Mohon tunggu...
GheMax
GheMax Mohon Tunggu... SysAdmin

We Can Do What U Can't Do

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Di Bawah Prabowo, Negara Akhirnya Menantang Mafia Tambang

6 Oktober 2025   19:24 Diperbarui: 6 Oktober 2025   19:24 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo kembalikan 6 Smelter ke PT Timah ( Source : Viva / Tim Media Presiden)

Kasus korupsi timah senilai Rp 300 triliun di Bangka Belitung menjadi momentum penting ketika negara akhirnya merebut kembali kendali atas kekayaan alam yang selama ini dikuasai jaringan rente dan mafia tambang.

Untuk pertama kalinya dalam dua dekade, negara menunjukkan taringnya terhadap kartel tambang yang beroperasi rapi di balik izin resmi dan pengaruh politik.

Kasus tata niaga timah yang menimbulkan potensi kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah ini membuka borok lama di sektor sumber daya alam. Skandal tersebut memperlihatkan bagaimana mafia tambang bekerja dengan sistematis: menggunakan baju perusahaan legal, memanfaatkan celah regulasi, dan menumpang pada birokrasi yang lemah.

Langkah Kejaksaan Agung merampas enam smelter dan menyerahkannya kembali kepada PT Timah Tbk bukan sekadar penegakan hukum. Ini adalah sinyal bahwa negara mulai mengambil alih kembali ruang-ruang ekonomi yang selama ini dikuasai kepentingan gelap. Sebuah penanda bahwa cengkeraman jaringan rente dalam sistem tambang nasional jauh lebih dalam daripada sekadar praktik "tambang ilegal".

Enam Smelter dan Jaringannya

1. PT Stanindo Inti Perkasa (SIP)

Dikendalikan oleh Suwito Gunawan alias Awi. Ia dan direktur MB Gunawan telah divonis dalam kasus tata niaga timah 2015--2022. SIP disebut membeli bijih dari tambang tanpa izin dan bekerja sama dengan smelter lain untuk mencuci asal-usul timah.

2. CV Venus Inti Perkasa (VIP)

Dimiliki Thamron Tamsil alias Aon, yang di pengadilan banding dijatuhi hukuman 18 tahun. VIP dan PT Menara Cipta Mulia (MCM) disebut sebagai poros utama distribusi timah dari penambangan liar ke jalur ekspor.

3. PT Menara Cipta Mulia (MCM)

Masih di bawah kendali Aon, MCM disebut memfasilitasi peleburan dan penjualan bijih yang tidak tercatat dalam sistem PT Timah.

4. PT Refined Bangka Tin (RBT)

Mayoritas saham (sekitar 73%) dipegang Suparta, yang juga menjabat direktur utama. RBT menjadi salah satu korporasi tersangka dalam perkara IUP PT Timah, meski manajemennya membantah terlibat dalam skema ilegal.

5. PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS)

Dikelola Robert Indarto, yang juga sudah divonis. Dalam persidangan, staf SBS mengakui adanya setoran ke money changer milik Helena Lim , bukti bahwa jejaring keuangan ikut berperan dalam pencucian hasil tambang ilegal.

6. PT Tinindo Internusa (Tinindo)

Perkara ini menyeret nama Hendry Lie, pendiri Sriwijaya Air, sebagai pemilik manfaat. Ia dijatuhi hukuman 14 tahun dan denda lebih dari Rp 1 triliun. Adiknya, Fandy Lingga, juga ikut dipidana dalam berkas terpisah.

Keenam perusahaan ini menjadi simbol bagaimana bisnis tambang bisa berubah menjadi instrumen kejahatan terorganisasi.

Mereka saling terkait dalam aliran bijih, peleburan, hingga transaksi ekspor yang menjadikan kejahatan ekonomi ini lebih menyerupai sistem, bukan sekadar praktik individu.

Fenomena ini menegaskan satu hal, mafia sumber daya alam tak lagi beroperasi di ruang gelap. Mereka hidup di tengah sistem, punya izin, punya perusahaan, dan bahkan punya akses ke kekuasaan. Celah perizinan, tumpang tindih regulasi, serta kompromi birokrasi menjadikan negara seolah tidak berdaya di hadapan kekuatan modal.

Bukti-bukti yang muncul menunjukkan keterhubungan antarperusahaan dari pemasok ore hingga eksportir. Semuanya saling menopang dalam struktur yang tampak legal.

Uang hasil tambang haram mengalir lewat jalur keuangan yang sah, sementara kerusakan lingkungan ditinggalkan begitu saja.

Mengapa Penindakan Belum Cukup ?

Penyitaan dan pengambilalihan smelter oleh negara adalah langkah penting, tapi belum cukup. Mafia SDA bertahan karena tiga simpul:

1. Celah hukum dan regulasi yang memungkinkan perizinan ganda dan manipulasi asal bahan baku.

2. Kolusi antara pejabat dan korporasi dalam bentuk "koordinasi biaya" untuk menutup praktik ilegal.

3. Instrumen keuangan bayangan, termasuk money changer dan rekening lintas nama, yang menjadi tempat parkir uang hasil tambang.

Selama tiga simpul ini tak diputus, jaringan mafia hanya akan berganti nama dan wajah.

Langkah yang Harus Diambil apa ?

1. Transparansi Beneficial Ownership (BO). Setiap perusahaan tambang wajib melaporkan pemilik manfaat secara terbuka dan terintegrasi dengan sistem ekspor serta pelabuhan.

2. Pelacakan digital rantai pasok. Ore yang masuk ke smelter harus terdata secara elektronik, dengan kode unik yang dapat ditelusuri hingga ekspor.

3. Forensik keuangan terpadu. Satgas Kejagung, PPATK, dan DJBC harus memfokuskan penyidikan pada benefit confiscation penyitaan hasil kejahatan, bukan hanya hukuman badan.

4. Sanksi korporasi progresif. Cabut izin dan diskualifikasi direksi yang terbukti terlibat, bukan sekadar denda administratif.

5. Rehabilitasi ekologis. Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal harus dipulihkan dengan dana escrow dari hasil penyitaan aset.

Keenam smelter yang kini dikuasai negara hanyalah permukaan dari gunung es ekonomi gelap yang menyandera sumber daya alam Indonesia.

Fakta bahwa para pemilik dan direksi sudah dijatuhi hukuman menunjukkan bahwa jaringan mafia SDA benar-benar hidup di dalam sistem formal.

Namun ada hal penting yang membedakan situasi sekarang dengan masa sebelumnya, baru di era pemerintahan Prabowo Subianto, langkah hukum berani ini benar-benar dijalankan.

Selama bertahun-tahun, semua orang tahu kebocoran besar dalam tata niaga timah tetapi tak banyak yang berani menyentuhnya.

Kini, negara menindak, menyita, dan menutup ruang bermain para pelaku.

Inilah perbedaan mendasar antara wacana dan tindakan: dari sekadar janji pemberantasan, menjadi langkah nyata yang menyentuh jantung kekuasaan ekonomi ilegal.

Keberanian politik inilah yang menentukan apakah negara sungguh berdaulat atas kekayaan alamnya, atau kembali tunduk pada kekuatan modal dan jaringan rente.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun