Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

2 Sinyal SBY (Diam-diam) Telikung Pencapresan AHY

25 Februari 2021   10:42 Diperbarui: 25 Februari 2021   11:08 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY (Sumber: Kompas.com)

Nama AHY kembali disebut-sebut dalam bursa capres 2024. Menurut rilis sejumlah lembaga survei, tingkat elektabilitas putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono ini berkisar antara 4 sampai 5 persen. Dengan tingkat keterpilihannya, sangat wajar bila AHY dibandrol harga mati capres 2024 usungan Partai Demokrat.

Namun demikian, timbul satu pertanyaan, benarkah SBY sungguh-sungguh serius ingin mendudukkan AHY di atas kursi RI 1?

Sebenarnya, AHY sudah diskenariokan maju dalam Pilpres 2019 sejak masih berusia 31 tahun. Rumor ini terendus oleh pantauan Australian Signals Directorate (ASD) sepanjang 2009. Hasil pemantauan ASD itu dibocorkan kepada The Australian pada 2013.

The Australian menulis, "During 2009, Australian intelligence agencies were trying to unravel Ibu Ani's role in what they believed was a complex presidential succession plan to ensure that her family retained the presidency beyond the constitutional limit of two five-year terms, which would expire for SBY in 2014.

Ibu Ani has always held high ambitions for her eldest son, Agus Harimurti Yudhoyono, now a 35-year-old Harvard-educated military officer. Insiders say that in 2009 the President and his wife were toying with a plan to try to install her as president in 2014 to hold the position until their son was old enough to have a serious run at the presidency in 2019."

Tidak mengherankan bila kemudian Partai Demokrat yang dimotori oleh SBY berupaya sebisa mungkin membangun dan melapangkan jalan demi menjadikan AHY sebagai Presiden Republik Indonesia.

Pencapresan AHY lantaran Pengaruh Kuat Ani Yudhoyono

Tetapi, patut digarisbawahi bila skenario pencapresan AHY tersebut tidak lepas dari ambisi dan pengaruh Ani Yudhoyono, istri SBY.

Soal pengaruh Ani, ada satu bocoran berita kawat Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang menarik untuk disimak.

Berita kawat bersubyek "A CABINET OF ONE -- INDONESIA'S FIRST LADY EXPANDS HER INFLUENCE" yang dikirim pada 17 Oktober 2007 itu kemudian dibocorkan Wikileaks.org

"According to contacts, Indonesia's First Lady has expanded her influence within the Palace and emerged as the President's undisputed top advisor."

Saking kuatnya pengaruh Ani Yudhoyono, Kedubes AS menuliskan, "The First Lady has allegedly leveraged her access to the President to help her friends and disparage her foes, including Vice President Kalla."

Telegram tersebut juga dikirimkan ke pihak Australia. Atas informasi awal inilah mata-mata Australia memantau ponsel Ani Yudhoyono sepanjang 2009. Dari komunikasi nirkabel itulah diperoleh informasi bahwa Ani dianggap sedang menyusun rencana suksesi presiden untuk putra sulungnya: AHY.

Bila sedemikian kuat pengaruh Ani Yudhoyono terhadap SBY selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, tentunya pengaruh Ani jauh lebih kuat lagi kepada SBY yang menggenggam sekaligus tiga jabatan penting di Demokrat: Ketua Umum Partai Demokrat, Ketua Dewan Pembina, dan Ketua Dewan Kehormatan.

Sinyal Pertama SBY tak Setujui Pencapresan AHY

Sabtu 17 Februari 2018, melalui prosesi pemberian bendera, Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengukuhkan AHY sebagai Ketua Komando Tugas Bersama (Kosgama).

Dengan pengukuhannya tersebut, Agus yang juga dikenal dengan panggilan AHY ditugasi oleh SBY komandan pemenangan Partai Demokrat dalam Pilkada Serentak 2018 sekaligus Pemilu 2019.

Terapi, jika dicermati penunjukan yang disusul pengukuhan AHY sebagai Kosgama bisa dibilang merupakan sinyal kuat dari SBY yang tidak ingin mencalonkan AHY dalam Pilpres 2019 (Seperti yang ditulis di SBY Beri Sinyal Tidak akan Mencalonkan AHY dan Pilpres 1 Putaran)

Kuncinya, dalam sejarah pilpres di Indonesia belum pernah ada capres atau cawapres yang sekaligus ketua tim pemenangan pemilu.

Dalam Pilpres 2014, Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dipimpin oleh Mahfud MD. Sementara, Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Jusuf Kalla dinahkodai oleh Tjahjo Kumolo.

Saat menghadapi Pilpres 2009, Mayjen Purn Theo Syafei ditunjuk sebagai Ketua Tim Sukses Mega-Prabowo. Tim pemenangan Pasangan SBY-Boediono dipimpin Hatta Rajasa sebagai ketua dan Marsekal Purn Djoko Suyanto sebagai wakil ketua. Sedangkan, tim sukses JK-Wiranto dikomandoi kader senior Partai Golkar, Fahmi Idris.

SBY yang pada 2004 dicapreskan dengan berpasangan dengan JK sebagai cawapresnya pun tidak mengetuai sendiri tim pemenangan kampanyenya. Pasangan pemenang Pilpres 2004 ini menugaskan Mohammad Makruf sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional.

Jadi, dari pengalaman pilpres-pilpres sebelumya, sangat jelas jika pengukuhan AHY sebagai Kosgama justru menunjukkan jika SBY tidak memproyeksikan putra sulungnya itu sebagai capres ataupun cawapres.

Dengan demikian bisa dikatakan, pengangkatan AHY sebagai Kosgama merupakan penikaman pertama SBY kepada AHY.

Sinyal Kedua SBY yang Ogah Capreskan AHY

Salah satu strategi untuk memuluskan langkah AHY adalah dengan merevisi besaran presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden pada Pasal 222 Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu.

Dalam pasal yang masih menjadi kontroversial itu disebutkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Jika Pasal 222 UU No. 7/2007 masih berlaku untuk Pilpres 2024, untuk dapat mengusung AHY, Partai Demokrat yang pada Pileg 2019 hanya mampu meraup 7,77 persen suara harus mendapatkan dukungan dari parpol-parpol lainnya.

Partai Demokrat memang telah mendorong pemerintah dan DPR membahas revisi besaran presidential threshold (PT) Pemilu 2024. Demokrat ingin besaran PT dipatok 0 persen sehingga setiap parpol dapat mengusung pasangan capres-cawapresnya tanpa harus bergabung dengan parpol-parpol lainnya.

Namun, sudah bisa diprediksikan, keinginan Demokrat yang hanya disampaikan lewat jalur DPR RI dan pemerintah tersebut tidak akan terpenuhi. Sebab, usulan revisi besaran PT bakal bernasib serupa revisi Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang pada akhirnya melempem setelah Partai Golkar dan Partai Nasdem yang sebelumnya mendukung revisi UU mendadak putar haluan.

Kalau Demokrat benar-benar ingin memangkas besaran PT menjadi 0 persen seharusnya SBY mendorong partai yang dimotorinya itu untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Gugatan terkait besaran PT terakhir kali diajukan oleh Rizal Ramli. Gugatan Rizal tersebut ditolak MK dengan alasan pengusulan pasangan capres-cawapres tidak ditentukan oleh kehendak perseorangan, melainkan partai politik atau gabungan partai politik. Sehingga subjek hukum yang mempunyai hak konstitusional dan memiliki kedudukan kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan itu adalah partai politik atau gabungan partai politik.

Dasar hukum MK yang digunakan sebagai dalih penolakan terhadap judicial review terkait PT merupakan pintu lebar yang seharusnya dimanfaatkan oleh SBY untuk menggolkan pencapresan AHY. Tapi, sampai sekarang, belum terdengar adanya niat Partai Demokrat untuk mengajukan gugatan terkait besaran PT.

Belum terdengarnya niat Demokrat tersebut semakin menguatkan sinyal bila SBY sesungguhnya tidak menginginkan putra sulungnya untuk maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.

Sikap SBY terhadap pencapresan AHY ini sangat logis mengingat pangkat terakhir AHY hanya sampai mayor, pengalaman politik AHY yang minim, raihan Demokrat pada Pileg 2019 yang hanya 7,77 persen suara, konflik internal yang membuat kesolidan kader Demokrat berkurang, dan masih banyak lainnya.

SBY sebagai ayah dari AHY memang sangat tidak mungkin bersikap terbuka. Namun, melihat dua sikap SBY, mengangkat AHY sebagai Ketua Kosgama dan belum mendorong judicial review terkait PT, seharusnya sudah bisa dibaca sebagai sinyal kuat bahwa SBY tidak menyetujui pencapresan AHY/

Sayangnya, sinyal kuat yang dipancarkan SBY tersebut tidak ditangkap oleh kader-kader Demokrat, termasuk elit-elitnya. Padahal, sikap SBY yang diam-diam ogah capreskan AHY itu bisa dijadikan "infrastruktur" bagi kader-kader Demokrat untuk mawas diri.

Benarkah Kudeta Militer Sempat Ancam SBY?

Soal AHY: Intel Australia sudah Endus Ambisi Ani Yudhoyono Sejak 2009

Deja Vu 2013: Stategi SBY Odal-adul SMS untuk Marzuki Alie

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun