Mohon tunggu...
Gembel Bersuara
Gembel Bersuara Mohon Tunggu... Seniman - Penyair Pejalan

Pemikiran Ugal-Ugalan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Apa Kabar Paman?

21 Januari 2021   19:47 Diperbarui: 21 Januari 2021   19:49 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh:Gembel Bersuara

Hidup ini indah paman.
Kau tak perlu lagi ragu untuk pulang.
Tak ada lagi yang bernasib seperti kalian.
Tak ada lagi arsenik dalam minuman, seperti kawanmu nikmati itu. 

Tak ada lagi yang bernasib seperti bibi.
Tergeletak di hutan, kemaluannya dihantam besi.
Tak ada lagi yang meregang nyawa demi perubahan paman, pemuda pemuda di jamanmu itu.
Tetapi...
Kalau jaman memang sudah berubah indah seperti ucapku tadi paman.
Mengapa hal serupa terus terulang.
Ah aku ragu paman.

Maafkan aku yang sesumbar.
Waktu itu ,kakak membakar dirinya hingga tewas di depan istana.
Negeri ini berantakan paman, kemiskinan merajalela keluhnya.
Perkara pasir paman, kawanmu disembelih bak hewan peliharaan.

Begitu pula bude, beliau meninggal dalam senyum paman.
Meski semen membelenggu kaki dan sawah di rumahanya.
Buruh-buruh nestapa itu paman, mereka berjalan tak terkira jauhnya. 

Paman tahu pemuda pemberani dari kendeng dan banyuwangi itukan?
Mereka terpaksa beristirahat di balik jeruji paman.
Oh iya, tentang berjeruji itu paman.
Kawan kawanku merasakan hal yang sama.
Malam itu demi Slamet paman.
Sepatu mendarat kewajah mereka.
Balok kayu paman, aparat pukulkan dengan sembarang. 

Dimalam yang lain pun sama, mereka di bubarkan di depan istana.
Ada hal baru paman, kini baru berterbangan menghantam.
Berdarah-darah paman.
Seperti kawan kawanku tiada gentar.
Aku bingung paman, apa pula kesalahan mereka. 

Aku takut paman, aku telah sesumbar.
Mereka yang berseragam tetap sama adanya.
Dulu dan kini.
Aku masih bingung paman.
Bagaimana bisa aku menganggap hidup ini indah?
Apakah penglihatanku ditutupi gerai gerai mewah milik para penjajah?
Mungkinkah mulut para penceramah tak lagi mengisahkan kenyataan yang ada?
Apakah Ruang kelas yang hanya jadi pencetak mesin bergelar sarjana saja?
Atau karena diriku sendiri, mungkin aku terlalu pengecut paman
Takut, mempersatukan mereka yang di miskinkan bajingan berseragam.
Rakyat miskin, Buruh dan Petani.
Mulai darimana paman?
Ini tentang eksistensi dan validasi sosial paman.
Kawan-kawan di sekitarku, mereka sibuk beradu gengsi.
Daripada mendiskusikan hal-hal yang menakutkan ini.
Hanya dianggap sebagai perusuh dan pembuat onar.
Tapi aku pasti akan tumbuh paman.
Ditembok-tembok yang kau sebut itu.
Mekar dan mewangi.
Hingga dia runtuh dadan hancur!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun