Mohon tunggu...
Gigih PN
Gigih PN Mohon Tunggu... Kepala Keluarga

Mas - mas biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dibalik Tawamu

15 Agustus 2025   17:49 Diperbarui: 15 Agustus 2025   17:49 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hesa selalu ada di samping Alena, sebagai teman, pendengar, dan tempat pulang yang tak pernah diminta. Ia menyimpan rasa yang tumbuh perlahan, di antara tawa yang bukan untuknya dan cerita-cerita tentang pria lain. Dalam diam, Hesa mencintai tanpa syarat, berharap tanpa suara, dan menunggu tanpa janji.

Hesa tak pernah tahu sejak kapan ia mulai menunggu, seperti menunggu hujan turun di bulan yang enggan basah, duduk di antara jam-jam yang tak punya suara, mendengar detik berjalan pelan, seolah tahu hesa sedang menanti sesuatu yang tak pasti. Itulah yang ia rasakan saat menunggu pesan dari Alena, seorang sahabat yang terlalu dekat untuk ia jaga jarak. Terlalu penting dan kawatir untuk jujur soal rasa.

Suatu sore, Alena bercerita tentang pria yang membuatnya tersenyum belakangan ini. Hesa mendengarkan, seperti biasa. Ia menanggapi dengan tawa kecil, menyembunyikan retak yang pelan-pelan tumbuh di dadanya.

"Kamu pikir dia suka aku?"
"Siapa yang nggak suka kamu, Len?" jawab Hesa, sambil menatap langit yang mulai kehilangan warnanya.

Alena tertawa, tidak menyadari bahwa kalimat itu bukan basa-basi.
Itu pengakuan yang disamarkan.
Hesa tidak menatapnya saat mengucapkannya, hanya memandangi langit yang mulai kehilangan warna.
Ia tahu, jika ia menatap, kata-kata itu akan terdengar seperti harapan.
Dan ia tidak ingin berharap.

Hesa pulang malam itu dengan langkah pelan. Ia melewati jalan yang biasa mereka lewati bersama, tapi kali ini sendiri. Ia menatap lampu-lampu kota yang redup, seperti hatinya. Ia ingin berhenti. Ingin jujur.

Hesa ingin jujur, ingin mengatakan bahwa setiap tawa Alena adalah alasan ia bertahan, bahwa setiap cerita tentang pria lain adalah luka yang ia peluk diam-diam. Tapi ia tahu, kejujuran kadang tak menyelamatkan apa-apa---hanya membuat segalanya berubah, dan ia tak siap kehilangan apa yang sudah ia miliki, meski itu hanya peran sebagai pendengar. Ia memilih diam, seperti langit yang tahu kapan harus menyimpan hujan. Karena mencintai dalam diam adalah satu-satunya cara ia bisa tetap dekat, tanpa harus pergi karena ditolak, atau tinggal tapi tak lagi dibutuhkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun