Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Kerajaan Fiktif, Neotribalisme, dan Sifat Manusia Indonesia

22 Januari 2020   13:22 Diperbarui: 23 Januari 2020   11:40 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: NewDesignFile.com)

Sebagian orang Indonesia menganggap bahwa raja adalah orang yang memiliki daya linuwih atau punya kesaktian. Biasanya mereka memiliki ilmu dan pusaka yang sakti mandraguna. Tentu saja hal ini bertentangan dengan rasionalitas di masa modern.

Tetapi percaya atau tidak, hal itu masih diyakini sebagian orang. Menjadi raja artinya memiliki kesaktian tertentu. Pendapat itu mungkin ada benarnya, buktinya raja fiktif saja bisa menggaet sekian banyak orang untuk menjadi pengikutnya. Bukankah itu juga termasuk sakti? Hehe...

Ketiga, tentang sisi artistik, Lubis mengatakan bahwa orang Indonesia memiliki daya artistik yang cukup tinggi oleh karena tumbuh dekat dengan alam. Produk kebudayaan Indonesia misalnya patung, ukiran, batik, tenun, lahir karena adanya daya artistik tersebut.

Orang Indonesia juga kreatif dalam membuat cerita. Banyak legenda tanah air yang populer menjadi cerita rakyat. Cerita itu disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang secara lisan. Beberapa cerita dibukukan sehingga dibaca oleh lebih banyak orang.

Sebagian cerita rakyat itu berkisah tentang kerajaan di masa lalu, tentang raja, permaisuri, pangeran dan putri. Ada juga kisah heroik, konflik antar kerajaan hingga romantisme. Cerita rakyat menjadi bagian dari budaya.

Sebagaimana pendapat dari Prasodjo, kemungkinan ada suatu cerita tentang kerajaan fiktif yang diceritakan secara terus-menerus. Ini seperti mencekoki orang dengan kabar hoaks hingga akhirnya orang pun mempercayainya.

Bisa saja diperkuat dengan daya persuasi sang "raja", pendiri kerajaan fiktif, sehingga orang menjadi yakin dengan kerajaan fiktif tersebut. Tetapi perlu ditelusuri lebih lanjut tentang kemungkinan adanya cerita atau mitologi tersebut.

Saya jadi ingat dengan sebagian fans berat Harry Potter yang nekat mencoba menabrak sebuah peron stasiun King's Cross di kota London dengan harapan supaya bisa mengunjungi Hogwarts, sekolah sihir dimana Potter menimba ilmu sihirnya.

Dalam film serial terkenal itu, terdapat platform atau peron 9 yang diyakini eksis di stasiun tersebut. Bukannya menuju Hogwarts, malah kepala jadi benjol karena terantuk tembok batu. Duh, sampe segitunya. Sebagian fans percaya bahwa Hogwarts eksis. Padahal itu fiktif.

Keempat tentang watak yang lemah, Lubis mengaitkan dengan sisi feodal dimana orang Indonesia dulu sangat patuh dengan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. 

Titah sang raja adalah segalanya. Patuh pada raja adalah kewajiban sebagai orang biasa. Watak orang lemah biasanya tidak punya pendirian sehingga gampang terombang-ambing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun