Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kenapa Dukun Lebih Menyihir daripada Dokter?

20 September 2017   18:38 Diperbarui: 20 September 2017   18:59 2900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:https://dapurtraffic.wordpress.com

Tidak salah memang berseliweran kata-kata "Nikmat sehat baru terasa ketika sakit menimpa" atau semacamnya. Karena sakit sangat tidak enak. Bahkan yang tertular susah bukan hanya penderita saja, tapi orang sekelilingnya.

Kalimat diatas sebenarnya sudah cukup jadi warning bagi kita yang sedang sehat agar tetap menjaga sehat. Hidup yang berlika-liku membuat sepaham apa pun dan sekuat apa pun kita mengamalkannya tetap saja sakit semaunya sendiri, suatu saat akan datang juga.

Untuk mencegah sakit, pemerintah telah menganggarkan sebesar lima persen dari APBN. Seperti sebelumnya, pemerintahan saat ini juga punya 'mantra' mengusir sakit, yang terwujud dalam salah satu kartu sakti, Kartu Indonesia Sehat (KIS). Targetnya tidak main-main, 88,2 juta jiwa. Percaya saja lah kalau saat ini 'sepenuhnya' sudah diamalkan.

Kalau mengaji fungsinya, jumlah anggaran dan kualitas pelayanan mungkin sebaiknya ditingkatkan. Kenapa? Jelas saja kalau kesehatan rakyat terganggu akan ada efeknya pada pendapatan negara, misalnya kesehatan pajak akan memburuk. Kalau kejadiannya seperti itu, bisa-bisa kita berhutang lagi.

Didalam 88,2 juta sasaran, mungkin beberapa persen saja penduduk Gayo Lues tidak termasuk. Lantas saya cukup tercengang dengan berita yang terbitkan salah satu situs berita lokal, Podium Post, yang berjudul "Tarif Dukun di Gayo Lues Sudah Naik" (19/09/2017).

Seperti yang diberitakan, ada seorang Ibuk-ibuk yang kelimpungan menghadapi penyakit yang diderita anaknya. Sudah pernah juga mengobati secara medis, vonis dokter asam lampung. Karena sudah semua resep diberikan tapi tak kunjung sembuh, ibuk itu akhirnya jera dan sekarang lebih memilih berobat ke Dukun.

Dari keterangan Ibuk itu, pada tahun 2016 tarif Dukun per panggilan masih sebesar Rp. 50.000. Masih dari keterangannya sekarang sudah naik Rp. 100.000. Kenaikan itu memang tidak dipatok langsung pleh Dukun. Tapi raut muka dan tentu saja keikhlasan akan memudar jika dikasih jajan Rp. 50.000.

Dalam Rp. 100.000 rupiah masih belum termasuk harga ramuan, semisal kemenyen dan lainnya yang kadang aneh-aneh. Serta lain lagi saat sudah sembuh, ada bagian resepsi penutupan, konon ini bisa lebih membakar biaya, yang dikenal dengan sebutan Pemungen. Selengkapnya bisa dilihat di sini.

Nah, kalau biaya berobat secara medis sudah diredam pemerintah, kenapa walaupun biaya terus mencekik jasa Dukun masih lebih eksis? Tentu hal itu menyimpan alasan, bukan?

Saya sebagai penduduk Gayo Lues yang sudah ada terlibat proses pengobatan baik secara medis maupun dukun dan dari kata-kata tetangga akan mencoba menjelaskan, bercerita tepatnya. Sebelumnya tentu saja ini tidak akan sepenuhnya benar (catat).

Dalam setahun terakhir, saya sudah berkali-kali bolak-balik ke RSUD. Bukan saya yang sakit, tapi bapak saya. Bapak yang divonis dokter menderita TB paru harus melakukan perawatan secara reli, sebagai pasien rawat jalan. Kontrol ke Puskesmas setiap bulan, tiga bulan sekali ke RSUD dan sekarang sebulan sekali ke RSUD.

Dari situ saya tau, sebagai pasien BPJS Kesehatan proses administrasi yang dilempar ke sana ke mari pasti membuat orang awam pusing tujuh keliling. Jarak Poliklinik---tempat ngurus administrasi dan chek up---dengan Lab dan Apotik lumayan berliku. Setidaknya begitu dirasa si awam, bapak juga bilang begitu.

Ditambah pasiennya juga lumayan dan dokter yang menangani tidak berbilangan (minim) jadi hal yang tidak menarik tambahan (tau kan ngatre itu gimana?).

Masih dibagian administrasi baru-baru ini saya juga diberi kesan seolah: dilarang sakit lewat jam dua belas. Kenapa? Karena pendaftaran sudah tutup jam dua belas siang. Kecuali bagian UGD.

Selain karena paginya gerimis dan harus membuat rujukan ke puskemas kecamatan yang menyita waktu dan jarak kampung-RS juga lumayan jauh. Terpaksa kami tiba lewat jam dua belas, sekitar jam satu. Sudah sepi. Kami kaget.

Saya menemui perawat yang masih di situ, mungkin juga sedang berkemas dan dokternya masih di situ pula. Berharap masih dilayani. Tidak bisa. Katanya harus melalui itu, sambil menunjuk ke ruang pendaftaran. Iya sih rekam mediknya kan di situ. Kami disarankan datang besoknya, lebih pagi.

Lagi, besoknya masih pagi bumi Seribu Bukit diterpa gerimis. Saya lebih memilih menunggu reda, dengan pertimbangan akan mempengaruhi kondisi bapak. Tapi Bapak memaksa, katanya hujannya kecil.

Masih pagi kami tiba. Baru sekitar sepuluh pasien yang sudah hadir. Langsung melakukan registrasi. Perlahan ruang tunggu dipenuhi pasien dan juga pengantar. Bisa dibilang lebih banyak pengantar.

Rasa bosan tiba-tiba muncul. Dokter belum ada. Saya pun bolak balik ke luar ruangan, membakar paru-paru demi membunuh rasa bosan tadi. Baru sekitar pukul 10:30 ada panggilan dari ruang yang kami tunggu. Bukan bapak, karena kami nomor urut dua. Keadaan yang nyaris serupa sudah dua kali saya dan bapak alami.

Maka, apa yang membuat orang awam lebih memilih jasa dukun ketimbang dokter sekalipun itu gratis?

1.Proses administrasinya yang rumit

Saya kira masalah adminitrasi akan menjadi 'catatan' bagi pasien awam. Seperti pengalaman saya diatas, adanya lempar melempar ke berbagai sudut sambil membawa dokumen cukup memusingkan. Mending berobat ke dukun, tidak harus pakai kertas pula. Pikir mereka.

2.Masalah antre dan minimnya keadaan

Rumah Sakit memang rumah penyembuhan. Selain karena fungsi utamanya sebagai tempat untuk menyembuhkan orang-orang sakit. Namun, karena masih minimnya keadaan, dokter dan peralatan, terkadang ampuh untuk menyembuhkan penyakit menuju budaya antre (terpaksa). Budaya antre harus dipasang lebih awal.

Karena penyakit antre belum sepenuhnya sembuh, maka lebih baik ke dukun samping rumah saja, lebih efesien (waktu dan bisa juga biaya). Kelamaan nunggu, padahal ini sakit kawan. Mikir.

Hal itu membuat mereka lebih memilih jasa dukun yang bisa dikatakan buka praktik dua puluh empat jam. Juga tidak pernah menyarankan untuk merujuk ke luar daerah.

3.Praktiknya yang tergolong mencekam

Seperti bapak saya, yang harus menyodorkan tangan pada petugas Lab untuk diambil sampel darah. Pertama kali bapak saya mengaku takut. Juga setelahnya bapak menyayangkan darahnya yang diambil cukup banyak.

Terlebih, ada juga dukun yang melakukan pembunuhan karakter tenaga medis. Mereka kadang mengampanyekan keangkeran sayat-menyayat (operasi) yang dilakukan. Untuk urusan operasi, dokter memang punya obat penenang dan obat bius. Tapi saya pernah tau kalau dukun juga punya mantra mujarab yang berfungsi serupa.

Masalah praktik, saya juga lebih memilih mengangkat jempol pada dukun patah. Hanya dukun patah saja. Yang lain masih bimbang.

4.Masalah obat

Resep yang diberikan dokter, bisa dipastikan semuanya tidak enak, pahit. Berbeda dengan dukun yang terkadang hanya dengan segelas air putih langsung sembuh. Meskipun ada juga yang tidak enak dan menjijikkan.

Khusus pasien gratis, terkadang saat pengambilan obat, apotiker malah kembali menyodorkan kembali catatan resep yang tidak ada. Yang lebih konyolnya, apotiker itu malah menunjuk (menyarankan) Apotik swasta yang menjual obat itu.

Ditambah banyaknya ulasan tentang andanya konspirasi kepentingan yang sengaja ditanam di dalam setiap tablet pil---efeknya sengaja dibuat untuk mengepulkan dapur perusahaan.

5.Jarak yang jauh

Gayo Lues terdiri dari sebelas Kecamatan yang tersebar diatas bumi seluas 5.720 kilo metar persegi. Meski pembangunan infrastruktur tergolong gencar, tidak bisa dipungkiri kalau sebagian daerah masih harus melalui akses yang rumit: misal Kampung Lesten di Kecamatan Pining yang berjarak 56,4 Km ke Blangkejeren (Ibu Kota). Dan mungkin jarak Blangkejeren ke RSUD sekitaran 4-5 Km di Kecamatan Dabun Gelang.

Hal itu akan membuat sebagian warga enggan menguras tenaga dan tentu saja biaya. Belum tentu sembuh, administrasi berbelit, antre dan minimnya fasilitas akan menjadi alasan tambahan. Iya memang sudah ada Puskesmas per kecamatan, tapi kalau RS nya saja masih 'sakit' apalagi Puskesmas. Mikir.

6.Dan lain-lain yang belum saya ketahui.

Itu alasannya kenapa dukun lebih menyihir daripada dokter. Tapi  sekali lagi tentu saja itu tidak sepenuhnya benar.

Salam sehat

Gayo Lues, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun