan tulisan khas anak kecil yang berantakan tapi tetap bisa dibaca. Ia yakin pasti Sasa yang membuatnya dengan bantuan Vidya.

Kalimat yang ditulis di sana hanyalah ucapan ulang tahun yang dilengkapi dengan harapan. Meski begitu, Radean merasa bahwa dirinya adalah orang spesial. Bahkan ia tak bisa menahan senyum ketika melihat ada gambar dirinya yang dilukis oleh pensil warna di bagian bawah surat. Tidak hanya seorang, tapi tiga. Dia, Sasa, dan Vidya.

"Seneng banget kayaknya yang hari ini ulang tahun," kata Vidya yang tiba-tiba muncul dari belakang.

"Hei, ini pasti kerjaan kamu? Bilangin makasih ya ke Sasa."

"Happy birthday by the way." Keduanya bersalaman.

"Thanks, Vid."

Percakapan mereka terhenti oleh panggilan dari ponsel Radean. Dari seseorang yang tadi pagi meneleponnya.

Ia menatap Vidya sesaat.

"Lona, ya? Angkat aja."

"Aku tinggal bentar. Nanti kita lanjutin lagi, oke?"

"Iya, siap," jawab Vidya santai.

Dari kejauhan, Vidya melihat badan tegap laki-laki berkemeja biru langit itu mengangkat telepon dari kekasihnya. Awalnya, raut wajah Radean masih sama dengan senyum khasnya yang tak hilang. Tapi berselang beberapa saat, ekspresi itu berubah seketika. Telepon ditutup. Radean kembali duduk di tempat semula.

"What's wrong?"

"Harusnya malam ini Lona pulang ke Jakarta, sekalian nanti malam kita mau dinner. Udah booking tempat juga. Tapi ternyata kerjaan dia masih belum selesai di Semarang. Acara kita batal. Kamu pasti tahu kalau ini bukan pertama kalinya."

"But you still love her," jawab Vidya singkat.

"Obviously."

***

Malam itu sebulan setelah hari ulang tahun Radean, Vidya dikejutkan dengan kehadiran laki-laki itu di apartemennya tengah malam. Sebelum membuka pintu, ia tahu bahwa jarum jam sudah melebihi angka 12. Ada yang tidak beres.

Mata Radean sedikit bengkak. Mukanya pucat seperti sedang sakit.

"Kamu nggak mungkin datang selarut ini kalau nggak ada masalah. Ayo masuk."

Kedua orang itu masuk dan memposisikan diri masing-masing di kursi. Vidya duduk tepat di samping Radean. Ia melihat kesedihan mendalam pada tatapan itu.

"Lona selingkuh. Dia tidur sama laki-laki lain, Vid."

Tanpa aba-aba, Radean mulai bercerita. Sesekali ia menangis karena tidak sanggup lagi menahan semua beban ini. Ia sudah cukup banyak berkorban untuk kekasihnya itu selama bertahun-tahun. Tapi balasan yang didapat justru malah seperti ini.

"Aku nggak tahu salah aku di mana," kata Radean masih belum bisa mengontrol emosi. "Hubungan kita udah nggak bisa diselamatkan lagi. Aku udah capek sama semuanya."

Vidya menggam tangannya. Mencoba memberi ketenangan.

"Sekarang kamu luapkan semua amarah kamu. Aku akan menjadi pendengar terbaik. Soal Lona, aku rasa kamu nggak bisa lagi mengandalkan perasaan. Gunakan logika kamu juga. Aku harap ini memang kali terakhir kamu menyerah karena dia. Jangan kayak sebelumnya, setiap ada masalah pasti kamu terus yang mengalah."

Setelah bercerita cukup lama dan Radean sedikit tenang, Vidya ke dapur sejenak membuatkan teh hangat favoritnya dengan satu sendok gula makan. Topik pembicaraan tentang Lona perlahan hilang dari percakapan mereka. Urusan pekerjaan dan cerita Sasa di sekolah pun menjadi hal yang lebih menarik saat ini.

"Kamu tidur di sini aja, De. Udah terlalu malem. Besok juga libur, kan. Nanti aku bawain selimut."

Radean menyetujui saran Vidya. Malam ini ia tidur di sofa apartemen perempuan itu. Selimut tebal pun sudah dibawa oleh Vidya agar Radean tidak kedinginan oleh suhu AC.

Ketika hendak beranjak menuju tempat tidurnya, Radean yang sudah berbaring dengan selimutnya justru menarik lengan Vidya seakan tidak menginginkan ibu kandung Sasa itu pergi. Mereka bertatapan beberapa saat.

"Aku nggak mau sendiri. Temenin aku, ya?"

"Kamu tuh kayak anak kecil tahu, nggak?" tanya balik Vidya tertawa.

***

"Lona hamil, laki-lakinya kabur, dan sekarang kamu mau nikahin dia? De, logika kamu di mana, sih?"

Malam itu di salah satu kafe kopi pinggir jalan dekat kantor, Vidya terkejut bukan main ketika tahu bahwa Lona, satu-satunya perempuan yang bisa membuat Radean tergila-gila, ternyata tengah berbadan dua. Masalahnya tidak berhenti sampai sana. Radean dengan gilanya berencana untuk menikahi perempuan itu, bertanggung jawab atas calon bayi yang jelas-jelas bukan darah dagingnya.

"Laki-laki baik hanya untuk perempuan baik, De. Pernikahan juga bukan cuma masalah kita cinta atau enggak. Lagian kamu pikir gampang ngurus anak?" sekali lagi Vidya mengomel.

Radean awalnya hanya diam. Ia membutuhkan sedikit waktu untuk memberikan alasan yang tepat pada Vidya.

"Gini, Vid, kalau bukan aku siapa lagi yang bertanggung jawab atas kehamilan dia? Dia bahkan nekad sampai mau bunuh diri. Ini satu-satunya jalan untuk menyelematkan masa depan dia."

"Menyelamatkan dia dengan mengorbankan diri sendiri. Gitu maksud kamu?"

Sekitar sepuluh menit mereka habiskan hanya untuk berdebat. Dua minuman yang dipesan masing-masing nyaris tidak tersentuh. Radean masih tetap pada pendiriannya, begitu pula dengan Vidya. Semuanya sama-sama ingin menang.

"Aku kecewa lho De sama kamu. Kamu lebih memilih calon bayi yang bahkan belum lahir dibandingkan Sasa, anak aku."

"Maksud kamu?" tanya Radean mengerutkan dahi.

"Sasa itu masih butuh sosok seorang Ayah. Dan selama kita kenal, aku selalu mikir kalau kamu adalah orang yang tepat untuk jadi Ayah Sasa selanjutnya."

"Vid, aku..."

"Aku sama sekali nggak punya perasaan apa-apa. Kamu hanya sebatas rekan kerja buat aku, bahkan seperti seorang adik. Tapi, melihat Sasa yang begitu dekat dengan kamu yang tidak sedekat ke orang lain, aku punya khayalan gila kelak kamu akan mengganti posisi suami aku yang dulu."

Kali ini keduanya sama-sama diam, hanya sibuk menghabiskan minuman yang baru kali ini tersentuh. Vidya hanya menunduk, tidak sanggup menatap mata laki-laki itu.

"Maaf aku egois," kata Vidya pelan memecah keheningan. "Nggak seharusnya aku ngatur-ngatur hidup kamu."

Kalimat itu menjadi kata-kata terakhir Vidya sebelum akhirnya meninggalkan kafe. Meninggalkan Radean sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya duduk, sambil merenungkan apa yang seharusnya dia lakukan pada Lona dan Vidya.

***

Empat tahun kemudian di stasiun Ibu Kota, Radean menggenggam tangan seorang anak kecil  yang biasa memanggilnya dengan sebutan Papa. Mereka baru menginjakkan kaki ke sini setelah tiga tahun lamanya tinggal di Yogyakarta.

Dari kejauhan, seorang anak berusia 8 tahun tanpa sengaja melihat kehadirannya. Anak itu mendekat ke arahnya sampai akhirnya mata mereka saling tatap.

"Om Radean?"

"Sasa?"

Keduanya berpelukan untuk beberapa saat untuk saling melepas rindu. Ia melihat begitu banyak perbedaan dari diri Sasa karena sudah cukup lama juga keduanya tidak bertemu.

"Kamu sama Mama ke sini?"

Belum sempat menjawab pertanyaan Radean, Vidya, ibu kandung Sasa, sudah berdiri di belakangnya. Ia melihat tiga orang di sana. Radean, Sasa, dan anak laki-laki yang menggemaskan itu.

Awalnya semua terasa canggung seperti melihat orang asing dari mata masing-masing. Tapi perlahan suasana mulai mencair ketika Sasa memulai pembicaraan.

"Ini anak Om? Namanya siapa?"

"Hei, itu ditanya namanya siapa," jawab Radean yang membujuk anak laki-laki itu untuk bicara. Tapi, anak itu masih malu. Hanya diam sambil berusaha sembunyi dari kaki ayahnya.

Mereka berempat pada akhirnya memilih duduk di salah satu kursi dekat sana agar lebih nyaman untuk saling bicara. Sasa dengan semangat menemani anak Radean bermain di sekitar tidak jauh dari tempat orang tuanya duduk. Sedangkan Radean dan Vidya bicara intens berdua.

"Aku turut berduka atas meninggalnya Lona. Maaf aku nggak bisa ke Yogya waktu itu." kata Vidya sambil mengingat momen ketika anak itu lahir yang harus mempertaruhkan nyawa ibunya.

"Makasih, Vid."

Pada akhirnya, Radean tetap pada pendiriannya untuk menikahi Lona. Sampai pada usia enam bulan kandungan istrinya, Radean pindah ke Yogya karena ia mendapat pekerjaan yang lebih baik di sana. Ia berpisah dengan Vidya, juga Sasa yang tidak berhenti menangis saat tahu bahwa laki-laki yang sudah dianggap ayahnya itu harus pergi jauh, bahkan mungkin tidak akan pulang kembali.

Tapi, ternyata hari ini semuanya berkumpul pada momen yang tidak direncanakan. Radean hendak datang ke rumah orang tuanya karena mereka rindu pada cucu satu-satunya itu yang sebenarnya bukan darah daging Radean. Sementara Vidya baru saja mengantar temannya yang pergi ke Bandung.

"Kayaknya aku langsung duluan ya, Vid," kata Radean setelah kurang lebih lima belas menit keduanya saling bicara. "Taksi yang aku pesen udah nunggu di depan."

"Oh iya, nggak apa-apa kok. Aku juga bentar lagi mau pulang."

Entah kenapa, ada perasaan yang berat ketika Radean harus berpisah lagi dengan dua sosok perempuan itu. Ia sudah mencoba melupakan, bahkan sengaja mengurangi komunikasi bersama mereka saat di Yogya. Namun kenyataan membuatnya mengulang semuanya seperti dari awal lagi.

"De." Vidya berkata ketika Radean sudah beberapa meter di depannya.

"Ya?" jawab Radean yang refleks membalikkan badan bersama anaknya.

"You know where I am."

Sebelum melangkah pergi lagi, Radean tersenyum. Ia sekarang mengerti akan satu hal. Dengan atau tanpa perempuan itu, ia masih akan baik-baik saja.

Dengan atau Tanpa - Selesai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun