Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Si Bajaj yang Tak Lagi Ngeles Sendirian

24 Januari 2020   10:24 Diperbarui: 24 Januari 2020   10:28 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bajaj di Jakarta. ( CEphoto, Uwe Aranas)

Jakarte punye cerite, begitulah sebuah slogan di masa kecil yang sayup-sayup saya ingat. Itu kalimat yang sering ayah saya ucapkan kalau menceritakan orang-orang yang logat bicaranya "lu..gue..lu..gue" sedang pulang kampung. Pulang kampung ke Jawa. Aslinya Jawa Tengah, merantau ke Jakarta, pulang kampung sudah berubah...gaya bicaranya.

Slogan itu bukan untuk mengejek atau sinis, lebih cenderung ke ungkapan rasa lucu. Sekaligus pengakuan bahwa cerita tentang Jakarta yang mampu mengubah karakter para pendatang itu terbukti benar adanya. Bukan hanya Jakarta dalam arti wilayah, tetapi juga budayanya. Karena ayah saya tahu slogan itu sepertinya dari nonton lenong betawi di TVRI. 

Dulu masih zamannya Nazar Amir dan Mpok Siti. Untung pemerintah masih pegang kendali penuh sehingga lenongnya tak terlalu vulgar makiannya. Mentok-mentoknya "gile, lu!" , "pejajaran, lu pade!", atau "cialat". Makian yang paling belakang itulah yang diadopsi ayah saya kala kesal, entah artinya apa. Ya, Jakarte memang punye cerite.

Lenong di televisi sekarang lebih variatif. Formatnya tak selalu bertajuk lenong. Banyak "Reality Show" sekarang yang disajikan dalam format lenong tak resmi alias lenong preman. 

Nah, dalam pertunjukan semacam inilah sering muncul slogan-slogan yang "epic". Slogan yang memiliki latar belakang dan arti yang (sebenarnya) mendalam meski hanya diekspresikan dalam sebaris kalimat. Salah satu contohnya adalah "Lu ngeles mulu kayak bajaj!"

Bajaj (dibaca: bajay) adalah sejenis kendaraan roda 3. Aslinya dari India, tapi sudah lama menjadi kendaraan rakyat Jakarta, sudah jadi bagian sejarah budaya Betawi. 

Bajaj Jakarta cukup unik. Konon, bajaj di Jakarta sering sekali ngeles di jalan. Ngelesnya bajaj dapat diartikan sebagai manuver atau zig-zag untuk menghindarkan diri dari menabrak atau ditabrak, pokoknya menghindar.

Nah, saking epic-nya si bajaj bagi masyarakat DKI Jakarta, sifat ngelesnya pun ditransformasikan pada manusia/orang. Maka jadilah julukan ngeles bagi orang yang selalu berusaha menghindar dan mengingkari berbagai hal agar (citra) dirinya "selamat". 

Belakangan, atribut ngeles itu santer disematkan pada orang yang "gemar" mengingkari ucapannya, tidak mau mengakui kesalahan, selalu berusaha membelokkan wacana yang berpotensi merugikan keanggunan dirinya. "Ngomongnya ngaco" kalau orang Betawi bilang.

Saya justru kasihan dengan si bajaj. Telanjur kena stigma negatif. Karena asalnya dari India, saya jadi ingat soal kasta. Si bajaj ini termasuk kasta biasa, kasta orang kebanyakan, bukan kasta tinggi apalagi ningrat. Mungkin keberadaan si bajaj hanya jadi cibiran bagi kaum ningrat. Bajaj tukang ngeles, orang ngeles kayak bajaj.. jijay.. begitulah.

Tapi ternyata ada fenomena baru. Si bajaj tidak lagi sendirian. Saya bukan nge-prank. Si bajaj tidak sendirian bukan maksudnya karena ia disopiri orang atau bawa penumpang. 

Si bajaj tak lagi sendirian karena sekarang yang suka ngeles bukan dirinya saja. Ada kasta tinggi di DKI yang ternyata hobi ngeles juga. Bisa tebak maksud saya?

Yup. Namanya busway. Bajaj lewat jauh dibandingkan dia. Busway? Iya busway... tapi busway yang itu. Emang demen ngeles die. Apalagi saat banjir melanda. Ogah basah kalau harus meniti jalanan yang kebanjiran, bikin sejuta alasan supaya malasnya tak kelihatan. Ogah kotor kena luapan lumpur selokan, bikin semilyar alasan supaya sifat sok-ningrat-nya tak ketahuan.

Well, ibukota memang menyediakan tak berhingga alasan untuk dikemukakan agar satu atau beberapa hal tidak jadi (terlihat perlu) dilakukan. Bahkan, bagi kalangan tertentu yang meyakininya, sekadar bicara tanpa melakukan aksi nyata sedikitpun bisa jadi dianggap tindakan paling bijaksana sejagat raya dari seorang pemimpin yang mereka puja. Padahal, semua orang waras juga tahu kalau ibukota dan ibukata merupakan dua hal yang sangat berbeda. Tapi ya begitulah Jakarte punye cerite.

By the way, dulu pernah ada sinetron tentang bajaj yang cukup epic, judulnya Bajaj Bajuri. Mungkin judulnya lebih tepat Bajaj dan Bajuri. Karena topiknya tak selalu bajaj, tetapi juga berbagai problema rumah tangga Bajuri dan tetangga-tetangganya. 

Nah, karena si bajaj dan si busway ini sama-sama ngelesnya, tak berlebihan kiranya jika saya mengusulkan dibuatnya sinetron yang mengangkat kisah si busway. Judulnya yang simpel saja supaya gampang epic. Misalnya, Busway dan Urbaningrum. Nah, lo..gimana tuh ngartiin-nya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun