Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Antara Sepak Bola dan Futsal

31 Maret 2018   18:41 Diperbarui: 3 April 2018   02:18 3811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.wallpapersbrowse.com

Perkembangan futsal di tanah air bisa dibilang cukup pesat. Hal tersebut ditandai dengan maraknya pembangunan Gor futsal disetiap daerah bahkan hingga pelosok, berbagai kalangan dari muda sampai tua bahkan wanita pun dengan mudahnya mengakses permainan futsal. Itu mengapa, sepakbola sore hari tidak banyak lagi diminati dilevel amatir. Bukan itu saja, turnamen futsal akhir-akhir ini lebih mendominasi ketimbang ajang tarkaman sepakbola.

Logikanya, ketika kita ingin mengakses permainan sepakbola, kita harus mengumpulkan pemain sekurang-kurangnya 11 pemain. Itupun jika kita sudah mempunyai lawan, kalau tidak ada lawan kita harus mencari 11-15 pemain lagi supaya permainan bisa digulirkan. Berbeda dengan futsal, 10-15 amunisi pun sudah memenuhi syarat untuk melangsungkan pertandingan.

Meski begitu, di level profesional harus kita akui bahwa ketenaran sepakbola jauh di atas futsal. Ketika sepakbola tengah melaju ke arah industri, futsal baru saja melepaskan diri dari olahraga gaya hidup ke cabang olahraga yang bisa diakui di pelbagai gelaran olimpiade/kejuaraan lainnya. Bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang kurang mengenali pemain Timnas futsalnya sendiri.

Jangankan pemain dalam negeri, pemain terbaik dunia di futsal pun tidak banyak yang mengetahui. Kurangnya sosialisasi kompetisi dan pertandingan futsal level nasional maupun internasional sangat memengaruhi hal tersebut. Akan tetapi, futsal memiliki prosfek lebih baik ketimbang sepakbola itu sendiri. Itu mengapa banyak sekali pemain sepakbola yang banting stir menjadi pemain futsal ditengah sulitnya daya saing untuk menjadi pemain bola.

Walaupun kedua olahraga ini memiliki tujuan yang sama, namun seolah sepakbola dan futsal itu berbeda dalam segala aspek, termasuk teknik dasarnya. Kini, futsal tengah berusaha menarasikan bahwa mereka ingin dewasa dan mandiri bahkan melampaui kakaknya (baca: sepakbola) yang lebih dahulu berkibar hingga mampu menggaet umat yang tak terhingga sampai saat ini. Umat yang sulit dihitung dengan jari tangan, umat yang fanatik.

Adakalanya pemain yang mencintai sepakbola mengarahkan sumpah serapah kepada futsal karena kehadiran olahraga yang satu ini membuat akses mereka untuk memainkan sepakbola dilapangan besar kian terkikis. Sebaliknya, yang merasa terdzhalimi dan banting stir dari sepakbola melakukan sumpah yang sama karena sakit hati terkucilkan dari sepakbola.

Daya Saing

Berbicara atlet tentu tak lepas dari masa depan, atlet sebagai profesi. Setiap orang mendambakan profesi yang prosfek kedepannya cerah. Sehingga tidak sedikit orang-orang yang intens di olahraga mencari cabor-cabor yang lebih mudah daya saingnya untuk dijadikan jalan hidup.

Misal, penulis memiliki beberapa teman yang bergelut di dunia olahraga, mereka mayoritas mahasiswa Fakultas Keolahragaan. Mereka cukup akrab dengan sepakbola, futsal, bulu tangkis, dll. Pada satu hari, diadakan seleksi atlet dayung, baseball, squash, dan paralayang untuk gelaran PON. Dan salah satu teman saya mengikuti seleksi tersebut.

Alhasil, dengan minimnya peminat Ia diterima dengan mudah untuk mengikuti PON sebagai atlet dayung. Itulah yang dinamakan prosfek dalam dunia olahraga. Setiap atlet bisa saja banting stir dari cabor A ke Cabor B.

Migrasi dari sepakbola ke futsal pun sering terjadi. Sebagai contoh, pemain Vamos Mataram, Bambang Bayu Saptaji terlahir di keluarga sepakbola. Ia pun menggeluti dunia si kulit bundar, akan tetapi di sepakbola Ia merasa terpinggirkan. Karirnya selalu mentok di bench cadangan.

Dengan begitu, BBS sapaan Bayu Saptaji, memutuskan untuk hijrah ke futsal. Beruntung Ia bertemu dengan Andri Pescu di Libido FC. Hingga Ia bisa digodok menjadi pemain bintang nasional.

Hal demikian menyimpulkan bahwa futsal masih memiliki daya saing yang minim dan bisa dijadikan oleh pesepakbola yang kurang beruntung sebagai destinasi selanjutnya dalam karir mereka. Kondisinya jauh berbeda dengan persaingan di sepakbola.

Untuk masuk Diklat pun harus melalui seleksi yang super ketat. Misal Diklat Salatiga (sekarang PPLP Jawa Timur), Diklat Ragunan, dan Diklat Persib memiliki kriteria yang tinggi bagi pemain yang ingin mengikuti seleksi. Minimal mereka pernah menjadi pemain terbaik/topskor atau sekurang-kurangnya pernah berkompetisi di tingkat provinsi, semacam LPI (Liga Pendidikan Indonesia) se-Jawa Barat, Danone Nation Cup, Piala Soeratin, dll.

Ketatnya sistem seleksi di sepakbola serasa tidak cukup untuk mnghentikan keinginan anak-anak yang bermimpi menjadi pesepakbola nasional. Karena rumor yang beredar, terendus sistem seleksi yang tidak sehat di sepakbola berbagai kelompok usia hingga senior.

Banyaknya isu pemain titipan membuat tidak sedikit talenta mundur sebelum perjuangan di tahap seleksi dimulai. Ada semboyan yang mengatakan: "No money no game". Walaupun semboyan tersebut tidak diucapkan langsung oleh pelatih saat seleksi agaknya para pemain seleksian ini memahami betul ada sesuatu yang tidak sehat dalam seleksi tersebut. Tanda-tanda kongkalikong sudah mulai bisa dibaca saat seleksi tahap akhir banyak muka-muka baru yang tiba-tiba mengikuti seleksi. Dan merekalah yang terpilih, yang tidak mengikuti seleksi dari awal. The power of money (ampau pelatih, red).

Jika sudah seperti itu, futsal seolah menjadi solusi. Orang-orang yang tersakiti di sepakbola membuktikan dirinya di futsal. Tahap demi tahap seleksi di futsal berjalan dengan sehat.

Penulis pernah menangani dua tim berbeda, yaitu tim sepakbola dan tim futsal sebagai pelatih. Saat menangani tim sepakbola, saya banyak didatangi orang tua pemain saat seleksi. Ada yang menawarkan makan-makan, memberi sesuatu didalam bingkisan hingga ampau.

Ternyata pendekatan semacam itu bukan merupakan keikhlasan pribadi dalam memberi melainkan menyampaikan maksud dan tujuannya. Tersirat bahwa ortu tersebut meminta feedback agar anaknya bisa masuk tim dan bermain reguler. Lain cerita saat melatih tim futsal. Tidak banyak intervensi semacam itu, kita (sebagai pelatih) bisa dengan tenang memilih pemain untuk kebutuhan tim.

Selain daya saing pemain. Futsal menjadi ladang basah bagi orang-orang yang menyukai sepakbola tapi tak memiliki kesempatan disana. Sektor wasit, pelatih, dan perangkat pertandingan masih terbuka lebar untuk jalan karir yang prosfek nya lebih cerah.

Fasilitas yang Memudahkan Akses

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, marak berdirinya gor futsal menjadi jawaban mengapa futsal kini lebih sering dimainkan ketimbang sepakbola. Pagi, siang, sore, malam, hujan, dan panas sekalipun futsal tetap bisa dimainkan karena lapangan bersifat indoor. Sangat mudah diakses oleh siapa saja, mahasiswa, pejabat, kelas pekerja, dll.

Selain tidak perlu mengumpulkan pemain sebanyak-banyaknya, futsal selalu bisa dimainkan kapanpun. Berkaitan atau tidak, generasi milenial terbukti cengeng dalam konteks memilih permainan. Contoh kecil ketika mereka lebih nyaman memainkan gadget dirumah ketimbang bermain sepeda, kucing-kucingan, permainan tradisional, dll yang dilakukan di outdoor.

Pun dengan olahraga, hobi boleh sepakbola tapi jarang sekali memainkannya dilapangan terbuka. Mereka seolah tidak mau kepanasan, kehujanan, dan anti kotor. Generasi M lebih memilih yang praktis dengan membuat jadwal futsal di Gor.

Dengan tumbuhnya fasilitas, memudahkan mereka mengakses futsal. Bagaimana gor futsal selalu penuh sampai diberlakukan sistem booking dan penjadwalan. Lima tahun kebelakang mungkin kita masih bisa mengakses sepakbola dengan mudah karena belum adanya olahraga bernama futsal ini.

Hal ini sejalan dengan stuck nya fasilitas lapangan sepakbola, kita tentu saja masih ingat kampanye satu desa satu lapangan bola dari KEMENPORA RI. Namun, keterbatasan lahan di kota metropolitan membuat program tersebut tersendat. Di pedesaan mungkin kita bisa bebas menggunakan lapangan sepakbola sepuasnya tapi di kota-kota besar kita harus sewa lapangan untuk bisa memainkannya.

Lapangan yang nyaman membuat futsal menjadi pilihan dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat berbagai kelas. Ketiadaan lapangan sepakbola yang layak (baca: standar amatir lapangan sepakbola adalah kerataan) di berbagai daerah membuat kita lebih memilih bermain futsal, meskipun dari segi kepuasaan tidak melebihi sepakbola.

Di futsal tim manapun bisa berlatih kapan saja. Dengan pilihan lapangan yang sangat banyak. Sedangkan di sepakbola, tim level pro macam Persib Bandung, Persija Jakarta, bahkan Timnas pun masih sering kesulitan mencari lapangan untuk TC/berlatih.

Sistem Pembinaan

Futsal memang tengah melaju pesat dan memiliki prosfek yang bagus. Namun dibalik semua itu, ada beberapa hal yang perlu sesegera mungkin dibenahi. Salah satunya adalah sistem pembinaan dan organisasinya. FFI (Federasi Futsal Indonesia, red) masih fokus menggulirkan kompetisi level pro.

Academy futsal yang sudah beredar masih bisa dihitung oleh jari. Pun dengan Vamos Academy, Donzol Education, dll hanya bisa diakses di kota besar. Hal ini berkaitan dengan SDM (Sumber Daya Manusia, red) yang masih minim di futsal khususnya dalam lingkup kepelatihan. Pelatih berlisensi masih amat sedikit.

Minimal lisensi level 1 nasional bisa dikantongi seorang pelatih academy futsal. Agaknya belum adanya program cukup memengaruhi hal ini. Mengapa demikian? Disaat sepakbola baru saja meluncurkan kurikulum pembinaan FILANESIA (Filosofi Sepakbola Indonesia)yang digarap pelatih kawakan Danurwindo, futsal belum memikirkan organisasi-organisasi yang membawahi academy. Seperti di sepakbola ada forum SSB disetiap PSSI Askab/Askot (Asosiasi Kabupaten/Asosiasi Kota). Hal ini menjadi dasar sistem pembinaan di sepakbola, sampai artikel ini ditulis futsal belum menjalankannya.

Terlalu bergantungnya futsal ke sepakbola juga masih jadi kendala paling umum. Futsal dan sepakbola masih satu atap, sepakbola masih membawahi futsal, alias futsal masih menginduk ke sepakbola. Adanya keterkaitan futsal dengan PSSI tergambar saat Timnas Futsal kita nyaris gagal berangkat ke piala AFF tahun lalu. Justru Ratu Tisha Destia sebagai sekjen PSSI yang menyelesaikan polemik tersebut dan Bayu Saptaji dkk bisa mengikuti event tersebut. Saat ada masalah, FFI belum bisa menuntaskan sepenuhnya, mereka masih bergantung dengan PSSI.

Berbicara pembinaan, bukan hanya pembinaan pemain, melainkan pelatih juga. Sebelum kita mendambakan pemain hebat terlahir, kita harus berpikir siapa yang akan melahirkannya? Disinilah peranan pelatih dibutuhkan. Minimnya pelatih berlisensi di futsal membuat sistem pembinaan grassroots level agak tersendat.

Sistem futsal di akar rumput perlu diberikan atensi lebih dari federasi, karena sistem pembinaan merupakan kunci kesuksesan futsal sebuah negara. Dimana bibit-bibit tersebut dikumpulkan untuk kemudian diolah secara terstruktur.

Maka dari itu, bisa disimpulkan jika PR federasi futsal masih menumpuk. Dalam konteks pembinaan pun ada beberapa hal yang perlu diperbaiki: pembinaan pelatih, pembinaan pemain, membuat kurikulum latihan futsal.

Berangkat dari fasilitas, SDM, daya saing, hingga ke sistem pembinaan. Baik futsal maupun sepakbola punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Keduanya memiliki celah-celah untuk dibenahi. Futsal prospeknya sangat cerah, namun sosialisasi yang kurang bagus membuat futsal agak tersendat untuk tenar.

Dalam kompetisi misalnya, disini peran media sangat dibutuhkan. Liga pro sekalipun masih belum menarik media nasional khususnya televisi untuk bisa menyiarkan secara langsung. EFL 2018 awalnya disiarkan oleh stasiun televisi milik ketum FFI, Hary Tanoe. Namun hanya 1-2 laga yang disiarkan secara langsung, selebihnya live streaming.

Selain itu, masih minimnya media cetak/online yang memberitakan futsal nasional. Itu mengapa futsal masih sulit dikenal oleh masyarakat kita, sosialiasi futsal masih perlu digebrak lagi agar futsal tidak stuck sampai sini. Sedangkan sepakbola sudah cukup tenar dikalangan masyarakat. Namun semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpa. Begitulah ungkapan yang pas untuk sepakbola.

Semakin banyaknya konflik yang tercipta, semakin runyam pula sepakbola itu sendiri. Isu-isu sekitar mafia, perebutan kekuasaan, dan kongkalikong dalam pelbagai hal membuat sepakbola tak indah lagi. Jika tak segera dibenahi, sepakbola tak ubahnya ekosistem yang makin tercemar.

Sepakbola maupun futsal harus segera membenahi kekurangannya masing-masing. Biarkan mereka merdeka beriringan walaupun dilevel bawah topik mengenai "sepakbola vs futsal" terus berkembang. Akan ada kerinduan disebuah sore tentang sepakbola dan hujan kemudian sebagian orang yang merindu itu membenci futsal. Dia terus bertanya, mengapa Tuhan ciptakan futsal (untuk menyingkirkan sepakbola di sore hari)?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun