Secara hukum, tidak.
Kandungan etanol dalam BBM diatur dan diperbolehkan oleh Kementerian ESDM, bahkan hingga batas 20% (E20).
Pertamina hanya menjalankan mandat ini untuk mendukung transisi energi nasional dan menghemat devisa impor minyak.
Namun, yang keliru adalah cara komunikasi dan koordinasinya.
Pemerintah tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada masyarakat soal apa itu bioetanol.
Perusahaan swasta seperti Shell, BP, dan Vivo tidak dilibatkan secara utuh dalam proses transisi ini.
Publik tidak diberi konteks bahwa etanol di BBM bukan oplosan ilegal, melainkan bahan bakar ramah lingkungan yang legal dan umum di negara maju.
Akibatnya, kebijakan yang sebenarnya baik ini malah menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan.
Konflik Pertamina vs Swasta: Masalah Teknis dan Bisnis
Pertamina menggunakan base fuel impor yang sudah mengandung etanol sekitar 3,5%, lalu menyalurkannya sesuai mandat pemerintah.
Namun, Shell, BP, dan Vivo menolak membeli pasokan ini karena dinilai tidak sesuai dengan spesifikasi teknis global mereka.
Jadi, konflik ini bukan karena Pertamina "berbuat salah", melainkan karena ketidaksinkronan antara mandat pemerintah dan strategi bisnis swasta.