Mohon tunggu...
Gerry Gratias
Gerry Gratias Mohon Tunggu... Karyawan Swasta II Penikmat Jogja -

Selanjutnya

Tutup

Financial

Sudah Merantau, Bekerja Lepas Pula

6 Desember 2018   08:45 Diperbarui: 6 Desember 2018   09:20 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai perantau di Jogja yang sudah tak dibiayai orang tua dan bekerja lepas, kenaikan harga jadi topik sensitif. Baru saja saya misuh-misuh walau dalam hati setelah makan disebuah warung makan pekan lalu.

Bagaimana tidak, saya harus menebus sepiring nasi sayur sop dengan lauk tiga tempe mendoan, seuprit oseng tempe plus segelas es teh dengan selembar uang duapuluh ribu ditambah seribuan. Harga itu harus saya bayar padahal tak ada lauk hewani yang kerap jadi kambing hitam melonjaknya harga. Harga ini jelas melebihi patokan kuota belanja makan saya. Per makan Rp. 10.000 hingga maksimal Rp. 15.000.

Kekesalan saya semakin berlipat mengingat keberadaan warung itu ada ditengah kompleks kampus Bulaksumur. Tempat yang harusnya ramah dan sopan pada dompet. Mengunyah nasi sambil menahan kesal sungguh tidak enak. Warung makan tadi memang bukan menjadi potret keseluruhan warung makan di Jogja.

Tentu masih banyak tempat yang menawarkan menu dengan harga lebih murah. Namun peristiwa saya tadi bisa jadi potret terburuk dari kebutuhan pangan di Jogja. Belum kebutuhan dasar lain yaitu papan.

Untuk sebuah rumah kontrakan tiga kamar di bantaran sungai saya dan kedua teman lain harus membayar Rp. 10.000.0000 per tahun. Angka itu adalah yang paling minim diantara rumah-rumah sewa lain yang pernah saya temui di sekitar Kecamatan Sinduadi, Sleman.

Itu belum termasuk biaya bulanan, listrik, internet dan gas yang sudah jadi kebutuhan kami serumah. Kami harus patungan Rp. 250.000 hingga Rp.300.000 per bulan per satu kepala.

Namun hidup tidak Cuma soal makan dan bisa tidur dimana, saya juga butuh pakaian dan merawat diri. Ada lagi pos untuk perlengkapan mandi juga laundry (karena keterbatasan lahan) yang harus saya tebus. Seminggu sekali saya mengirim baju-baju kotor ke laundry dengan upah Rp.20.000 sampai Rp.25.000. Aneka sabun dan sampo saya beli tiap bulan dengan pengeluaran rata-rata Rp.200.000.

Jika saya hitung-hitung, untuk bisa bertahan hidup di Jogja satu minggunya saya harus menyisihkan uang sebesar Rp.300.000 untuk kebutuhan dasar saja, termasuk bensin, rokok dan pulsa. Diluar itu saya tetap harus memutar otak untuk menutup biaya operasional rumah sewaan. Kondisi saya setiap bulan hampir seperti yang dilukiskan Kunto Aji dalam lagunya, Akhir Bulan.

Sebagai milenial gaya hidup bukan hal tersier lagi. Menengok kondisi keuangan tentu gaya hidup yang dimaksud bukan liburan ke luar kota atau makan di restoran paling hits. Cukup pergi ke warung kopi atau Coffee shop. Secangkir kopi susu gula kelapa seharga paling mahal Rp.15.000 jadi andalan saya.

Jangan salah sangka, saya pergi ke Coffee shop juga untuk urusan pekerjaan. Tren yang semakin menjamur di Jogja. Tempat kerja sambil gaul dan ngopi. Cocok dengan jiwa muda saya.

Ada satu lagi gaya hidup yang biayanya harus saya tanggung, memesan makanan lewat aplikasi. Saya jamin, tidak ada pembaca dan penulis di Kompasiana yang belum pernah mencoba fitur ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun