Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bingkisan Senilai Gocap

4 Juli 2016   06:48 Diperbarui: 4 Juli 2016   07:42 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Panoramik sedang berperkara. Tanah miliknya tiba-tiba saja menjadi bahan sengketa. Ada pihak yang menggugat dan mempermasalahkan sertifikat tanah yang sudah belasan tahun dimilikinya. Panoramik berduka. Ia merasa waktunya akan terbuang sia-sia. Akan banyak yang dirugikan dan "terzalimi" karenanya.

Berkali-kali Panoramik dipanggil dan harus menjalani "wawancara". Berkali-kali pula Panoramik terpaksa tidak bisa berkarya seperti biasanya. Untuk menyewa pengacara ia tak punya biaya. Hanya kebetulan ia punya kenalan wartawan yang pernah meminta bantuan padanya. Si wartawan menuliskan kasus Panoramik hingga mendapat perhatian massa.

Maka muncullah para pahlawan menawarkan bantuan. Ada tokoh misterius, sebutannya Markemis, yang menawarkan bantuan hukum gratis. Panoramik senang bukan kepalang. Hebatnya, hanya dalam hitungan bulan, kasus tanah Panoramik selesai di pengadilan, Panoramik pulang dengan membawa kemenangan. Panoramik senang, tapi hanya bisa berterima kasih lewat ucapan dan bingkisan ala kadarnya pada Markemis. Panoramik agak heran. Karena Markemis menerimanya dengan diam.

Panoramik tak tahu. Bahwa kasus sengketa tanahnya telah melambungkan nama Markemis setinggi-tingginya. Jasanya pun dipakai di mana-mana. Panoramik terlalu lugu dan sibuk dengan urusannya berkarya. Ia baru tahu ketenaran Markemis saat seorang tetangganya membawakan koran padanya untuk dibaca. Ada berita wawancara Markemis di sebuah media. Ada pernyataan tentang alasannya membantu Panoramik secara gratisan dalam kasus yang akhirnya melambungkan namanya.

"Daripada cuma sepuluh duapuluh juta, mending saya gratiskan sekalian."

Panoramik sedih membacanya. Semula ia mengira bantuan Markemis padanya tulus adanya. Ternyata tidak semulia itu alasannya. Ternyata karena dirinya dianggap tidak mampu membayar layak, atau bayarannya dianggap tak berguna. Panoramik hanya bisa mengurut dada. Ia tetap berterima kasih pada Markemis, tetapi ia jadi khawatir terima kasihnya itu tidak ada manfaatnya, jika disampaikan lagi justru membuat Markemis mengingat lagi ketidakikhlasannya. Panoramik pun memilih melupakan dan fokus kembali pada kegiatannya berkarya.

Hingga suatu saat sebuah tabloid nasional memberitakan kehidupam Markemis yang berubah drastis. Dalam foto, tubuhnya terlihat pucat dan tak sehat; bertambah gemuk, tapi tak bersemangat. Meski dikatakan tidak membahayakan jiwa, sakitnya Markemis belum jelas jenisnya. Tidak berbahaya, tetapi tidak memungkinkannya untuk terus bekerja. Sementara tinggal di rumah yang minim paramedis membuatnya tak nyaman, ia memilih istirahat di tempat "aman", yaitu rumah sakit.

Sakit yang diderita Markemis nyaris menghabiskan harta kekayaannya. Perawatan rumah sakit mahal kelas satu yang dipilihnya menjadikanny begitu. Panoramik ingin membantu, tapi ia ragu. Panoramik khawatir bantuannya tidak dianggap perlu. Bantuan senilai limapuluh ribu darinya nanti itu apa iya bakal dipandang berharga? Panoramik diam dalam keraguannya.

Dan kemudian ada berita baru. Markemis keluar dari rumah sakit. Bukan karena sembuh dari penyakitnya, tetapi karena kehabisan biaya. Sakitnya tidak mengancam nyawa, maka dokter menyetujui Markemis dirawat swadaya di rumah terakhir yang dia punya. Insan pers juga memberitakan bahwa untuk membayar tagihan listrik saja, keluarga Markemis terpaksa berutang.

Membaca berita itu, Panoramik tergugah hatinya. Meski tak yakin, Panoramik mengira bantuan senilai limapuluh ribu darinya pada Markemis akan cukup berharga. Diam-diam Panoramik rindu juga pada sosok yang berjasa menyelamatkan dirinya dan cikal bakal panti asuhan yang kini menjelma nyata dikelola manusia-manusia jujur kepercayaannya.

Berangkatlah Panoramik mengunjungi Markemis. Kedatangannya disambut kernyit dahi penuh tanya Markemis dan keluarganya. Tak ada yang kenal Panoramik, ternyata. Markemis pun lupa, dan lupa itu berbalut rasa curiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun