Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | (Not) A Friendzone Story - Almost Done

6 Juni 2019   19:59 Diperbarui: 6 Juni 2019   21:59 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by merdeka.com

Baca cerita sebelumnya di sini

Hari yang ditunggu tiba. Jam tujuh malam Marlo sudah ada di depan rumah Ayla. Kali ini dia tidak menggunakan sepeda motor matic-nya, melainkan menyewa jasa taksi online agar perjalanan bisa lebih cepat dan sampai di tempat tujuan tepat waktu. Keduanya kompak mengenakan pakaian bernuansa hitam padahal sama sekali tidak direncanakan. Melihat ketidaksengajaan itu, mereka tertawa pelan.

Sambil menikmati pemandangan kota di malam hari dari tempat duduk belakang, Marlo dan Ayla mengisi kekosongan waktu dengan mengobrol satu sama lain. Tidak hanya tentang perkuliahan yang sebentar lagi akan mereka jalani, topik tentang Rega pun ternyata masih sempat dibahas di saat-saat seperti ini.

"Rega masih nggak mau bicara sama kamu?"

"Ya kurang lebih gitu, La. Seenggaknya aku udah minta maaf ke dia."

"Aku nggak mau cuma gara-gara aku kalian jadi salah paham."

"Tenang, semua akan baik-baik aja, kok," jawab Marlo sambil mengacak pelan rambut Ayla.

Sampai di tempat tujuan yang dipenuhi oleh banyak anak-anak muda, Ayla tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya. Meskipun harus mengantri panjang untuk masuk ke gedung, kehadiran penyanyi favoritnya di atas panggung benar-benar menghilangkan rasa jenuhnya menunggu.

Keduanya mendapatkan tempat tidak jauh dari panggung utama, hanya saja harus berdiri karena kebetulan mendapat tiketnya untuk di sana. Selama kurang lebih dua jam menghabiskan waktu mendengarkan banyak lagu yang dinyanyikan, Ayla dan Marlo keluar gedung dengan rasa pegal pada kaki masing-masing. Untuk menghilangkan kelelahan itu, keduanya mampir sejenak ke salah satu tempat makan sederhana di pinggir jalan.

"Afgan tadi keren banget! Pecah banget deh hari ini. Thanks banget ya, Mar. Kamu itu memang my-best-partner-ever!"

Mendengar kalimat terakhir itu, sedikit membuat dada Marlo sesak. Lagi-lagi ia mendengar kata bermakna sahabat di hubungannya dengan Ayla. Ia sama sekali belum terpikir untuk membawa hubungan ini lebih jauh. Tapi setelah dipikir-pikir, dengan semua aktivitas mereka yang sudah sangat dekat seperti ini, cukupkah hanya menjadi sekadar sahabat?

"Mar..." Ayla melanjutkan dengan tempo lambat. "... gimana sama hasil SNMPTN kamu?"

"Oh itu, aku gagal masuk ITB, La. Kalau kamu gimana?"

Ayla tidak langsung menjawab. Ia masih ragu untuk mengatakan kabar ini. Meski sebenarnya ini membuat dirinya senang, tapi akan ada satu sisi di mana membuat Marlo belum tentu menyukainya. Laki-laki itu menangkap sinyal aneh dari tatapan Ayla. Seperti ada kesedihan di sana.

"Kalau kuliah di Yogyakarta adalah pilihan terbaik untuk masa depan kamu, kamu harus mengambil kesempatan ini," kata Marlo sembari menggenggam telapak tangan Ayla.

Di dalam mobil ketika perjalanan pulang keduanya tak banyak bicara, tapi Ayla tidak bisa melepaskan kepalanya dari bahu Marlo. Ia seperti akan kehilangan sebagian jiwanya. Bahkan untuk sekarang ini, dia masih belum bisa membayangkan akan seperti apa mereka untuk beberapa tahun ke depan ketika sudah menjadi mahasiswa. Apa mereka masih bisa menghabiskan waktu berdua seperti ini? Bagaimana jika Marlo punya sahabat baru? Terlebih lagi jika memiliki pacar. Rasanya, Ayla belum siap menerima perpisahan.

Ayla lebih dulu sampai ke rumahnya, dilanjutkan oleh perjalanan Marlo yang hanya sendirian di kursi belakang. Ia menerawang ke luar jendela dengan pikiran yang masih belum terlepas dari bayangan Ayla.

Sebelumnya, ia tidak pernah merasa kehilangan seseorang sampai seperti ini. Padahal perempuan itu hanya sahabatnya. Hanya sahabat. Padahal, dia dan Satya pun belum tentu ada di kampus yang sama. Tapi baik Satya apapun Ayla meninggalkan kesan tersendiri yang berbeda pada persahabatan ini.

Marlo mengeluarkan dompetnya dari saku celana belakang, lalu memperhatikan dengan baik potret foto keduanya yang begitu dekat saat melakukan photo box beberapa bulan lalu. Ada 4 bagian foto di sana yang masing-masing memperlihatkan gaya berbeda. Marlo tersenyum kemudian. Bukan senyuman tulus, melainkan senyuman getir.

"Ayla, apa mungkin salah satu di antara kita punya perasaan lain yang bukan sekadar sahabat?" tanyanya pada diri sendiri dengan volume yang sangat rendah.

***

Kelulusan sudah diumumkan seminggu yang lalu. Hasil dari kerja keras siswa kelas 12 selama tiga tahun ini pun tidaklah sia-sia. Semuanya lulus, termasuk Marlo dan Ayla. Sebenarnya bukan hanya pengumuman kelulusan yang ditunggu oleh siswa-siswi di sana, melainkan sebuah acara perpisahan khusus yang akan dilaksanakan malam ini di salah satu hotel berbintang. Orang-orang menyebutnya prom night.

Biasanya, di acara seperti ini mereka berlomba-lomba untuk mencari pasangan yang bisa diajak ke pesta bersama. Kebanyakan memanglah pasangan kekasih. Atau, jika memang sedang dalam status single, setidaknya ajaklah teman-teman terdekat. Hal ini pastinya akan lebih seru karena tidak menghabiskan waktu berdua saja, melainkan bersama-sama, seperti yang dilakukan oleh Marlo, Rezi, Satya, dan... Rega.

"Kita berempat masih jomblo aja nih sampai sekarang," kata Rezi merapikan dasi merahnya dalam balutan kemeja dan jas di kamar Marlo.

"Yakin semuanya?" tanya Satya jahil yang lebih sibuk menata rambut pendeknya. "Bentar lagi Marlo pasti jadian sama Ayla."

"Kalian itu apaan, sih? Masih betah aja ngomongin gue sama Ayla. Berapa kali gue bilang kalau gue itu sahabatan sama dia dan nggak punya perasaan apa-apa."

"Dan gue pun udah berkali-kali bilang, dari semenjak gue masih sama Ayla, lo udah suka sama dia." Rega ikut berkomentar sambil memainkan ponselnya.

"Rega, please, jangan bikin gue tersudut." Marlo memohon.

"Guys, udah jam tujuh, nih. Kita pergi sekarang aja, yuk." Rezi langsung mengambil alih pembicaraan.

Mereka berempat kompak memakai setelan jas hitam dengan balutan kemeja putih di dalamnya. Yang membedakan hanyalah warna dasi dari masing-masing individu. Marlo memilih warna emas cerah, Rezi warna merah, Satya biru muda, dan Rega abu-abu.

Semuanya berangkat menuju tempat tujuan menggunakan mobil milik Rega. Beberapa hari lalu laki-laki berkacamata itu baru saja membuat SIM A. Maka, malam ini adalah kali pertamanya mengendarai mobil dengan membawa surat kendaraan selain STNK, sehingga tidak perlu takut lagi jika ada razia kendaraan di tengah jalan.

"Are you ready, guys?" tanya Rega dengan tatapan tajamnya di balik kemudi.

"Yes, we are ready!" jawab tiga teman lainnya bersamaan.

***

Di dalam gedung, Marlo bertemu Ayla. Perempuan itu mengenakan dress panjang berwarna merah muda tanpa lengan. Modelnya seperti kebaya, hanya saja sudah didesain sedemikian rupa sehingga terlihat lebih modern di mata orang-orang. Rambutnya yang dulu hanya sebahu kini sudah lebih panjang dan membuat Ayla lebih memilih menguraikannya daripada diikat.

"Kamu cantik, La," kata Marlo di tengah banyaknya orang di sana.

"Thanks, Mar. Kamu juga ganteng malem ini."

"Perasaan aku ganteng dari dulu, deh."

"Dasar!"

Rega melihat kedekatan keduanya dari kejauhan. Cemburu? Mungkin, bisa jadi. Setidaknya dia sadar siapa dirinya saat ini. Ia hanyalah laki-laki jahat yang sempat membuat air mata Ayla terbuang percuma. Ia pun sadar bahwa seseorang yang bisa membuat Ayla bangkit dari keterpurukannya dan bisa mengembalikan kembali senyuman gadis itu kembali, adalah Marlo. Bukan dirinya.

"La, di sini berisik. Kita ke balkon aja yuk cari udara segar," ajak Marlo yang langsung menggenggam tangan Ayla ke arah balkon lantai enam. Perempuan mengikuti langkahnya.

Dari sudut ini, suasana kota malam hari lebih jelas terlihat nyata. Lampu-lampu gedung tinggi dan kawasan penduduk menjadi titik kecil dari ketinggian. Angin sepoi berembus pelan menerpa wajah keduanya dengan suhu yang dingin. Ayla pun harus beberapa kali membenarkan rambutnya.

"Kurang lebih udah tiga tahun ya kita kenal?" tanya Marlo tanpa menatap Ayla. Keduanya sama-sama fokus memperhatikan suasana outdoor.

"Ya. Ga kerasa banget ternyata. Sekarang, udah lulus aja. Aku kuliah di Yogya, dan kamu tetap ada di kota ini."

"Kalau kamu pulang ke sini, harus langsung kabarin aku."

"Iya, Mar, siap. Kamu juga jangan lupa main ke Yogya ya nanti."

"Meski kamu ngambil jurusan ekonomi di sana, jangan berhenti untuk menggambar, ya." Sekali lagi Marlo memberi saran.

"Siap, bos!"

"Kapan kamu berangkat ke sana?"

"Lusa."

Keduanya sama-sama menciptakan jeda dan kebingungan harus mencari topik apa lagi untuk dibicarakan. Sebenarnya, masih ada satu hal yang ingin Marlo sampaikan, tapi rasanya terlalu sulit. Lidahnya seakan membeku tidak bisa berkata apa-apa, padahal detak jantungnya sudah berdetak lebih kencang.

Ayla pikir sudah tidak ada lagi yang perlu dibahas untuk malam ini. Maka, dia pamit untuk masuk kembali ke tengah ruangan bersama teman-teman yang lain. Namun, Marlo langsung mencegahnya.

"I wanna ask you something," ucap Marlo pelan menatap tajam mata Ayla.

"What?"

"Ini cuma sekadar pertanyaan. Kalau... seandainya ada yang berubah dari persahabatan kita gimana?"

"Maksud kamu?"

"Gimana kalau seandainya..." Marlo belum sanggup untuk meneruskannya.

"Seandainya apa?"

"Gimana kalau seandainya aku suka sama kamu dan menganggap bahwa hubungan kita ini bukan hanya sekadar persahabatan biasa?"

Ayla jelas mengerutkan keningnya. Ini adalah pertanyaan paling konyol yang pernah diucapkan sahabatnya.

"No, you won't. It was a question," jawab Ayla sedikit tertawa seakan meremehkan. "Mana buktinya?"

Ya, Ayla meminta bukti. Maka, Marlo benar-benar membuktikannya. Ia menggenggam kedua bahu Ayla dengan tangannya, menatap mata perempuan itu tajam, lalu mulai mendorong dirinya sendiri agar wajah mereka bisa berdekatan. Ayla sedikit kaget, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa.

Wajah mereka semakin dekat, bahkan hidung keduanya sudah saling bersentuhan. Berselang beberapa detik, Marlo memegang wajah sahabatnya, lalu mendaratkan bibirnya di bibir Ayla. Laki-laki itu sepertinya terlalu terbawa perasaan sehingga berani berbuat nekad seperti itu.

Detik pertama, Marlo memejamkan matanya. Detik kedua, Ayla masih kebingungan sehingga belum bisa membalas ciuman Marlo. Detik ketiga, mata Ayla ikut terpejam dan mulai melakukan hal yang Marlo lakukan saat ini. Detik selanjutnya, keduanya sadar, saling menatap mata masing-masing dengan perasaan bingung.

"Maafin aku, La. Aku... aku nggak tahu apa yang terjadi sama diri aku saat ini."

Ketika Ayla hendak menjawab, Marlo sudah duluan pergi dari hadapannya. Ia berusaha mengejar, tapi gaun panjang dan sepatu tingginya membuat dia jauh tertinggal dari langkah Marlo. Di dalam ruang utama pun Marlo tidak kelihatan. Terlalu banyak orang di sana sehingga membuat Ayla kesulitan untuk mencari sosok yang baru saja mencium bibirnya itu.

"Lidia, kamu lihat Marlo, nggak?" tanya Ayla pada teman sebangkunya itu.

"Tadi aku lihat dia keluar ruangan, tapi nggak tahu mau ke mana."

***

Next Chapter: (Not) A Friendzone Story - Ending

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun