Mohon tunggu...
Gigih Prayitno
Gigih Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Masih belajar agar dapat menulis dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memeluk Papua Lebih Erat

22 Agustus 2019   16:36 Diperbarui: 22 Agustus 2019   16:40 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Massa Papua di Jakarta | Twitter/febrofirdaus 

Polemik permasalahan terkait Papua sampai saat ini belum mereda juga. Hari ini (22/8/2019) masih terjadi aksi unjuk rasa di beberapa tempat, salah satunya terjadi di Papua.

Sebelumnya telah terjadi bentrokan (15/8/19) antara sekelompok warga Malang dan mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) usai melakukan aksi damai di Balai Kota Malang untuk mengecam penandatanganan New York Agremement antara pemerintah Indonesia  dan Belanda pada 15 Agustus 1962 silam.

Pertikaian itu berlanjut keesokan harinya (16/8/19) ketika secara tiba-tiba sekitar 15 anggota TNI beserta ormas yang mendatangi asrama Papua di Surabaya. Anggota TNI dan ormas tersebut pun bersikap arogan lantaran bendera merah-putih milik pemerintah kota Surabaya yang terpasang di depan asrama Papua sudah jatuh ke dalam got. Padahal disinyalir tindakan itu dilakukan oleh oknum dan bukan berasal dari mahasiswa Papua.

Seseorang merekam kejadian pada 16 Agustus tersebut dan menjadi viral, hingga menjalar pada aksi masa, kerusuhan serta pembakaran di beberapa tempat.

Kota Manokwari lumpuh, gedung DPRD Papua terbakar, dan beragam aksi pun diluncurkan di beberapa daerah seperti Fakfak, Sorong, Semarang, Salatiga, Yogya dan masih banyak lainnya. Mereka melakukan aksi unjuk rasa lantaran marah dan kecewa kekecewaan mereka terhadap respon dari pemerintah yang tak jua tanggap menangani permasalahan tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya.

Pemerintah pun dianggap gagap menangani permasalahan ini, beberapa gagap yang dilakukan pemerintah seperti pemblokiran akses internet yang dilakukan oleh Kominfo, Polisi menyalahkan dan memburu penyebar video bukannya mencari oknum yang melakukan tindakan diskriminasi ras yang terdapat pada video, hingga respon Jokowi yang mengimbau saling memaafkan.

Akar dari permasalahan ini justru tidak diselesaikan, hingga aksi unjuk rasa dari orang Papua yang ada di berbagai tempat masih terjadi pada hari ini.

Pada hari ini aksi unjuk rasa juga terjadi di berbagai tempat, salah satunya di Jakarta yang menuntut Presiden Jokowi untuk mengadili pelaku rasisme di Surabaya yang mengatakan orang Papua sebagai monyet, mencopot Kapolrestabes Surabaya dan meminta masalah ini diselesaikan.

Permasalahan ini sebenarnya bukan permasalahan kecil, ini seperti gunung es yang sudah terbentuk puluhan tahun dengan problem yang sangat besar di dasarnya namun yang terlihat di permukaan hanya sebatas isu rasial dan kerusuhan saja.

Padahal ini adalah efek beruntun yang terjadi karena negara "menganaktirikan" Papua dalam berbagai hal speerti pembangunan, kesehatan, pendidikan, ekonomi yang memperlihatkan ketimpangan yang cukup jelas, terlihat Papua ketinggalan dibandingkan daerah lainnya yang ada di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya bukan tidak tahu permasalahan apa yang terjadi di Papua.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 2009 telah melakukan riset selama empat tahun mengenai akar permasalahan di Papua.

Hasil dari riset tersebut itu pun terhimpun dalam jurnal penelitan yang mereka sebut "Papua Road Map" yang menjelaskan empat akar yang menjadi permasalahan utama di Papua yang sampai saat ini tidak ada satupun yang terselesaikan oleh Pemerintah yang seharusnya menjadi rumah untuk menaungi Papua.

Terdapat empat akar permasalahan yang hadir yang menjadi dasar gunung es kerusuhan dan aksi unjuk rasa yang terjadi hingga hari ini:

Pertama mengenai masalah sejarah serta status politik integrasi Papua ke Indonesia, sampai saat ini masih ada orang-orang Papua yang belum merasa terintegrasi ke Indonesia yang dilakukan dengan benar, sehingga butuh pembicaraan panjang dari dua pihak; Pemerintah dan Papua.

Kedua, mengenai kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak tahun 1965 hingga sekarang melalui operasi militer yang tidak ada pertanggungjawaban dari negara Operasi militer ini tentu merugikan masyarakat Papua, dimana banyak sekali yang menjadi korban dari tindakan represif dari aparat.

Terhitung sejak 2014 hingga 2018, setidaknya sudah ada 15 warga sipil dan 14 aparat Indonesia yang tewas menjadi korban dalam berbagai insiden kekerasan bersenjata yang ada di Papua.

Dalam empat tahun terakhirpun, insiden kekerasan bersenjata, baku tembak dan penyanderaan terjadi di empat tempat, yakni Kabupaten Nduga, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, PT Freeport Mile 68 dan Kabupaten Puncak.

Ketiga, perasaan terdiskriminasi dan termajinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang papua dalam rumusan pembangunan di tanah Papua. Berdasarkan bentuk tubuh memang orang Papua yang memiliki ras Melanesia memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan ras Melayu, Jawa, Minang dan ras Indonesia lainnya.

Seorang aktivis Papua Filep Karma dalam tayangannya di Mata Najwa mengatakan bahwa isu diskriminasi ini dirasakan orang-orang Papua yang memiliki ras Melanesia terjadi dari mereka yang berasal dari suku Jawa dan Melayu, yang notabene adalah dua suku terbesar di Indonesia yang sudah seharusnya kita mengambil langkah pertama menghentikan diskriminasi ini.

Akar permasalahan keempat terkait dengan pembangunan di Papua yang dinilai gagal (riset ini dibuat pada tahun 2009 hingga 2013), dimana mengakibatkan efek domino di berbagai sektor seperti pada bidang pendidikan, kesehatan hingga ekonomi rakyat. Hampir di semua bidang Papua memiliki indeks kehidupan yang paling kecil.

Hingga pada kepemimpinan Joko Widodo saja pembangunan di Papua terjadi perubahan secara signifikan, namun hal itu tidak serta-merta menaikkan kualitas hidup orang Papua itu sendiri.

Yang dilakukan oleh Jokowi baru sebatas memperhatikan infrastruktur adalah yang baik namun sebenarnya tidak berpengaruh secara signifikan pada penduduk Papua, lebih dari itu, pemerintah seharusnya mengenal lebih dekat Papua dengan hati, tidak sekadar tentang pembangunan.

Proses pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah sebaiknya akan terus berjalan dibarengi dengan penerimaan orang Papua menjadi bagian dari negara dengan hati, selama ini kita tahu Freeport tambang terbesar di Indonesia berada di Papua, namun orang Papua sendiri merasa ketiadaan "tangan" pemerintah untuk turun tangan mengurusi masalah yang dihadapi oleh orang Papua.

Sudah saatnya pemerintah mendengarkan suara orang Papua sendiri yang sudah lama terasa terabaikan, tidak melakukan apa yang dipandang benar oleh pemerintah melainkan melakukan apan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat pemerintah.

Tidak hanya pemerintah, kita, individu yang menjadi bagian dari Indonesia, yang juga terdapat orang Papua di dalamnya juga turut serta meredam konflik yang mendasar pada isu diskriminasi ini. Ras Melanesia memang memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan suku-suku lainnya, namun tidak serta merta kita harus membuat jarak pemisah yang saat ini menjadi jurang yang dalam dan panjang.

Sekali lagi, baik Melayu, Minang, Batak, Bugis, Dayak Jawa, hingga Melanesia atau apapun suku ras yang ada di Indonesia merupakan bagian dari Indonesia. Sudah merdeka selama 74 tahun seharusnya kita seudah selesai dengan sikap rasis dan diskriminasi untuk mereka yang dianggap berbeda.

Ras merupakan identitas yang sudah ada sejak lahir dan tidak bisa dirubah, namun tindakan diskriminasi adalah sesuatu yang lahir dari pola pikir dan hal tersebut bisa kita singkirkan.

Sekarang waktunya untuk mengambil langkah untuk mengenal dan memeluk Papua lebih erat hingga kita bisa berjalan bersama untuk mencapai sebuah tujuan negara dengan tingkat kesejahteraan dan keamanan yang merata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun