Bung Hatta sempat menyampaikan kegetirannya. "Kita menghadapi kegagalan Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang tidak sedikit menyangkut nama koperasi. Hanya perlu saya katakan di sini, karena gagalnya BUUD itu nama koperasi menjadi rusak," ujar Bung Hatta saat pidato sambutan pada Munas Koperasi ke-9 di Jakarta, 7 Juli 1973.
Si Bung mengajak untuk memperbaiki tindakan tercela itu. "Harus diketahui, gerakan koperasi adalah gerakan demokrasi dan sukarela serta tidak dapat dipaksakan. Sistem sukarela itulah, beserta menanam rasa cinta kepada masyarakat yang ditanam adalah jiwa anggota-anggota koperasi, yang mendorong perkembangan koperasi di mana-mana,"Â tuturnya dikutip dari Buku "Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato III" yang disusun I Wangsa Widjaja dan Meutia F Swasono, serta diterbitkan Inti Idayu Press, Jakarta 1985.
Bung Hatta mengingatkan kembali lima syarat untuk menghidupkan koperasi dengan baik. Pertama, rasa solidaritas, rasa setia kawan. Kedua, individualitas, tahu harga diri. Ketiga, kemauan dan kepercayaan pada diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan self-help atau tolong diri sendiri dan oto-aktivitas, guna kepentingan bersama. Keempat, cinta kepada masyarakat, yang kepentingannya harus didahulukan dari kepentingan diri sendiri atau golongan sendiri. Serta kelima, rasa tanggung jawab moril dan sosial.
Mengkritisi Pembentukan Koperasi yang Top-Down
Masih di momen itu, Bung Hatta juga menuturkan, koperasi dimajukan dalam tahun 1945 sebagai sokoguru bagi ekonomi rakyat dengan keyakinan bahwa koperasilah yang tepat untuk menyebarkan kemakmuran ke seluruh rakyat.
"Karena keyakinan itulah, maka tidak saja rakyat sipil yang diajak melaksanakan koperasi, tetapi juga dalam organisasi tentara dibangun koperasi dengan melalui kesatuan-kesatuannya. Sejak beberapa tahun yang lalu segala gerakan koperasi disatukan. Koperasi angkatan bersenjata tidak lagi terpisah dari koperasi rakyat sipil. Tetapi dalam kesatuan organisasi koperasi itu timbullah kesulitan yang harus diatasi, kesulitan organisasi," paparnya.
Menurut si Bung, organisasi koperasi sebagai perkumpulan sipil intinya berdasarkan horisontal, atau musyawarah. Jadi berdasarkan demokrasi. Organisasi tentara berdasarkan vertikal, berdasarkan perintah, perintah dari atasan ke bawah.
"Sistem tentara itu berpengaruh pula pada organisasi koperasinya. Ketua kesatuan-kesatuan koperasi ditunjuk, tidak dipilih oleh anggota. Berlawanan sama sekali dari organisasi sipil," jelas Bung Hatta.
Kritik si Bung ini rupanya sudah disimpannya sejak bertahun-tahun sebelumnya. Ia mengungkapkan, sebab itu, kira-kira empat tahun yang lalu, waktu saya memberi wejangan di Bandung kepada pusat koperasi angkatan darat, saya kemukakan supaya dipikirkan sebaik-baiknya, bagaimana menyesuaikan struktur vertikal tentara dengan sistem horisontal pada koperasi.
Kata si Bung, "Organisasi koperasi berjalan dari bawah ke atas, sedangkan organisasi tentara tersusun dari atas ke bawah. Pada kesatuan koperasi terdapat banyak diskusi, pertukaran pikiran, pada organisasi tentara tak ada diskusi, semuanya berjalan atas perintah."
Gotong-royong, Bukan Suntik Modal
Seperti kata Bung Hatta, gerakan koperasi itu gerakan demokrasi dan sukarela serta tidak dapat dipaksakan. Lantas bagaimana dengan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih? Bukankah Kopdes ini dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Beberapa pengamat menilai, Kopdes tak patut disebut sebagai koperasi. Masuk akal. Karena Bung Hatta menyebut, organisasi koperasi merupakan perkumpulan sipil yang intinya berdasarkan horisontal, atau musyawarah.
Jadi, apakah Kopdes Merah Putih ini juga lahir dari hasil permusyawarahan?
Yang pasti, Inpres Nomor 9/2025 itu berupaya mempercepat pembentukan 80.000 Kopdes hingga akhir tahun nanti. Caranya? Menugaskan 18 pejabat negara, dari menteri hingga bupati/wali kota, untuk membidani lahirnya Kopdes Merah Putih.
Ke-18 pejabat negara itu adalah Menko Bidang Pangan, Menteri Koperasi, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Menteri Hukum, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Sosial, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Komunikasi dan Digital, ala Badan Pangan Nasional, Kala Badan Gizi Nasional, ala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Gubernur, dan Bupati/Wali Kota.
Mereka semua diinstruksikan melakukan langkah strategis, terpadu, terintegrasi dan terkoordinasi Kopdes/Kelurahan Merah Putih untuk membentuk Kopdes Merah Putih.
Kalau di berbagai media, Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan tampil paling depan menyampaikan progres pembentukan Kopdes, karena memang di tangannya antara lain terletak tanggung jawab sinkronisasi, koordinasi dan pengendaliannya.
Begitu pula Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi yang di antaranya diinstruksikan menyusun bisnis model, modul pembentukan, sosialisasi masif, dan monitoring serta evaluasi pembentukan Kopdes Merah Putih.
Bila kemudian Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan dukungan penuh dari Himpunan Bank Negara (Himbara) untuk menyalurkan  pinjaman sebanyak Rp450 triliun kepada Kopdes Merah Putih, itu karena semata menjalankan perintah.
Tugas Erick antara lain, memberikan dukungan kepada Bank Himbara sebagai salah satu sumber pendanaan Pemerintah, yang dialokasikan oleh Kementerian Keuangan kepada Kementerian Koperasi, atas kebutuhan investasi Kopdes Merah Putih.
Selain, memberikan dukungan kepada Bank Himbara sebagai salah satu penyedia pendanaan melalui program khusus Kredit Usaha Rakyat (KUR) atas kebutuhan modal kerja Kopdes Merah Putih.
Bahkan, bila Erick mengeklaim, pinjaman kepada Kopdes Merah Putih itu tidak akan membebani perbankan, dengan alasan desa dapat menggunakan dana desa yang belum digunakan untuk pembangunan sebagai sumber cicilan, hal itu juga sesuai perintah Inpres. Karena, Erick memang ditugasi memberikan dukungan kepada Bank Himbara menjalankan peran sebagai penyalur pendanaan dan melakukan penagihan kepada pihak yang memiliki kewajiban pengembalian pendanaan dari Bank Himbara.
Itu beberapa tugas sejumlah menteri terkait percepatan pembentukan 80.000 Kopdes Merah Putih. Bagaimana dengan pejabat negara di daerah, semisal gubernur dan bupati/wali kota?
Justru, Menanti Kesiapan Camat
Khusus gubernur, diinstruksikan mendorong dan memfasilitasi perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan masyarakat desa pada kabupaten/kota untuk memfasilitasi pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa bersama unsur masyarakat menyelenggarakan musyawarah desa dalam menentukan model pembentukan Kopdes Merah Putih.
Gubernur memfasilitasi musyawarah desa? Ini perintah yang jarang disinggung pengamat perkoperasian. Bahwa ternyata, semangat Inpres Nomor 9/2025 ini juga mengedepankan musyawarah. Sesuaikah ini dengan arahan Bung Hatta? Masih 'debatable'. Karena, bukankah musyawarahnya "disponsori" gubernur melalui perangkat daerah. Barulah kemudian melibatkan unsur masyarakat.
Bagaimana dengan instruksi buat bupati/wali kota? Cukup berat tugasnya. Karena, kerjaannya antara lain menugaskan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemberdayaan masyarakat desa bersama dengan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang koperasi. Tujuannya, untuk memfasilitasi dan mendampingi pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa bersama unsur masyarakat dengan melibatkan perangkat daerah terkait untuk menyelenggarakan musyawarah desa.
Tugas berat bupati/wali kota lainnya? Harus melakukan sosialisasi, pemantauan, evaluasi, pelaporan, pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah desa melalui Camat dalam pembentukan dan pengelolaan Kopdes Merah Putih.
Artinya apa? Camatlah yang (juga) akan menjadi ujung tombak di lapangan terkait hal-hal pembentukan Kopdes Merah Putih, termasuk pengelolaan, pemantauan, evaluasi, pembinaan dan pengawasannya.
Camat, bersama perangkat pemerintah desa, menanggung beban tanggung jawab berat itu. Kiranya, perlindungan hukum harus diberikan kepada mereka agar jangan sampai, amit-amit, menjadi "kambing hitam" bila ada kegagalan usaha maupun penyelewengan anggaran Kopdes Merah Putih di lingkungan mereka.
Ini harus diingatkan sejak dini. Karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2025 ini terdapat 7.277 kecamatan di Indonesia.
Nah, apakah sebegitu banyak Camat itu sudah mumpuni mengelola koperasi, dalam hal ini Kopdes Merah Putih? Wah, itu topik bahasan lain lagi.
Dan jujur, sekarang, saya lebih menanti-nantikan kesiapan pemerintah desa melalui Camat terkait pembentukan dan pengelolaan Kopdes Merah Putih itu. Meleset sedikit saja, jadi risiko tinggi buat mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI