Mohon tunggu...
Geetha Putri
Geetha Putri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Desainer Gampangan, Asal Bisa Gambar

19 Mei 2017   13:42 Diperbarui: 19 Mei 2017   15:50 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), desain memiliki arti yang sangat luas, yakni 1) kerangka bentuk; rancangan; 2) motif; pola; corak. Pengertian desain dalam KBBI tidak sesuai dengan yang seharusnya sehingga para ahli, salah satunya Janner Simarmata merumuskan kembali arti desain, yakni sesuatu (dalam konteks web adalah aplikasi) yang dirancang sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan hal yang dibutuhan. Artinya, desain diciptakan sebagai salah satu solusi yang ditempatkan pada sebuah kondisi yang akan memecahkan sebuah permasalahan. Layaknya seorang dokter yang bertugas menyembuhkan dan mengidenfikasi penyakit seseorang, seseorang yang melakukan perancangan atau desain disebut sebagai seorang desainer.

Jika dilihat secara pemaknaannya, desain mampu menyesuaikan wadah kebutuhannya, sehingga dapat dikatakan bahwa desain merupakan suatu hal yang sulit terpisahkan dengan kehidupan manusia. Meski desain bukanlah suatu kebutuhan primer yang harus selalu ada, akan tetapi segala sesuatu di sekitar manusia pasti memerlukan desain sebagai bentuk khusus dalam memenuhi kebutuhan, baik segi estetika maupun fungsionalnya. Oleh karena itu, desain secara tidak sadar menjadi salah satu bagian penting yang mencakup berbagai aspek manusia, khususnya dalam ruang lingkup pemenuhan kebutuhan.

Meskipun desain merupakan salah satu hal terpenting dalam pemenuhan kebutuhan, akan tetapi, seorang desainer, yakni orang yang melakukan perancangan tersebut, seringkali dianggap remeh. Hal ini dibuktikan melalui persepsi orang tua yang enggan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang perkuliahan yakni lebih memilih jurusan-jurusan umum yang banyak diminati dibandingkan memasukan anak-anaknya ke dalam dunia desain, meliputi desain grafis, fashion, desain komunikasi visual, arsitek, maupun jurusan desain yang lainnya. Persepsi tersebut timbul dinilai dari banyaknya sekolah-sekolah maupun kursus kecil yang dianggap setara dengan dunia kerja yang mampu memberikan modal ilmu dunia desain serupa dengan D3 atau bahkan S1. Hal ini didukung oleh minimnya ilmu pengetahuan tentang desain komunikasi visual di mata masyarakat yang dapat memicu munculnya persepsi baru seiring munculnya sekolah desain yang mengansumsi dirinya sebagai sekolah bertaraf dan bersertifikasi desain yang terpercaya dibandingkan dengan yang diperoleh pada proses perkuliahan desain komunikasi visual.

Pada kenyataannya, pendidikan yang diperoleh melalui institusi pendidikan, salah satunya program studi desain komunikasi visual sangat sulit di sama ratakan dengan kejuruan lainnya. Berdasarkan hasil studi yang saya tinjau dari berbagai lembaga kursus atau les untuk menjadi desainer, sebagian besar mengatakan bahwa siswanya akan memperoleh ilmu desain secara praktis dan instant. Artinya, calon bibit-bibit desainer yang berasal dari proses kursus maupun les ini akan dituntut secara cepat untuk meniru desain yang dibuat oleh para pengajarnya, baik dari segi gaya, pengelolaan desain, dan aspek lainnya. Berbeda dengan proses yang dijalankan oleh seorang mahasiswa desain komunikasi visual, selain mempelajari hal yang berbau grafis, mereka juga akan mempelajari bagaimana cara mengelola video dan merancang animasi, bagaimana menciptakan rupa-rupa 3 dimensi, bagaimana menjadi seorang copywriter, me-manage sebuah event maupun pemahami mengenai etika profesi dari seorang desainer. Jadi, seorang desainer yang berasal dari institusi perguruan tinggi desain komunikasi visual akan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dari berbagai aspek dan secara khusus mereka akan mengenali kekhasnya sendiri di bidang yang mana, baik itu ilustrasi, animasi, copywriterdan lain sebagainya melalui proses pembelajaran berbagai mata kuliah yang diterima sehingga nantinya hasil keluaran yang didapat akan sesuai dengan peminatannya.

            Selain asumsi yang berdampak dari kemunculan lembaga-lembaga taraf kursus, desain komunikasi visual sering dipandang sebelah mata dari segi kemudahan materi berdasarkan keahlian. Hal yang paling sering bermunculan antara lain terkait dengan istilah “jurusan asal bisa gambar” ataupun “isinya cuman gambar” sehingga seringkali memunculkan pertanyaan salah satunya “eh. kamu anak dkv ya? gambarin aku dong? free ya. Kan Gampang”. Menjadi seorang desainer, khususnya yang telah menempuh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta tidak serta merta memperoleh ilmunya secara gratis. Bahkan, untuk satu mata kuliah saja dapat mengonsumsi biaya yang tidak sedikit. Hal ini disebabkan karena proses pencapaian pada setiap mata kuliah harus sesuai dengan realita di lapangan, bukan hanya sekedar GRATIS.  Asumsi-asumsi lainnya pun sering bermunculan sebagai imbas dari kelemahan masyarakat luas yang tidak ingin mencari tau lebih dalam mengenai jurusan desain komunikasi visual yang saat ini sangat berkembang di era modern ini. Namun, tidak serta merta masyarakat tidak sama sekali mengetahui hadirnya desain komunikasi visual dalam lingkungannya. Banyak industri rumahan maupun UMKM yang menyadari pentingnya peranan desain bagi bisnis yang dijalaninya. Dari sinilah bermunculan desainer otodidak yang memprovokasi dunia desain. Provokasi disini yang saya maksud adalah bagaimana seorang otodidak membandingkan dirinya setara dengan desain yang dirancang oleh para desainer yang bergelar S.DKV maupun S.Sn.

            Menurut salah satu penulis dalam websitenya (dikutip dari http://www.lutfihamid.com/2012/07/cara-super-cepat-menjadi-desainer_07.html) menuliskan, “bahwa menjadi seorang desainer sangatlah mudah dan perlu tanpa menjalani proses perkuliahan yang sekedar membuang-buang uang. Proses otodidak sudah cukup untuk memberikan ilmu mengenai proses desain.” Jika dimaknai kata per kata dari pernyataan di atas, terkhusus perihal membuang-buang uang, jawabannya adalah salah. Memang benar, untuk menjadi seorang desainer sangat “mudah”, siapapun yang bisa menggambar, merancang layout, membuat ilustrasi, membuat video, maupun membuat animasi 3 dimensi dapat dikatakan sebagai seorang desainer, namun keterpercayaan dan sertifikasi yang menyatakan tidak semata-mata diperoleh melalui otodidak. Pasalnya setiap metode pembelajaran yang diperoleh tiap tingkatan, baik perkuliahan, kursus, maupun otodidak memiliki perbedaan yang bisa dilihat langsung melalui prosesnya. Sebagai contoh pembelajaran sejarah seni rupa yang menggambarkan kehidupan dunia desain di masa lampau. Mengapa harus mempelajari masa lampau? Sedangkan kini kita hidup di masa modern yang mengandung serba-serbi akses internet yang bisa dengan mudahnya mencontoh ataupun redesain style? Tujuannya cukup sederhana, yakni untuk dikembangkan atau bahkan diwujudkan kembali di masa sekarang dan menjadi “gebrakan” desain baru yang mungkin akan diciptakan di masa sekarang. Selain itu, dengan berkuliah di desain komunikasi visual khususnya, kita juga akan tau, bagaimana seorang desainer masa lampau membuat GEBRAKAN desain yang menakjubkan dan menginspirasi orang lain untuk menciptakan gaya desain yang serupa.

            Sempat disinggung dalam pernyataan penulis dalam websitenya, bahwa menjadi desainer memerlukan prosestrial and error serta kesabaran yang tinggi yang dilalui melalui percobaan atas aspek-aspek acuan yang sudah mengerucut pada peminatannya. Fase trial and errorserta kesabaran yang dimaksud penulis tidak serta merta ada dan selalu tersedia. Hal tersebut juga sama halnya “membuang-buang uang” karena dinilai menghabiskan banyak waktu yang ekstra dan belum tentu didampingi secara khusus sampai menemukan solusinya. Bukti lain yang dijabarkan penulis tersebut yang menyatakan sendiri kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menjadi seorang desainer yang justru bertolak belakang dengan asumsi “mudah” yang dia jabarkan di awal. Dapat diakui gaya desain maupun keindahan desain yang dibuat oleh penulis bahkan mampu melebihi pelajar ataupun mahasiswa lulusan perguruan tinggi. Namun, sebagai landasan dari kebutuhan pengajar ataupun mentor sangat berperan besar dalam pengembangan ilmu yang diperoleh penulis tersebut. Pasalnya, ia sempat mempelajari rancangan desain yang dibuat oleh salah satu Digital Artist yang menurutnya berwawasan luas. Secara tidak langsung pula, penulis tersebut akan ter-sugesti untuk mengikuti sang mentor dari segi gaya desain, trickyang dilakukan, bahkan jenis bidangnya. Selain permasalahan tersebut, ketika seorang desainer otodidak ditantang untuk membuat salah satu jenis desain, misalnya desain video yang berbeda dari apa yang dipelajari, mereka akan lebih kesulitan untuk menghasilkan gaya desain yang bagus dan serupa dengan keahlian otodidaknya.

Melalui berbagai problematika yang ada, khususnya perihal desain komunikasi visual, asumsi masyarakat, desainer, industri rumahan dan desainer otodidak, saya mengambil rumusan masalah yang mengurucut pada alasan masyarakat berpandangan bahwa desain komunikasi visual merupakan jurusan yang paling gampang sehingga sasarannya adalah penjabaran dunia desain komunikasi secara aktual dan peranannya kepada para pelaku industri kecil rumahan yang juga memanfaatkan jasa desain. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki gambaran secara luas, khususnya untuk dapat memahami manfaat program studi desain komunikasi visual dan timbal baliknya dalam industri kecil atau UMKM sehingga produk ataupun jasa yang “dijajakan” bisa dikenal dan “merasuk” ke hati masyarakat yang akan menjadi penggunanya.

            Untuk memperkuat opini serta teori desain komunikasi visual yang telah saya paparkan, saya melakukan pengolahan data kualitatif yang akurat dengan aktualitas dengan melakukan wawancara kepada 5 orang yang berhadapan secara langsung dengan dunia bisnis industri kecil atau UMKM yang telah menjadi pengguna desain untuk “menjajakan” barang maupun jasanya. Kelimanya mendirikan usaha mandirinya dengan 4 diantaranya melakukan proses desain untuk kebutuhan promosi secara mandiri, salah satunya industri snackdan makanan sehat yang lokasinya tidak diperkenankan oleh yang bersangkutan untuk dipaparkan. Keempat usaha lainnya merupakan bisnis clothing, makanan ringan “pisang coklat”, makanan berat ayam goreng, serta bisnis sambel ulek.

            Ketika mereka ditanyai mengenai desainer yang berperan sebagai penghubung jembatan  antara bisnis yang mereka jalankan dengan masyarakat dalam bentuk desain promosi, sebanyak 4 dari 5 orang memilikinya, terdiri atas desain yang dibuatkan oleh teman yang jago desain (bukan berasal dari desain komunikasi visual), anak magang, dan mahasiswa dari desain komunikasi visual. Ketika 4 orang tersebut ditanyai lebih lanjut mengenai sisi sertifikasi terpercaya dari desainer yang mereka “pakai”, secara menyeluruh, hanya 1 diantaranya yang berasal dari mahasiswa desain komunikasi visual sehingga dianggap memiliki standar terstruktur institusi. Sementara 3 orang lainnya beranggapan, bahwa mencari jasa desain hanya dari segi desainnya yang bagus dan unik serta harganya yang terjangkau asalkan gaya desainnya mampu diterima semua kalangan khususnya memiliki daya jual yang tinggi sehingga dapat meningkatkan eksistensi maupun keuntungan bagi usahanya.

            Salah satu pelaku usaha rumah makan sempat mengakui bahwa ia lebih menyukai desain yang dilakukan oleh anak-anak magang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) karena dinilai lebih ekonomis dari segi harga serta juga memiliki desain yang bagus dan dinilai mampu “membius” pembeli untuk datang ke tempatnya. Secara aktual, anak magang SMK dididik untuk langsung turun ke lapangan kerja dengan jaminan pembelajaran 70% praktek dan 30% teori perihal jurusan yang mengarah pada desain. Jurusan SMK yang terkait dengan desain untuk branding tersebut biasanya berasal dari MM (Multi Media) dan DKV.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun