Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meredam Ujaran Kebencian Berawal dari Diri Sendiri

11 Februari 2019   12:50 Diperbarui: 11 Februari 2019   15:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://tech.co

Isu ujaran kebencian merebak dimana-mana, mengakibatkan sekat di antara kehidupan manusia. Karena ujaran kebencian, hubungan antara manusia kini tak lagi sama. Bahkan hubungan antar saudara pun bisa membara. Kehidupan yang tenang nan damai nampak semakin sirna, tetapi bukan berarti tiada asa kembali terenda.

Maraknya ujaran kebencian akhir-akhir ini salah satu faktornya karena mudahnya mengungkapkannya. Internet, terutama media sosial bak pedang bermata dua, di sisi lain sarat dengan kebaikan dan di sisi lain punya daya menghancurkan. Mengapa justru media sosial? Karena sifat media sosial yang terbuka, masif dan mudah, membuat siapa saja bisa memakainya.

Di media sosial, orang-orang bisa melakukan apa saja secara bebas merdeka. Mulai membuka peluang usaha hingga menghina insan lainnya. Tidak ada yang salah dengan media sosial karena ia tidak membedakan manusia yang menjadi penggunanya. Manusia lah dibalik semuanya. Ketikan jemarinya yang dikendalikan oleh kesadarannya ampuh mengubah apa saja, siapa saja.

***

Sekian lama saya mengamati perbincangan di media sosial, juga berbincang dengan kawan dan kerabat tentang pengalamannya menggunakan media sosial. Sebagian unggahan dan komentar di media sosial mengandung muatan positif namun sebagian lainnya justru memancing kekisruhan tiada akhir yang berujung pada keretakan hubungan antar manusia di dunia nyata.

Kondisi ini mengalami ekskalasi dalam beberapa tahun terakhir. Menjelang tahun politik, kegaduhan di dunia maya tidak jua mereda, malah nampaknya semakin memanas. Sejumlah manusia yang menjadi panutan manusia lainnya (baca: tokoh masyarakat) kadang turut membuat gerah suasana. Alhasil media sosial yang sudah hiruk pikuk dengan berbagai cercaan dan hinaan pun semakin kacau, membuat fungsi media sosial pun menjadi kabur.

Media sosial yang dibuat dengan tujuan mempersatukan manusia malah menjadi senjata untuk memisahkan hubungan antar manusia. Sebagian warganet, entah sadar atau tidak, melibatkan diri secara sukarela dalam menghancurkan fungsi media sosial.

Jika kekisruhan semakin tak terbendung, bukan tidak mungkin media sosial mungkin akan sirna karena sudah terlepas jauh dari cita-cita pembuatnya. Tetapi jika itu terjadi mungkin sudah sangat terlambat. Hubungan antar manusia sudah terlanjur terbelah. Sebagian menjelma menjadi kawan bagi yang seirama atau menjadi lawan bagi yang tidak sekata.

UU ITE yang membuat rambu-rambu para warganet dalam beraktivitas di dunia maya kadang kurang dihormati oleh sebagian warga yang sibuk merongrong dunia maya. Padahal UU tersebut disahkan untuk menekan implikasi negatif atas aktivitas yang tidak kondusif yang merugikan.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, apalagi di era disrupsi sekarang ini membuat kehidupan manusia semakin akrab dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) khususnya internet. Internet tidak saja memiliki fungsi yang menunjuang profesi atau pekerjaannya, namun sudah merambah ke ranah pribadi penggunanya. Facebook, Whatsapp atau WA, Line, Instagram, Twitter adalah nama-nama platform media sosial yang populer di benak manusia Indonesia.

Bila kita menilik data tingkat penetrasi internet tanah air di tahun 2019, tingkat penetrasinya sudah mencapai 56%. Ini berdasarkan laporan hasil riset berjudul Digital in 2019 yang dilakukan oleh HootSuite dan We Are Social. 

Angka itu masih tergolong yang paling rendah di antara negara-negara ASEAN yaitu Vietnam (66 persen), Filipina (71 persen), Malaysia (80 persen), Thailand 82 (persen) dan yang tertinggi Singapura (84 persen). Tetapi bila mengacu pada data Pew Research Center yang dirilis pada Juni 2018 lalu, tingkat penetrasi internet di Indonesia dalam setahun saja meningkat sebanyak 26%.

Menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesa (APJII) tahun 2017, kalangan usia 19 hingga 34 tahun adalah pengguna internet terbesar yaitu hampir 50 persen. Menariknya, pengguna internet terbesar berdasakan kelas sosial ekonomi adalah sosial ekonomi bawah, hampir mencapai 75 persen. Sebenarnya kita memerlukan data tahun 2018 namun sejauh ini APJII belum merilis data terbarunya.

Mengapa kita perlu melihat data ini? Karena kita akan melihat perilaku penggunaan media sosial masyarakat Indonesia. Mengacu pada laporan dari APJII tersebut, persentase penggunaan media sosial cukup tinggi yaitu 87,13 persen. Sementara hanya 55,30 persen yang memanfaatkan internet untuk membaca artikel. Dari data tersebut bisa kita interpretasikan bahwa tingkat literasi informasi masyarakat Indonesia kurang tinggi.

Hal ini tercermin pada Penelitian Central Connecticut State University pada awal Maret 2016 tentang Most Literate Nations in the World yang mengungkapkan bahwa Indonesia berada di posisi ke-60 dari 61 negara. Kompasianer Hamdani pernah membahas mengenai rendahnya literasi informasi masyarakat Indonesia lewat artikelnya yang berjudul "Laporan "World's Most Literate Nations", Indonesia Darurat Literasi Membaca". 

Nah, dari sini kita bisa meraba korelasi antara masyarakat sosial ekonomi bawah dengan tingkat literasi informasi yang rendah yang mempengaruhi perilaku mereka di media sosial.

Mari kita melihat data yang diungkap Kompas.com pada tahun 2017. Melansir hasil survei CIGI-Ipsos tahun 2016 ternyata ada 65 persen dari 132 juta pengguna internet di Indonesia yang percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa cek dan ricek. Data tersebut masih cukup valid untuk menjawab pertanyaan mengapa akhir-akhir ini media sosial kerap gaduh dengan ujaran kebencian.

Satu orang dengan mudahnya post tentang pandangannya di suatu media sosial lengkap dengan cacian, hinaan atau sumpah serapah, yang kemudian ditanggapi secara emosional pula, lalu disebarkan (viral) membuat suasana di dunia maya semakin keruh saja. Hal ini kadang berlanjut di dunia nyata hingga terbangun sekat yang membara di antara saudara, sahabat ataupun rekan kerja.

Bila ada di antara Anda yang telah menjadi bagian dari perilaku demikian di media sosial, sebaiknya Anda segera melakukan evaluasi dan kontemplasi diri bahwa larut dalam situasi emosional di media sosial adalah keliru.

Tiada guna mempertentangkan hal yang tak bermanfaat alias unfaedah bagi kehidupan kita khususnya kehidupan sosial kita. Terkadang kita lupa atau bahkan alpa dalam bertenggang rasa. Kalau emosi sudah membara, kita kerap lupa bahwa kita hanyalah manusia biasa yang tidak lama di alam fana.

***

Ada sebuah pendapat yang pernah saya baca bahwa jika kita ingin mengenal seseorang, search saja aktivitasnya di dunia maya khususnya di media sosialnya. Dari postingan atau unggahan dan komentar-komentar yang ia sampaikan, kita bisa mengenal watak seseorang.

Oleh sebab itu, kini banyak perusahaan melakukan riset internet terhadap individu yang melamar pekerjaan di perusahaan tersebut. CV atau resume boleh bagus, tapi tunggu dulu. HRD perusahaan akan menggali profil para pelamar di dunia maya termasuk aktivitasnya di media sosial.

Jadi, meskipun CV atau resume seorang pelamar sangat memikat, belum tentu mendapat panggilan wawancara. Apalagi bila tenyata perusahaan menemukan aktivitas di media sosial salah seorang pelamar kerja yang negatif yang jauh dari karakter perusahaan yang mengutamakan nilai-nilai positif.

Salah satu rekan kerja saya pernah menceritakan bahwa tim HRD sebuah perusahaan multinasional yang merekrutnya melakukan penelusuran informasi tentang dirinya di internet sebelum memanggilnya wawancara hingga akhirnya ia diterima bekerja perusahaan tersebut. Saya melihat ia seorang pribadi berkarakter positif. Walaupun berasal dari daerah, wawasannya sangat luas. Ia profesional dan merupakan pribadi pembelajar.

Baru-baru ini saya membuka salah satu buku di rak buku saya yang berjudul "Calm: Calm the Mind, Change the World" karya Michael Acton Smith. Ada salah satu bagian di dalam buku tersebut yang menceritakan tentang perbincangan singkat penuh makna antara seorang Kepala Suku Indian Cherokee dengan cucu lelakinya. Dalam buku tersebut, bagian ini diberi judul "Two Wolves".

Berikut perbincangan tersebut dalam bahasa Indonesia:

Seorang Kepala Suku Indian Cherokee mengajarkan kepada cucunya tentang kehidupan. "Sebuah pertarungan terjadi di dalam diriku." katanya kepada sang cucu lelakinya. "Pertarungan yang sengit antara dua serigala."

"Salah satunya adalah serigala KEJAHATAN. Ia adalah (serigala yang dipenuhi) kemarahan, iri hati, kesedihan, penyesalan, keserakahan, kesombongan, mengasihani diri sendiri, rasa bersalah, dendam, inferioritas, kebohongan, kesombongan palsu, superioritas, keraguan diri, dan ego."

"Lawannya adalah serigala KEBAIKAN. Ia adalah (serigala yang dipenuhi) sukacita, kedamaian, cinta, harapan, ketenangan, kerendahan hati, kebaikan, kebaikan, empati, kedermawanan, kebenaran, kasih sayang, dan iman."

"Pertarungan yang sama terjadi di dalam dirimu - dan di dalam setiap orang lain juga."

Sang cucu memikirkannya sebentar dan kemudian bertanya kepada kakeknya, "Serigala mana yang akan menang?"

Sang kakek dengan singkat menjawabnya, "Serigala yang kau beri makan"

Perbincangan itu telah dikenal luas sebagai salah satu petuah kebijakan dalam kehidupan warga Amerika Serikat khususnya Native Americans. Tidak diketahui secara pasti asal muasalnya apakah dari Indian Cherokee atau Indian Lenape.

Tapi terlepas dari sejarahnya, perbincangan itu mengandung nasihat bijak sang kakek tanpa harus menggurui cucunya. Kita tahu bahwa cerita-cerita Indian kerap mengambil analogi makhluk hidup dengan watak manusia karena para Native Americans hidup di alam liar.

Perbincangan itu sepertinya relevan dengan perilaku kita dalam menggunakan media sosial. Jiwa kita akan selalu diliputi oleh pertarungan antar dua serigala itu sebelum memutuskan mengunggah postingan atau memberi komentar di media sosial. 

Serigala mana yang Anda beri makan? Simpan saja jawaban Anda dalam hati sebagai bahan perenungan dan kontemplasi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun