Selain tidak perlu mengumpulkan pemain sebanyak-banyaknya, futsal selalu bisa dimainkan kapanpun. Berkaitan atau tidak, generasi milenial terbukti cengeng dalam konteks memilih permainan. Contoh kecil ketika mereka lebih nyaman memainkan gadget dirumah ketimbang bermain sepeda, kucing-kucingan, permainan tradisional, dll yang dilakukan di outdoor.
Pun dengan olahraga, hobi boleh sepakbola tapi jarang sekali memainkannya dilapangan terbuka. Mereka seolah tidak mau kepanasan, kehujanan, dan anti kotor. Generasi M lebih memilih yang praktis dengan membuat jadwal futsal di Gor.
Dengan tumbuhnya fasilitas, memudahkan mereka mengakses futsal. Bagaimana gor futsal selalu penuh sampai diberlakukan sistem booking dan penjadwalan. Lima tahun kebelakang mungkin kita masih bisa mengakses sepakbola dengan mudah karena belum adanya olahraga bernama futsal ini.
Hal ini sejalan dengan stuck nya fasilitas lapangan sepakbola, kita tentu saja masih ingat kampanye satu desa satu lapangan bola dari KEMENPORA RI. Namun, keterbatasan lahan di kota metropolitan membuat program tersebut tersendat. Di pedesaan mungkin kita bisa bebas menggunakan lapangan sepakbola sepuasnya tapi di kota-kota besar kita harus sewa lapangan untuk bisa memainkannya.
Lapangan yang nyaman membuat futsal menjadi pilihan dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat berbagai kelas. Ketiadaan lapangan sepakbola yang layak (baca: standar amatir lapangan sepakbola adalah kerataan) di berbagai daerah membuat kita lebih memilih bermain futsal, meskipun dari segi kepuasaan tidak melebihi sepakbola.
Di futsal tim manapun bisa berlatih kapan saja. Dengan pilihan lapangan yang sangat banyak. Sedangkan di sepakbola, tim level pro macam Persib Bandung, Persija Jakarta, bahkan Timnas pun masih sering kesulitan mencari lapangan untuk TC/berlatih.
Sistem Pembinaan
Futsal memang tengah melaju pesat dan memiliki prosfek yang bagus. Namun dibalik semua itu, ada beberapa hal yang perlu sesegera mungkin dibenahi. Salah satunya adalah sistem pembinaan dan organisasinya. FFI (Federasi Futsal Indonesia, red) masih fokus menggulirkan kompetisi level pro.
Academy futsal yang sudah beredar masih bisa dihitung oleh jari. Pun dengan Vamos Academy, Donzol Education, dll hanya bisa diakses di kota besar. Hal ini berkaitan dengan SDM (Sumber Daya Manusia, red) yang masih minim di futsal khususnya dalam lingkup kepelatihan. Pelatih berlisensi masih amat sedikit.
Minimal lisensi level 1 nasional bisa dikantongi seorang pelatih academy futsal. Agaknya belum adanya program cukup memengaruhi hal ini. Mengapa demikian? Disaat sepakbola baru saja meluncurkan kurikulum pembinaan FILANESIA (Filosofi Sepakbola Indonesia)yang digarap pelatih kawakan Danurwindo, futsal belum memikirkan organisasi-organisasi yang membawahi academy. Seperti di sepakbola ada forum SSB disetiap PSSI Askab/Askot (Asosiasi Kabupaten/Asosiasi Kota). Hal ini menjadi dasar sistem pembinaan di sepakbola, sampai artikel ini ditulis futsal belum menjalankannya.
Terlalu bergantungnya futsal ke sepakbola juga masih jadi kendala paling umum. Futsal dan sepakbola masih satu atap, sepakbola masih membawahi futsal, alias futsal masih menginduk ke sepakbola. Adanya keterkaitan futsal dengan PSSI tergambar saat Timnas Futsal kita nyaris gagal berangkat ke piala AFF tahun lalu. Justru Ratu Tisha Destia sebagai sekjen PSSI yang menyelesaikan polemik tersebut dan Bayu Saptaji dkk bisa mengikuti event tersebut. Saat ada masalah, FFI belum bisa menuntaskan sepenuhnya, mereka masih bergantung dengan PSSI.