Mohon tunggu...
Gedang Kepok
Gedang Kepok Mohon Tunggu... -

Gedang Kepok adalah nama pena untuk penulis Kompasiana ini. Karena satu dan lain hal, identitas asli Gedang Kepok belum bisa diungkapkan di profil penulis. Gedang Kepok tertarik dengan banyak hal, mulai dari politik, budaya, dan humaniora. Semua tulisan akan diabdikan untuk kebebasan berpikir, kemanusiaan, dan demokrasi! Salam Kompasiana! God bless Indonesia!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Rakyat Indonesia Tidak Butuh Revolusi Mental

10 September 2015   00:57 Diperbarui: 10 September 2015   01:01 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi terpaksa mengambil jargon PDIP dengan "Revolusi Mental".  Idenya adalah merevolusi cara berpikir and berperilaku korup yang sudah merajalela dan menjadi budaya di Indonesia. Namun yang tak pernah dipikirkan oleh elit politisi penggagas revolusi mental adalah rabunya mata politisi ini karena menggeneralisasi budaya korups di Indonesia. Yang tidak mereka lihat adalah rakyat kebanyakan sebenarnya tidak pernah korupsi. Budaya korupsi itu adalah budaya korupsi para elit politisi dan para elit ekonomi--pengusaha dan pengelola ekonomi Indonesia serta birokrat yang seharusnya melayani rakyat.

Jadi sekali lagi, mengarahkan revolusi mental untuk anak-anak sekolah dengan program yang dipaksa dicangkokkan dalam kurikulum adalah salah sasaran. Rakyat kebanyakan muak dengan para politisi, pemimpin partai, dan birokrat-birokrat yang lambat dan hanya makan gaji buta. Alih-alih untuk rakyat, revolusi mental pertama-tama adalah untuk para politisi.

Puan yang menggagas revolusi mental tidak boleh setengah-setengah dalam memerangi budaya korupsi bukan malah membuat peluang korupsi dengan mennggunakan dana revolusi mental untuk hal-hal yang tidak esensial seperti website atau program-program iklan. Rakyat muak menjadi obyek revolusi mental sementara Puan setelah hampir setahun menjadi menteri masih tercatat sebagai anggota DPR RI dan juga sebagai pengurus partai (meski tidak aktif). Bagi rakyat kebanyakan, alasan-alasan Puan yang hanya ikut kebijakan partai tidak bisa diterima karena sebagai menteri dan penggagas revolusi mental ia seharusnya menjadi bisa contoh. Kalau partai belum menarik namanya dari anggota DPR RI, Puan seharusnya proaktif dan menunjukkan pada rakyat bahwa ia bisa memberi contoh untuk tidak merangkap jabatan publik di negeri ini. Puan lebih perlu direvolusi mental elitisnya dari pada rakyat kebanyakan yang hidup dengan berkeringat dari hari ke hari.

Di Amerika Serikat, Donald Trump merajai polling Partai Republik untuk meperebutkan tiket menjadi cawapres. Trump bukan orang partai dan dia membangun image sebagai orang di luar partai karena partai sudah tidak bisa lagi menyuarakan keprihatinan rakyat pemilihnya. Hanya Trump yang berani menyuarakan suara orang kebanyakan meskipun kadang suaranya sumbang. Hillary Clinton juga kehilangan suara pemilihanya karena dia berusaha ngeles terus menerus dan tidak mau minta maaf atas kesalahannya menggunakan server pribadi untuk email-email resmi kenegaraan. Persis seperti Puan yang angkuh dan elitis dan tidak mau minta maaf atas kesalahan membuat website revolusi mental yang kontroversial. Sekali lagi, elit politik seperti Puan-lah yang seharusnya melakukan revolusi mental.

Tidak hanya politisi busuk seperti Setya Novanto dan Fadli ZON serta Fachri yang harus direvolusi mentalnya tetapi alat-alat negara harus dibersihkan dari budaya korupsi dan direvolusi mentalnya. Ketua-ketua partai pun harus direvolusi mentalnya sehingga tidak mudah mau begitu sja menerima fasilitas gratis dari negara seperti fasilitas umroh dan naik haji yang kemudian terbukti berbau korupsi. Megawati, Amien Rais dan politisi lain kalau memang ikut memanfaatkan fasilitas negara itu harus segera terbuka ke publik, meminta maaf, dan mengembalikan uang negara--tidak perlu menunggu untuk diminta. 

 

Salam Kompasiana! Salam Demokrasi! Merdeka!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun