"Maksud kamu?"
"Gimana kalau seandainya..." Marlo belum sanggup untuk meneruskannya.
"Seandainya apa?"
"Gimana kalau seandainya aku suka sama kamu dan menganggap bahwa hubungan kita ini bukan hanya sekadar persahabatan biasa?"
Ayla jelas mengerutkan keningnya. Ini adalah pertanyaan paling konyol yang pernah diucapkan sahabatnya.
"No, you won't. It was a question," jawab Ayla sedikit tertawa seakan meremehkan. "Mana buktinya?"
Ya, Ayla meminta bukti. Maka, Marlo benar-benar membuktikannya. Ia menggenggam kedua bahu Ayla dengan tangannya, menatap mata perempuan itu tajam, lalu mulai mendorong dirinya sendiri agar wajah mereka bisa berdekatan. Ayla sedikit kaget, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa.
Wajah mereka semakin dekat, bahkan hidung keduanya sudah saling bersentuhan. Berselang beberapa detik, Marlo memegang wajah sahabatnya, lalu mendaratkan bibirnya di bibir Ayla. Laki-laki itu sepertinya terlalu terbawa perasaan sehingga berani berbuat nekad seperti itu.
Detik pertama, Marlo memejamkan matanya. Detik kedua, Ayla masih kebingungan sehingga belum bisa membalas ciuman Marlo. Detik ketiga, mata Ayla ikut terpejam dan mulai melakukan hal yang Marlo lakukan saat ini. Detik selanjutnya, keduanya sadar, saling menatap mata masing-masing dengan perasaan bingung.
"Maafin aku, La. Aku... aku nggak tahu apa yang terjadi sama diri aku saat ini."
Ketika Ayla hendak menjawab, Marlo sudah duluan pergi dari hadapannya. Ia berusaha mengejar, tapi gaun panjang dan sepatu tingginya membuat dia jauh tertinggal dari langkah Marlo. Di dalam ruang utama pun Marlo tidak kelihatan. Terlalu banyak orang di sana sehingga membuat Ayla kesulitan untuk mencari sosok yang baru saja mencium bibirnya itu.