Di lobi gedung tua itu
sebuah pintu keluar berdiri seperti kesimpulan
yang belum dipahami
Engselnya berdecit seperti suara nenek-nenek
yang tak lagi dipercaya cucunya sendiri
Ia berputar
tapi tak pernah benar-benar melepaskan siapa pun
Seorang lelaki dengan jas hujan kelabu mendorongnya
namun ia kembali ke ruang tunggu
tempat majalah tahun lalu masih percaya
pada masa depan
Di balik kaca pintu itu
kota seperti lukisan yang sudah dikeramas terlalu sering
Warnanya pudar
Gedung-gedungnya menguap
Tak ada hujan
hanya kemungkinan akan hujan
Tak ada kebebasan
hanya bayangan yang menjuntai di trotoar
Baca juga:Â Cinta Tak Pernah Sempat Duduk
Perempuan bersepatu merah
mencoba berjalan ke luar
Tapi langkahnya terlipat dalam putaran
dan ia kembali ke bayangan dirinya yang sedang menanti
telepon berbunyi dari seseorang
yang tak akan pernah meneleponnya lagi
Pintu itu tak salah arah
Ia tahu ke mana harus membawa manusia
Ke dirinya sendiri
Ke ruangan-ruangan kecil yang pernah disebut keputusan
Ke cermin yang memantulkan pertanyaan
"Sudah sejauh ini
untuk kembali ke mana?"
Terkadang seorang anak kecil
masuk dari luar tanpa sengaja
dan tertawa karena tak tahu
bahwa seluruh hidup orang dewasa
adalah mencari pintu keluar
yang tak sengaja dibentuk dari temboknya sendiri
Baca juga:Â Laut yang Lelah
Dan ketika malam tiba
lampu-lampu padam satu per satu
Pintu itu berhenti berputar
Di balik kaca
tak ada siapa-siapa
Di dalam ruangan
orang-orang tertidur
sambil menggenggam gagang pintu
yang tak pernah bisa mereka buka seluruhnya
(Sudirman, 2025)