Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bersatu dalam Perbedaan, Sebuah Angan atau Kenyataan?

20 Agustus 2019   20:15 Diperbarui: 21 Agustus 2019   10:35 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: NewsCollection.net)

Kita baru sadar ketika sel-sel anti persatuan secara perlahan telah membentuk jaringan kanker yang meluas, yang mengikis esensi persatuan sebagaimana yang diikrarkan pada tahun 1928 lalu. Mungkin saja perlu formula baru untuk mengatasinya, karena tantangan di masa lalu jelas berbeda dengan tantangan di masa kini.

Kadang terbersit di benak saya, apakah mungkin Kongres Pemuda Indonesia perlu diadakan setiap tahun? Sebagai pengingat bahwa dulu kita pernah tercerai-berai namun kemudian dipersatukan.

Saya meyakini pemerintah akan mengevaluasi aksi yang berindikasi menentang persatuan yang baru-baru ini terjadi,. Pemerintah juga pasti akan menyusun kebijakan atau langkah tertentu guna meredam meluasnya tesis anti persatuan dalam bentuk apapun yang mengancam keutuhan bangsa.

Membangun persatuan dan kesatuan? Hiduplah yang inklusif, hindari hidup yang eksklusif

Upaya pemerintah untuk menjaga persatuan bangsa ini perlu kita bantu sepenuh hati. Kita bisa memulai dari diri kita sendiri. Hal paling mendasar adalah melihat kembali kehidupan sosial kita sehari-hari, apakah kita hidup secara inklusif atau eksklusif?

Bila Anda mengagungkan persatuan dan kesatuan Indonesia, maka hiduplah secara inklusif. Ini karena inklusivisme mengandung semangat peleburan sepenuhnya dengan beragam perbedaan antar manusia, serta bersama-sama melangkah ke depan sesuai cita-cita dan harapan masing-masing.

Hidup yang inklusif tidak memandang seseorang dari suku mana, agamanya apa, rasnya apa dan dari golongan mana? Gaya hidup inklusif itu sederhana saja, tidak bertele-tele, tidak kompleks.

Pribadi yang inklusif selalu mengutamakan kerukunan, kehidupan yang selaras dan harmonis bagaimanapun besarnya perbedaan diantara mereka. Syaratnya adalah mengedepankan toleransi dan saling menghormati antar sesama. Hal yang tidak sulit bagi para pemuja persatuan.

Kecuali bila seseorang tidak toleran atau enggan menghormati sesama, maka kehidupan inklusif hanyalah angan belaka. Pada akhirnya orang dengan sikap demikian susah membina kebersamaan, apalagi menjaga persatuan. Alam pikirannya diliputi egosentrisme atau keakuan yang memandang bahwa kebenaran adalah miliknya, bukan milik dia atau mereka.

Indonesia kita yang luas dengan penduduk bersuku-suku bangsa, aneka ragam budaya, banyak bahasa dan perbedaan-perbedaan lainnya mustahil dapat bersatu bila masing-masing mengedepankan keeksklusifannya.

Saya pribadi merasa bersyukur pernah menjalani kehidupan dengan beragam manusia baik yang berbeda propinsi, berbeda suku bangsa, berbeda agama hingga berbeda bangsa / negara. Perbedaan yang saya kenal itu tidak mendorong saya untuk menjadi ekskusif. Justru malah sebaliknya, menjadi inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun