Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dongeng Demokrasi, Riwayat Kelam Masa Depan Sistem Noken

21 Agustus 2014   12:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:59 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408572679393192172

[caption id="attachment_320206" align="aligncenter" width="502" caption="ilustrasi: metrotvnews.com"][/caption]

Tanpa bermaksud mendahului putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan sengketa hasil Pilpres yang akan dibacakan siang ini (Kamis, 21/8/2014) artikel sederhana ini semata-mata hendak memberikan catatan kritis (mudah-mudahan ilmiah) tentang duduk persoalan sistem Noken dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Tujuannya agar pembaca (khususnya Kompasianer) lebih mudah memahaminya, sehingga tidak ikut-ikutan mencerca atau buru-buru memvonis alias latah.

Persoalan sistem Noken memang sedang menjadi isu primadona terkait Papua saat ini yang secara kebetulan termasuk materi gugatan tim kuasa hukum Prabowo-Hatta. Sistem Noken ikut diklasifikasi sebagai pelanggaran aturan Pemilu.

Sepanjang yang saya tangkap, substansi yang dipersoalkan bermuara pada ujung yang sama, yakni HAM dan Demokrasi. Artinya, ketika otoritas negara ‘memperbolehkan’ sistem noken dipraktikan dalam pelaksanaan Pemilu di Papua, maka secepat kilat kelompok-kelompok yang tidak setuju menggunakan prinsip HAM dan Demokrasi sebagai “senjata” untuk melawan dan “tameng” untuk menangkis.

Padahal pemberlakuan sistem Noken juga menggunakan HAM dan Demokrasi sebagai landasan berpijak. Karena tanpa kedua prinsip universal itu (HAM dan Demokrasi) semua produk politik (termasuk Undang-Undang Dasar, hukum dan aturan perundang-undangan) ibarat tubuh tak berjiwa. Ini argumen saya:

Ada banyak ahli tata negara yang mengemukakan teori tentang demokrasi. Kita tinggalkan berbagai teori demokrasi yang rumit-rumit itu, kita ambil saja benang merahnya. Yaitu warga negara diberi hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (demos = rakyat, kratos/kratein = kekuasaan/berkuasa)[1] yang mekanismenya diatur melalui Pemilu.

Di setiap negara, tata cara pelaksanaan Pemilu berbeda-beda, disesuaikan dengan keadaan dan kondisi negaranya. Namun prinsip dari Pemilu tetap sama, yakni pelaksanaan (mekanisme) dari sistem demokrasi.

Mekanisme inilah yang selalu ramai diperdebatkan, bukan substansinya. Uniknya, mekanisme bisa mengalahkan substansi. Padahal mestinya –dan seharusnya demikian- mekanisme dibuat untuk mewujudkan substansi. Artinya, Pemilu (Pileg, Pilpres, Pilkada) dibuat agar masyarakat bisa berpartisipasi dalam pemerintahan (Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat), atau rakyat tetap menjadi pemilik kedaulatan, sesuai bunyi Pasal 1 ayat (2)UUD 1945 : Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar.

Sejarah mencatat bahwa para founding fathers kita ketika merumuskan UUD yaitu Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, H.Agus Salimdan Supomo, memang awalnya terdapat perbedaan visi, namun semua sependapat agar demokrasi atau paham kedaulatan rakyat menjadi salah satu sendi Indonesia merdeka (substansi). Perbedaan visi itu menyangkut corak demokrasi apa yang hendak dikembangkan di Indonesia[2] (mekanisme).

Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa persoalan mekanisme atau pelaksanaan kedaulatan rakyat sudah menjadi perdebatan semenjak Indonesia belum merdeka hingga Indonesia sudah berusia 69 tahun saat ini. Bedanya, perdebatan para founding fathers saat itu berujung dengan sebuah kesadaran bersama, bahwa tentang corak demokrasi yang akan dikembang di Indonesia bukanlah "duplikat" dari "western democracy" atau "eastern democracy" tetapi diangkat dari pranata sosial budaya asli seperti sistem permusyawaratan dalam pengambilan keputusan. Kesadaran ini dirumuskan dari visi Soekarno, Moh. Hatta dan Soepomo tentang visi demokrasi yang didasarkan pada adat-istiadat Indonesia. Moh. Hatta menambahkan, salah sumber demokrasi sosial Indonesia, yaitu pola hidup dalam kolektivisme sebagaimana yang terdapat di desa-desa Indonesia.[3]

Saya kira spirit para founding fathers inilah yang kemudian dirumuskan kembali dalam amandemen UUD 1945 sebagaimana tercantum pada pasal 18 B ayat (2) yang dijadikan rujukan putusan MK No. 47-48/PHPU.A-VI/2009 tanggal 9 Juni 2009 yang menjadi landasan konstitusional pelaksanaan sistem Noken dalam Pemilu di Papua.

Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 itu lengkapnya berbunyi: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU.

Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) tersebut, negara wajib menghormati sekaligus melindungi hak-hak tradisional orang Papua termasuk Noken, baik sebagai simbol entitas budaya maupun sebagai instrumen demokrasiyang mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat. Termasuk musyawarah dan mufakat untuk memilih wakil-wakil mereka (pileg) maupun memilih pemimpin mereka (Pilkada dan Pilpres). Mekanisme ini nyata-nyata masih ada dan hidup dalam keseharian komunitas suku-suku di wilayah pegunungan Papua.

Hasyim Sangaji, mantan anggota KPU Provinsi Papua yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang gugatan perselisihan hasil Pemilu di MK pada 13 Agustus 2014 mengatakan, KPU sebagai penyelenggara Pemilu tak mau menafikan budaya lokal Papua yang memilih menggunakan (sistem) noken. Bila (di) penggunaan noken dilarang, bisa saja partisipasi menurun.[4]

Kesaksian Hasyim Sangaji di atas sekaligus mengingatkan kita pada salah satu kata kunci yang terkandung dalam demokrasi, yaitu ‘partisipasi’. Semegah apapun Pemilu digelar dengan corak paling mutakhir sekalipun, tapi kalau ia mengabaikan ‘partisipasi’ warga negaranya, Pemilu hanyalah sebuah seremonial politik lima tahunan belaka, hampa tiada bermakna.

Maka amat disayangkan kalau masa depan sistem Noken harus tergusur oleh mekanisme demokrasi barat yang individual dengan mengagungkan one man one vote. Itu sama saja kita menduplikasi -meminjam istilah Soekarno- "western democracy" atau "eastern democracy". Kita memang sedang menuju ke arah sana. Mungkin kelak, “Noken” tinggal menjadi “dongeng demokrasi” untuk meriwayatkan kepada anak cucu kita bahwa pada mulanya demokrasi asli Indonesia adalah musyawarah untuk mufakat, bukan one man one vote.

[1]Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Edisi Revisi PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2010; hal. 105

[2]Cholisin, "Demokarsi di Indonesia,Dulu, Kini dan Esok" makalah Seminar Sehari diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 28 Agustus 2004. (Diunduh dari staff.uny.ac.id/.../MAKALAH%20SEMINAR%20200.. pada 21 Agustus 2014)

[3] Ibid

[4]http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2090519/saksi-ahli-kpu-mk-sudah-sahkan-noken-sejak-2009 diakses tanggal 20 Agustus 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun