Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film. ==Tahun baru, awal baru. Semoga semua cita-cita kamu menjadi kenyataan di tahun 2024! ==

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Kerajaan Fiktif, Neotribalisme, dan Sifat Manusia Indonesia

22 Januari 2020   13:22 Diperbarui: 23 Januari 2020   11:40 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: NewDesignFile.com)

Masyarakat tanah air dikejutkan dengan kemunculan beberapa kerajaan fiktif yang sebelumnya tidak pernah eksis. Masyarakat dibuat terheran-heran tentang adanya permainan raja-rajaan ini. 

Lebih takjub lagi ketika mengetahui bahwa sejumlah orang mau membayar sekian juta rupiah untuk menjadi pengikut suatu kerajaan fiktif tersebut. 

Jujur saya merasa takjub dengan si raja dan ratu abal-abal itu yang bisa menggaet sekian banyak orang untuk menjadi pengikut atau followers. Dengan embel-embel menjadi ningrat, sejumlah orang tergiur dan pada akhirnya mau bergabung.

Raja dari sebuah kerajaan fiktif tersebut mengatakan bahwa tidak ada paksaan untuk bergabung sebagai pengikut kerajaan. Para pengikut kebanyakan warga sekitar yang sudah mengenal keseharian si raja abal-abal itu. 

Tapi ternyata sebagian pengikut kerajaan fiktif itu ada juga yang datang dari luar kota.

Kabarnya mereka membayar jutaan rupiah untuk mendapatkan seragam pengikut (seragam pasukan kerajaan?) lengkap dengan aksesoris dan atribut. 

Adanya keraton yang digunakan sebagai "kantor operasional" kerajaan fiktif membuat sebagian orang meyakini bahwa kerajaan tersebut nyata ada.

***

Entah mengapa sebagian orang Indonesia gampang termakan dengan rayuan. Akhir-akhir ini diberitakan adanya kerajaan abal-abal, produk investasi bodong, arisan tipu-tipu, dan masih banyak lagi. 

Sebagian orang menjadi korban dan dirugikan ratusan juta hingga miliaran rupiah. Tetapi fenomena kerajaan gadungan ini sungguh menarik.

Sosiolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo memberikan pendapat kepada detik.com tentang konsep neotribalism dalam ilmu Sosiologi yang dapat menjelaskan fenomena kerajaan fiktif ini. Ia menjelaskan tentang orang-orang yang punya perkumpulan dengan emosi sendiri, dengan ciri-ciri, pola pikir, emosional sendiri.

Prasodjo mencontohkan praktek konsep neotribalisme misalnya pendukung fanatik sepakbola dan geng-geng. Selain kesamaan emosi dan pola pikir, dalam komunitas tersebut ada eksklusivitas dan hierarki. 

Nah, neotribalisme ini tumbuh dengan penambahan narasi, misalnya untuk kerajaan fiktif terdapat mitologi cerita kerajaan sebagai pembungkus narasi.

Mochtar Lubis, seorang sastrawan terkenal Indonesia, di tahun 1977 lalu pernah berpidato tentang ciri Manusia Indonesia sebagaimana diulas oleh National Geographic Indonesia. 

Saya tertarik untuk mengaitkan pidato Lubis ini dengan pendapat Prasodjo tentang neotribalisme, khususnya tentang sifat jiwa feodal atau feodalisme, percaya takhayul, artistik dan watak yang lemah.

Pertama, tentang jiwa feodal, rasanya kita perlu menengok makna tentang feodalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.

Perjalanan sejarah Indonesia di masa lalu pernah diwarnai dengan sistem monarki sebelum sepenuhnya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dulu ada banyak sekali kerajaan kecil di seluruh penjuru tanah air. Mungkin ada ratusan kerajaan.

Kondisi demikian memunculkan perbedaan golongan dalam lapisan masyarakat yaitu kalangan bangsawan atau ningrat dan kalangan orang biasa. Tentu saja kaum ningrat memiliki privilege yang berbeda dibandingkan dengan orang biasa. Misalnya ketika masa penjajahan dulu, hanya kaum ningrat yang boleh bersekolah.

Nah karena sejarah kemonarkian di Indonesia yang panjang hingga ribuan tahun lamanya, maka ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi, kemonarkian tidak lantas luruh.

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (atau Kesultanan Jogjakarta) adalah satu-satunya monarki di Indonesia yang diakui secara politik, yang ditetapkan menjadi sebuah Daerah Istimewa. Hal ini karena sejarah Kesultanan Jogjakarta sendiri cukup panjang yaitu sejak abad ke-17.

Sementara itu kemonarkian lain masih eksis namun tidak memiliki kekuatan politik sebagaimana Kesultanan Jogjakarta. Eksistensi kemonarkian kini dipresentasikan melalui event kultural misalnya festival budaya, kirab budaya dan lain-lain.

Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten misalnya, kerap menggelar event budaya semacam ini.

Misi kemonarkian saat ini lebih berfokus pada pelestarian budaya agar generasi baru lebih mengenal budaya leluhur mereka. Presentasi eksistensi kemonarkian ini juga punya sisi positif terutama dalam bidang pariwisata. Event budaya tersebut mengundang banyak orang dari daerah lain bahkan dari manca negara untuk menyaksikannya.

Sebagian orang Indonesia masih memandang perbedaan kasta ningrat dan orang biasa. Mereka memandang bahwa menjadi ningrat artinya menjadi orang terhormat, oleh karena itu akan mendapatkan perlakuan istimewa. Orang mungkin juga melihat bahwa menjadi ningrat itu berkecukupan materi.

Sri Sultan Hemangkubuwono misalnya, pemimpin Kesultanan Jogjakarta itu merupakan figur yang dipandang memiliki kuasa, oleh karena itu beliau menjadi sosok paling dihormati di seluruh D.I Jogjakarta.

Kediaman sang raja adalah keraton yang luas dan megah, menciptakan kesan bahwa raja dan keluarganya berkecukupan materi.

Masyarakat setempat juga menghormati permaisuri dan anak-anaknya. Begitu juga dengan kerabat kerajaan lainnya juga mendapatkan citra yang sama sebagai keluarga ningrat yang pantas untuk dihormati. Kalangan ningrat dari Keraton Jogjakarta biasanya dapat dikenali lewat nama lengkapnya yang mengandung gelar.

Sebagian orang biasa menjadi Abdi Dalem keraton. Ada rasa bangga di hati mereka dengan menjadi Abdi Dalem walau mungkin gaji yang mereka terima tidak besar.

Menjadi Abdi Dalem membuat strata sosial mereka juga terkerek, menjadi terhormat di mata orang lain. Okezone pernah mengulas tentang kehidupan para Abdi Dalem ini.

Hal inilah yang mungkin menjadi motivasi sebagian orang mau menjadi pengikut kerajaan fiktif walaupun dengan membayar sejumlah uang. Level sosial mereka akan terkerek dan akan dipandang sebagai orang terhormat di kerajaan fiktif tersebut. 

Mereka bermimpi menjadi eksklusif, yang menjadi salah satu karakteristik neotribalisme. Padahal itu semua semu.

Kedua tentang percaya takhayul. Rasanya hal ini masih cukup kental. Tetapi ini tidak terjadi di Indonesia saja. Misalnya Inggris, yang menganut sistem monarki, sebagian masyarakat setempat masih percaya bahwa anggota keluarga kerajaan Inggris memiliki kekuatan supranatural, khususnya kemampuan menyembuhkan penyakit lewat sentuhan. 

Oleh karena itu orang biasa tidak boleh menyentuh anggota keluarga kerajaan kecuali bersalaman.

Sebagian orang Indonesia menganggap bahwa raja adalah orang yang memiliki daya linuwih atau punya kesaktian. Biasanya mereka memiliki ilmu dan pusaka yang sakti mandraguna. Tentu saja hal ini bertentangan dengan rasionalitas di masa modern.

Tetapi percaya atau tidak, hal itu masih diyakini sebagian orang. Menjadi raja artinya memiliki kesaktian tertentu. Pendapat itu mungkin ada benarnya, buktinya raja fiktif saja bisa menggaet sekian banyak orang untuk menjadi pengikutnya. Bukankah itu juga termasuk sakti? Hehe...

Ketiga, tentang sisi artistik, Lubis mengatakan bahwa orang Indonesia memiliki daya artistik yang cukup tinggi oleh karena tumbuh dekat dengan alam. Produk kebudayaan Indonesia misalnya patung, ukiran, batik, tenun, lahir karena adanya daya artistik tersebut.

Orang Indonesia juga kreatif dalam membuat cerita. Banyak legenda tanah air yang populer menjadi cerita rakyat. Cerita itu disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang secara lisan. Beberapa cerita dibukukan sehingga dibaca oleh lebih banyak orang.

Sebagian cerita rakyat itu berkisah tentang kerajaan di masa lalu, tentang raja, permaisuri, pangeran dan putri. Ada juga kisah heroik, konflik antar kerajaan hingga romantisme. Cerita rakyat menjadi bagian dari budaya.

Sebagaimana pendapat dari Prasodjo, kemungkinan ada suatu cerita tentang kerajaan fiktif yang diceritakan secara terus-menerus. Ini seperti mencekoki orang dengan kabar hoaks hingga akhirnya orang pun mempercayainya.

Bisa saja diperkuat dengan daya persuasi sang "raja", pendiri kerajaan fiktif, sehingga orang menjadi yakin dengan kerajaan fiktif tersebut. Tetapi perlu ditelusuri lebih lanjut tentang kemungkinan adanya cerita atau mitologi tersebut.

Saya jadi ingat dengan sebagian fans berat Harry Potter yang nekat mencoba menabrak sebuah peron stasiun King's Cross di kota London dengan harapan supaya bisa mengunjungi Hogwarts, sekolah sihir dimana Potter menimba ilmu sihirnya.

Dalam film serial terkenal itu, terdapat platform atau peron 9 yang diyakini eksis di stasiun tersebut. Bukannya menuju Hogwarts, malah kepala jadi benjol karena terantuk tembok batu. Duh, sampe segitunya. Sebagian fans percaya bahwa Hogwarts eksis. Padahal itu fiktif.

Keempat tentang watak yang lemah, Lubis mengaitkan dengan sisi feodal dimana orang Indonesia dulu sangat patuh dengan raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. 

Titah sang raja adalah segalanya. Patuh pada raja adalah kewajiban sebagai orang biasa. Watak orang lemah biasanya tidak punya pendirian sehingga gampang terombang-ambing.

Watak seperti ini membuat orang jadi gampang termakan rayuan kerajaan fiktif. Mereka tidak perlu waktu lama untuk bersedia bergabung sebagai pengikut. Padahal biaya untuk bergabung juga tidak sedikit. Mereka dijanjikan gaji dan jabatan tertentu yang juga pasti fiktif.

Tetapi mungkin ada rasa bangga bila menjadi seorang ningrat. Hanya dengan mahar sekian rupiah, orang biasa pun menjadi orang ningrat secara instan. Fenomena ini mirip dengan sebagian orang yang membayar sejumlah uang demi otomatis masuk surga.

***
Tahun baru saja berganti, tetapi fenomena yang mengejutkan hati sudah banyak terjadi. Entah akan ada kerajaan fiktif apa lagi yang akan muncul ke permukaan.

Bisa saja ada orang lain yang tiba-tiba mendeklarasikan diri sebagai raja kerajaan fiktif baru. Atau mungkin orang yang kita kenal atau teman kita yang lama tidak bersua ternyata mengutarakan niat untuk mendirikan kerajaan.

Tapi kalau mungkin ada teman saya yang ingin mendirikan kerajaan, paling-paling saya menanggapinya dengan "Kamu mau bikin kerajaan? Ah, dasar kamu kurang kerjaan..."

Selamat beraktivitas kembali...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun