Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kolaborasi, Kunci Ekosistem Dirgantara Indonesia "Terbang Lebih Tinggi" (2)

21 Desember 2022   06:50 Diperbarui: 21 Desember 2022   15:52 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekosistem Kedirgantaraan: Industri, Pendidikan, Riset, Otoritas. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Salah satu pendukung ekosistem industri kedirgantaraan adalah unsur Pendidikan. Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Hari Muhamad menerangkan perjalanan perguruan tinggi teknik tertua di Indonesia itu berperan mengembangkan ilmu teknik mesin dan dirgantara.

"Pada 1942, ITB punya Fakultas Teknik Mesin dan Elektro. Didalam perkembangannya, istilah Aerospace diperkenalkan oleh Guru Besar ITB almarhum Prof Oetarjo Diran. Kemudian, baru pada 1962 ada Sub Jurusan Teknik Penerbangan yang merupakan bagian dari Teknik Mesin. Karena di-drive dengan project-project nasional, maka program studi yang sebelumnya itu hanya bagian dari Teknik Mesin, kita (FTMD) lalu menjadi otonom pada 1991, dan kemudian di 1997 menjadi departemen," kisah Hari saat acara Indonesia Development Forum (IDF) 2022 yang bertajuk "The 2045 Development Agenda: New Industrialization Paradigm for Indonesia's Economic Transformation", yang diselenggarakan pada 21-22 November 2022 di Bali.

Saat ini, di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD), jumlah mahasiswanya kira-kira hampir 2.000 orang, tapi kebanyakan masih S1. Untuk yang S2-nya tidak banyak, apalagi S3-nya. "Dosen kami berjumlah 100 orang. Kami punya sembilan Program Studi (S1, S2 dan S3) yaitu Teknik Mesin, Teknik Dirgantara, dan Teknik Material. Ada juga 10 laboratorium," paparnya.

Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Hari Muhamad. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Hari Muhamad. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

ITB melakukan banyak kolaborasi untuk meningkatkan keilmuan dirgantara. "Termasuk kolaborasi dengan kalangan industri yang ada di Indonesia, lalu kolaborasi dengan semua unsur pemerintahan yang terkait, dan juga kami punya kolaborasi dengan perguruan tinggi di dalam negeri maupun luar negeri. Serta berkolaborasi dengan badan-badan riset di luar negeri dan  dalam negeri. Ada juga kelas internasional untuk mahasiswa regional," jelasnya.


Kontribusi ITB, lanjut Hari, sudah menjadi jaringan yang luas dan menyeluruh ke semua stakeholders di Indonesia bahkan dunia. "Jadi lulusan kami itu sudah banyak sekali yang dulu terlibat di project NC212, CN235 dan lainnya. Dan pada saat tidak ada kegiatan di industri dirgantara nasional, atau volume kegiatan dirgantara menurun, maka kami melakukan riset-riset dengan pesawat kecil. Ini untuk mempertahankan kompetensi dari dosen-dosen kami, dan mempertahankan kompetensi dari mahasiswa kami yang nantinya banyak juga "dicaplok" oleh perusahaan atau lembaga-lembaga di luar negeri. Pernah suatu ketika, 70% lulusan kami semuanya pergi ke luar negeri. Itu problemnya," ungkap Hari.

Selain melakukan pendidikan untuk mencetak sarjana atau insinyur, ITB juga melakukan kegiatan riset. "Karena kami di perguruan tinggi, selain pengajaran juga melakukan riset dan pengabdian kepada masyarakat. Banyak yang sudah kami lakukan, apalagi akhir-akhir ini kami melakukan riset yang sumber dananya itu dari ITB sendiri, ataupun dananya dari kerjasama-kerjasama kami, baik itu skala nasional ataupun internasional. Kami dapat dana riset. Sekali lagi, riset-riset ini untuk menaikkan kompetensi dari dosen, lalu mahasiswa yang kami didik punya pengalaman untuk melakukan riset juga," tuturnya.

Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Hari Muhamad. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Hari Muhamad. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Untuk mengantisipasi dunia kedirgantaraan ke depan itu, ITB punya plan di FTMD. Ini merupakan rencana percepatan penguasaan teknologi strategis dirgantara. "Kami sudah punya master plan yang kami sebut sebagai Aerospace Engineering Education Research and Innovation untuk kita Acceleration (AeRIx). Dananya dari mana? Kalau pemerintah belum punya duit, kami itu sampai-sampai mengumpulkan alumni untuk urunanlah membiayai rencana pembangunan yang kecil-kecil yang sudah kita mulai. Sampai-sampai alumni kami terkenal karena punya motto "Solidarity Forever". Dan tiap tahun kami punya kegiatan ultra-marathon, dari sini kami bisa kumpulkan  dana dari alumni, yang ujung-ujungnya untuk pengembangan di FTMD, dan lebih khusus lagi di AeRIx," bangga Hari.

Terkait rencana percepatan penguasaan teknologi strategis dirgantara, ITB juga akan mengarah tidak hanya ke industri dirgantara yang klasik. Tapi juga sudah mengarah keempat teknologi yang mutakhir, yaitu Additive Manufacturing, Autonomous System & Robotics, Artificial Intelligence (AI) & Machine Learning, serta Simulation & Virtual Reality. "Kita akan push kedepan dalam waktu dekat ini di dalam AeRIx tadi," tukasnya optimistis.

Lantas, apa role ITB di dalam industri dirgantara? Hari mengatakan, ekosistem industri dirgantara terdiri dari empat unsur utama: unsur Industri sebagai yang utama, lalu unsur pendukung yakni Pendidikan, Riset, dan Otoritas. Tiap unsur memiliki ekosistemnya sendiri. Pemerintah menjadi unsur pemersatu di tengah, memastikan sinergi, kestabilan, arus investasi, serta keberlanjutan ekosistem demi tujuan nasional.

Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Hari Muhamad. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Hari Muhamad. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Di bagian akhir paparannya, Hari mengulang kembali pernyataan bahwa ITB telah lama berkiprah pada berbagai program Nasional, termasuk program Kedirgantaraan Nasional. "Jadi sebetulnya kita tidak hanya dirgantara. Kalau industri digital, ITB juga pasti mendukung," ujarnya.

Untuk mendukung SDM seluruh kegiatan industri dirgantara nasional ke depan, master plan Pengembangan Teknik Dirgantara di ITB telah disusun yaitu melalui AeRIx.

"Untuk itu, jangan dilupakan, perlunya sinergi antara dunia pendidikan dengan pihak industri, lembaga riset, otoritas, dengan pemerintah sebagai unsur pemersatu di dalam mendukung ekosistem kedirgantaraan," pesan Hari mantap.

Energi, Ekonomi Sirkular dan Digitalisasi

Teknologi yang diterapkan pada industri dirgantara memang sudah sangat hi-tech. Tanpa itu, maka industri kedirgantaraan malah tidak akan ada sama sekali.

“Selain itu, industri kedirgantaraan juga tidak luput dari pengembangan ekosistemnya, sehingga lambat laun akan kita lihat hasilnya pada industri kedirgantaraan ini,” demikian disampaikan pakar penerbangan Ilham Akbar Habibie.

Pakar penerbangan Ilham Akbar Habibie. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Pakar penerbangan Ilham Akbar Habibie. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Ada tiga hal yang menjadi concern Ilham terkait pengembangan industri kedirgantaraan nasional. Pertama, energi yang dipergunakan. Misalnya, saat pesawat itu lepas landas dan terbang lalu mendarat kembali, apakah sepenuhnya menggunaka energi listrik, atau hanya sebagian saja yang beroperasi dengan menggunakan energi listrik? Bahkan mungkin, bisa saja hybrid, sebagian energi listrik dan sebagian lainnya menggunakan energi hidrogen?

“Saat ini, belum ada satu pun pesawat di dunia yang sudah menggunakan energi altrnatif seperti itu untuk operasional terbang kesehariannya. Meski sudah mulai ada, tapi masih dalam tahap awal sekali,” katanya seraya mengingatkan inovasi penggunaan energi ramah lingkungan.  

Sebagai tokoh yang konsisten di bidang rancang bangun pesawat terbang, Ilham mengatakan, penggunaan energi altenatif berdampak pada konfigurasi pesawat.

“Jadi, kenapa kalau menggunakan baterai itu berat, atau kalau kita menggunakan bahan bakar hidrogen maka memerlukan tiga atau empat kali lebih banyak dalam bentuk cairannya. Maka, ini akan membuat saat terbang nanti maka pesawatnya memiliki tangki bahan bakar lebih besar,” kata Dewan Pembina Yayasan Pengembangan Teknologi Indonesia (YPTI) itu.

Kedua, terkait ekonomi sirkular. “Ini erat hubungannya dengan apa yang disebut dengan energi terbarukan atau transisi energi, karena adanya ekonomi sirkular, dimana tidak akan ada lagi banyak hal yang kita buang menjadi sampah dan tidak digunakan lagi. Tapi material yang kita gunakan untuk membuat sesuatu itu, setelah barang tidak lagi digunakan, apakah nantinya layak digunakan? Bisa saja kita bongkar kembali menjadi sesuatu yang bisa digunakan lagi,” ujarnya.

Sejumlah pesawat buatan PT Dirgantara Indonesia. (Sumber: indonesian-aerospace.com)
Sejumlah pesawat buatan PT Dirgantara Indonesia. (Sumber: indonesian-aerospace.com)

Dampak penerapan ekonomi sirkular ini berimbas pada pembuatan desain pesawat. “Material seperti apa lagi yang tidak menggunakan logam untuk digunakan, entah plastik atau bisa juga yang terbaru seperti bio-material dan sebagainya. Tapi ini semua masih pada tahap awal dan menjadi satu hal yang akan menjadi pengembangan teknologi di industri dirgantara. Ini satu revolusi, yang dampaknya luar biasa,” tuturnya.

Ketiga, penggunaan teknologi digital. “Digitalisasi itu ada dampak tentunya kepada beberapa sistem pesawat terbang. Kayak misalnya struktur navigasi dan komunikasi. Atau juga pada sistem pengendalian pesawat terbang dengan adanya komputer, internet.
”Begitu juga setelah semua selesai dirakit melalui komputer, bahkan simulasi operasionalnya juga sekaligus diterapkan. Jadi, dulu kita kalau terbang atau di bidang aerodinamika dengan terowongan angin. Kini, masih diperlukan memang, tapi mungkin jumlah pengujiannya dikurangi berkat adanya simulasi komputer melalui apa yang namanya menyimulasikan aliran fluida di sekitar pesawat. Jadi seolah menjadi terowongan angin digital,” terangnya.

Pilot dan kru N219 menguji coba Negative G Test. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Pilot dan kru N219 menguji coba Negative G Test. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Semua ini, lanjut Ilham, agar kita lebih mengerti bagaimana kita bisa merancang bangun pesawat dengan lebih baik, benar, lebih efektif, efisien dan berkualitas tinggi. Juga dalam waktu yang lebih singkat, dan sekaligus yang paling penting adalah dengan satu cara yang paling aman. Karena kalau kita melihat perbandingan pengoperasian pesawat terbang penumpang per kilometer itu masih yang jauh lebih aman dibandingkan dengan semua moda transportasi lainnya,” urai putra sulung mantan Presiden RI BJ Habibie itu.
Untuk pengembangan industri kedirgantaraan, tukas Ilham, kini terpengaruh pada iklim, material baru sebagai wujud penerapan ekonomi sirkular. Dan sudah tentu tren digitalisasi.

‘Bukan Bangsa Burung Tapi Terbang Tinggi’

Guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, dibutuhkan kehadiran pesawat transportasi. Fungsinya, antara lain sebagai feeder aircraft antar-wilayah. Menurut Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi, pesawat pengumpan yang dimaksud adalah N219.

Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

“Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, kita butuh satu pesawat transportasi yang namanya feeder aircraft atau pengumpan dari kota kecil ke kota besar, atau dari kota kecil ke kota kecil yang nantnya dikumpulkan di kota besar. Feeder aircraft ini adalah N219 yang sekarang sedang dikerjakan.

Kenapa N219 menjadi produk unggulan? Karena pesawatnya susah ditiru. Contoh, Singapura mau meniru bikin pesawat yang serupa, susah. Ini saja sudah berapa tahun belum selesai-selesai. Mustinya lima tahun selesai, tapi karena masalah-masalah yang kompleks. Jadi, “barrier to entry” untuk masuk ke situ tidaklah gampang,” ujarnya.

Samudra optimistis, N219 mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi pusat dan daerah. Bahkan mencegah keluarnya devisa, malah sebaliknya justru mendatangkan devisa. Juga memacu kemajuan teknologi, karena aircraft ini menggunakan teknologi yang paling tinggi (hitech). “Kita bukan bangsa burung tapi bisa terbang. Dan juga, sambil meningkatkan lapangan kerja,” katanya lagi.

Untuk mewujudkan transformasi ekonomi dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di pusat dan daerah, Samudra mengestimasi kebutuhan N219 di Indonesia.

“Saya mencoba menghitung berapa kebutuhan N219. Secara logika, dan yang mudah saja. Jadi, kalau populasi Indonesia ada 250 juta orang, sekarang itu yang terbang di udara belum sampai 10 juta. Diperkirakan 14 juta dalam setahun yang terbang di udara dari penduduk kita. Lalu yang mau terbang di daerah-daerah diestimasikan ada 5,5 juta orang. Dari situ, kita lihat di archipelago kita ada 600 airport.  Taruhlah seperempatnya itu kita akan gunakan untuk N219. Seperempatnya itu kalau 600 airport adalah 150 airport. Dari sini, kalau kita buat rute dari satu airport ke airport lain, maka ada 300 rute. Nah, kira-kira dari 300 rute itu dibagi enam hari, dimana per hari dibagi lagi 360 hari, maka ketemulah angka bahwa per rute ada 50 penumpang. Dari 50 penumpang itu, karena N219 terbangnya tidak hanya satu kali sehari atau taruhlah dua hari sekali, maka kita harus punya 150 unit N219. Ini untuk mengisi kebutuhan yang paling mendesak di peta archipelago kita, disimpulkan paling tidak dibutuhkan 150 unit N219. Dan kalau kita buat target tiga tahun pemenuhan kebutuhannya, maka per tahun harus dapat diproduksi sebanyak 50 unit N219,” urainya detil.  

Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Untuk mengejar target produksi pesawat N219, Samudra menyarankan PTDI memiliki lima assembling line. “Kita bersyukur PTDI sudah merencanakan memiliki dua assembling line. Sebenarnya yang paling bagus lima assembling line, agar cepat produksinya. Karena kalau assembling itu sudah cepat, tinggal persiapan komponennya saja. Contoh, Boeing yang bisa membuat tiga pesawat dalam satu hari. Sedangkan Airbus mampu memproduksi lima pesawat per hari. Jadi untuk mengisi kebutuhan semua itu perlu modernisasi assembling line. Selain itu, harus cepat komponen supplier-nya didatangkan untuk kemudian dilakukan pengujian lebih dulu,” tuturnya.

Untuk mewujudkan “jembatan udara” sebagai konektivitas antar-wilayah, struktur ekosistem kedirgantaraan harus dibangun agar saling terkoordinasi. "Ekosistem industri kedirgantaraan dibutuhkan untuk meng-established air bridge. Didalamnya, antara lain ada Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan, TNI AU dan masih banyak lagi. Semua harus ter-orkestrasi dan disatukan melalui policy serta regulasi. Karena kalau masing-masing membuat policy dan regulasi maka bisa saja tidak akan saling "nyambung". Jadi dalam struktur ekosistem industri kedirgantaraan perlu ada Koordinator-nya. Saya mengusulkan dibentuk Badan Koordinator Kedirgantaraan RI. Kalau perlu dibentuk satu kementerian yaitu Kementerian Dirgantara,” usul Samudra.

Adapun policy dan regulasi mengatur hal-hal mengenai Manufaktur, Airline, Infrastruktur (asset management, airport operation, airport ground support), Maintenance & Repair Organization (MRO), Support Business (catering, distribution system, hotel dan lainnya). Sedangkan untuk Airnav, Samudra menyebut, kini sudah berdiri sendiri.

Dalam paparannya, Samudra juga menyampaikan bisnis model N219 yang standar dan ditujukan guna memenuhi kebutuhan pemerintah daerah. “Ada tiga kelompok bisnis model didalamnya. Mulai dari Aircraft Manufacture yang membuat pesawatnya, Pendanaan atau Leasing Company yang mengupayakan pembiayaannya, dan Aircraft Operator Certificate (AOC) yang menjalankan pesawatnya. Dari model ini, alurnya adalah order pesawat dilakukan melalui AOC, kemudian dilakukan pembayaran deposit, mendapatkan pinjaman dari perbankan, memesan pesawat ke manufakturnya, melakukan pembayaran ke manufakturnya, dan menyerahkan pesawatnya ke pelanggan melalui AOC Holder,” urainya seraya membahas beberapa opsi bisnis model lainnya.

Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Samudra juga menjelaskan value chain dan financial need dari Aircraft Manufacture. Semuanya, diawali dengan melakukan Market Research (terkait demand dan lainnya), lalu membuat Design, Proved of Concept, Prototype, dan Certification. “Semua ini butuh dana yang hanya sekali saja pendanaannya atau one time. Semua juga belum ada revenue-nya. Nanti, setelah dilakukan produksi, barulah ada revenue-nya. Di proses assembling line setiap pesawat butuh pendanaan. Pesawat pertama, kedua dan ketiga selalu berbeda pendanaannya, bisa dilakukan sendiri-sendiri. Disinilah butuh start-up capital untuk produksi, uang duluan,” ungkapnya.

Samudra juga mengingatkan pentingnya kehadiran Leasing Company. “Kenapa? Karena kalau pesawatnya dibayar secara cash tentu akan mendapat diskon. Kalau airline, kenapa harus pakai Leasing Company, karena mengurangi risiko, dan juga dia kan enggak punya likuiditas yang bagus. Jadi enggak perlu perlu uang banyak, tapi dengan Leasing Company dia bisa mencicil, terus capital cost pasti berkurang, terus enggak ada depresiasi pula. Kalau dia harus depresiasi dalam 3 tahun atau 5 tahun, maka itu jadi problem,” jelasnya.

Siapa saja shareholders dari Leasing Company? “Bisa publik, private partner, BUMN, Perusahaan Daerah. Sebenarnya masuk ke situ saja, pemda-pemda juga boleh, jadi Leasing Company-nya punya Pemda, Pemda punya uang taruh di situ, lalu beli pesawat dan dititipkan ke AOC,” sarannya.

Di akhir paparannya, Samudra menyampaikan sejumlah saran untuk pengembangan ekosistem industri kedirgantaraan nasional.

Dalam rangka membangun “jembatan udara” diperlukan menyatukan kebijakan dari semua departemen yang terkait menjadi terintegrasikan, mudah dilaksanakan (workable) mendukung kepentingan ekosistem industri penerbangan dan yang memprioritaskan produk N219 sebagai produk unggulan sehingga multiplier effect-nya akan terjadi.

Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Executive Advisor PTDI dan Bappenas, Samudra Sukardi. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Diharapkan dalam kebijakan tersebut terdapat poin-poin yang mendukung industri penerbangan secara terang benderang, yaitu: Memberi kemudahan terhadap akses finansial secara bisnis oriented; Memulihkan kemampuan pendanaan (start-up capital) demi menangkap opportunity kebutuhan daerah; dan, Mendorong potensial market yang ada (kebutuhan daerah, pertahanan, Bakamla, Pertanian dan Pariwisata) menjadi pemesanan (order) yang nyata (aircraft project yang sustainable).

Poin lain yang mendukung adalah, Kebijakan yang mempermudah (fleksibel) terhadap syarat-syarat (prosedur) transasksi pembelian pesawat dari keringanan pajak mewah bagi pembelian pesawat udara (produk lokal); lalu, Menguatkan peta jalan pengembangan industri dirgantara Indonesia yang telah dibuat menjadi suatu referensi yang baku dan terus terupdate dan dapat mudah diikuti oleh seluruh stakeholders.

Semua Sepakat Hadirkan Leasing Company 

Di lain pihak, pakar Financing yang juga Managing Partner Pembiayaan Kreatif, dan CEO Manulife, Eko Putro Adijayanto memaparkan seluk-beluk pendanaan terkait pengembangan industri kedirgantaraan.

Mengawali paparannya, Eko menjelaskan “The Role of Indonesia Aerospace Industry”. Menurutnya, elemen yang penting dalam industri dirgantara diantaranya adalah komitmen dari pemerintah. Komitmen Pemerintah sudah terbukti melalui peluncuran Peta Jalan Pengembangan Ekosistem Industri Kedirgantaraan 2022-2045. “Tinggal bagaimana kita menjalankan, tidak lagi berwacana tapi kita menjalankan,” tukasnya.

Pakar Financing yang juga Managing Partner Pembiayaan Kreatif, dan CEO Manulife, Eko Putro Adijayanto. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Pakar Financing yang juga Managing Partner Pembiayaan Kreatif, dan CEO Manulife, Eko Putro Adijayanto. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Dikatakan Eko, spektrum financing itu banyak sekali. Ada yang berbasis APBN dan non-APBN. Tapi semua itu sebenarnya tetaplah, Sky is the Limit.

“Saya mengikuti B20. Momentumnya luar biasa karena Indonesia mendadak dibicarakan dunia global, termasuk yang dimuat “The Economist”. Di situ dibahas Indonesia sebagai salah satu emerging market yang sempat dilupakan, tapi sekarang sudah menjadi kekuatan terutama dengan menjadi tuan rumah dan Presidensi G20. Tetapi tidak hanya menjadi rumah, ada beberapa hal yang dilihat akan menjadi sesuatu yang luar biasa, yaitu industrialisasi di Indonesia bangkit kembali,” tuturnya.

Selanjutnya, Eko membahas “Government Support in Aerospace Industry”. Ia menyebut, seharusnya dukungan pemerintah bisa lebih dari pada yang saat ini berlangsung.

Eko juga menyampaikan sejumlah hal terkait “Financing Strategy for Aerospace Industry”. Sama seperti pembicara sebelumnya, Eko mengatakan, sependapat tentang pentingnya Leasing Company.

“Karena menjadi hal yang sangat signifikan untuk kontemplasi. Tapi mungkin juga perlu ada concerting effort dari kita semua untuk mendorong Leasing Company menjadi kenyataan. Metodenya bisa menggunakan joint venture, melibatkan BUMN, BUMD, Perusda dan lainnya. Termasuk, mengundang mitra-mitra dari luar negeri yang harus dipilih secara selektif. Karena pasar kita ini begitu besar, dan saya yakin pangsa aerospace akan terus menjadi semakin besar kalau ditimpali dengan financing, dan ekosistem financing yang kuat,” yakinnya.  

Trend of Leasing. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Trend of Leasing. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Terkait kompleksitas dalam membangun industri, Eko menuturkan, dalam mewujudkan financing tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena ada begitu banyak tantangan.

"Kita lihat INA atau Indonesia Investment Authority yang didirikan oleh pemerintah atau sovereign wealth fund itu juga meng-unlock, deadlock dari karya-karya yang mungkin sekarang debt reedemed atau utangnya besar sekali, karena diminta untuk mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran. Itu bisa di-unlock oleh investor-investor besar dari luar melalui INA itu barangkali dua hingga tiga tahun. Sekarang alhamdulillah sudah berhasil. Artinya, di sisi finansial ini memang takes time. Tapi kalau kita lakukan terus-menerus, saya menggunakan kata-kata harus decision, consistency, dan persistence,” tuturnya.

Eko kembali menyebutkan pentingnya mendirikan Leasing Company. “Ini mungkin juga yang sama yang harus kita lakukan di industri kedirgantaraan. Di financial sector pun juga harus seperti itu. Tetapi apa enabler-nya? Saya rasa, harus ada keberanian dari pemerintah untuk mendorong pendirian Leasing Company. Itu salah satu enabler yang tidak kita laksanakan. Ini tindakan nyata dari sisi financing,” sarannya.

Eko mengilustrasikan metode Co-Financing dan  Joint-Financing. Dua-duanya harus digunakan sama seperti kehebatan bela diri aktor laga Steven Seagal. “Ia menggunakan kekuatan lawan ketika bertarung. Jadi, kita menggunakan kekuatan lawan juga dalam mengembangan ekosistem industri kedirgantaraan. Seperti yang sudah dilakukan misalnya dengan melakukan kerja sama dengan Boeing dan Airbus. Itu adalah bentuk kolaborasi yang tentunya didorong terus terutama oleh Bappenas,” ujarnya.

Ilustrasi Co-Financing dan Joint-Financing. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Ilustrasi Co-Financing dan Joint-Financing. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Dalam paparannya, Eko menunjukkan Co-Financing Models atau Model Pembiayaan Bersama yang biasanya diterapkan dengan maksud untuk mengintegrasikan layanan dan sumber daya guna mencapai hasil maksimal, dimana satu pihak menanggung alokasi dana tambahan.

Sedangkan Joint-Financing dipaparkannya sebagai Model Pembiayaan Bersama yang biasanya diterapkan dengan maksud untuk mengintegrasikan layanan dan sumber daya untuk mencapai hasil maksimal, dimana satu pihak menanggung alokasi dana tambahan, begitu juha dengan pengeluaran, komponen proyek, kontrak subkomponen atau paket proyek (atau bagian yang sama dari proyek) dengan proporsi yang sama.

“Baik skema Co-Financing maupun Joint-Financing itu sama-sama bertujuan membentuk Special Purpose Vehicle (SPV),” jelas Eko.
Adapun langkah-langkah efektif untuk menerapkan Co-Financing atau Joint-Financing didalamnya terdapat syarat-syarat seperti Engineering Readiness, Government Support, Financial Valuation, dan Negotiation Phase. Khusus Negotiation Phase ini menjadi penting, karena membutuhkan peningkatan  kepercayaan diri dalam melakukan negosiasi bersama para mitra strategis di luar negeri. Selain, butuh pemerintah untuk mendampingi saat negosiasi. Ingat, bargaining position kita kuat, karena kita negara besar dan terdiri dari banyak kepulauan,” terangnya.

Pengalaman Dirgantara Pemkab Puncak, Papua

Turut menyampaikan materi yakni Direktur Utama PT Aviasi, Puncak, Papua, Samuel Resoeboen. Ia mewakili Bupati Puncak, Willem Wandik. Samuel  membeberkan pengalaman Pemkab Puncak memiliki dan mengoperasikan pesawat, serta dampak positifnya bagi pembangunan daerah.

Direktur Utama PT Aviasi, Puncak, Papua, Samuel Resoeboen. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Direktur Utama PT Aviasi, Puncak, Papua, Samuel Resoeboen. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

“Gagasan pengadaan pesawat ketika itu adalah karena satu-satunya akses menuju ke Kabupaten Puncak hanyalah dengan menggunakan pesawat terbang. Maklum, secara administrasi Kabupaten Puncak merupakan pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya pada 2008. Terdiri dari 26 distrik dan 206 kampung. Geografisnya, memiliki ketinggian 2.600-4.000 mdpl, bergunung-gunung. Jumlah penduduknya 176.181 orang, umumnya petani,” paparnya.

Samuel berbagi pengalaman bagaimana Pemkab Puncak mengelola pesawat. Itu diawali dengan mendirikan BUMD PT Puncak Papua Mandiri berdasarkan Akte Notaris tertanggal 24 Februari 2017. Lalu, mengangkat Direktur Operasional Aviasi dalam Struktur BUMD tersebut. PT Aviasi Puncak Papua dipisahkan tersendiri, khusus mengelola pesawat Pemkab dengan Akte Notaris tertanggal 28 September 2020.

Pesawat Pemkab dioperasikan dengan AOC PT Dabi Air Nusantara (Desember 2018-Agustus 2020), dan AOC PT Spirit Avia Sentosa (Agustus 2020 hingga saat ini).

“Gambaran tentang dunia penerbangan di Papua, ini bagian kecil sekali dari dunia kedirgantaraan. Tetapi menantang sekaligus memberi inspirasi. Bupati Puncak, Papua, Willem Wandik membeli pesawat yang ukurannya agak besar. Saya orang pertama yang memasukkan pesawat itu ke Papua pada 1996. Bupati membeli pesawat yang sungguh luar biasa, karena dengan landasan pacu hanya 250 meter saja, sudah bisa berhenti dan take off. Tetapi sayang pesawat itu tidak berumur panjang karena crash. Akhirnya, uang jaminan asuransinya dipakai Bupati untuk membeli dua pesawat Grand Caravan. Lalu saya diminta mengurus mulai dari pembelian sampai pengoperasian. Pesawat ini melayani masyarakat se-Kabupaten Puncak. Walaupun kami juga keliling terbang ke beberapa kabupaten lain di Papua,” urainya.

Airstrip Sinokla di Kabupaten Puncak, Papua. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Airstrip Sinokla di Kabupaten Puncak, Papua. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Di Papua, lanjut Samuel, ada lebih kurang 700 airstrip (landasan terbang sementara). Papua memang 3,5 kali lebih luas dari Pulau Jawa, tetapi dari 700 airstrip itu hanya 300 saja yang sudah terdaftar dan punya sertifikat dari Kementerian Perhubungan. Sedangkan sebagian besar hanya dibangun oleh penduduk setempat, jadi tidak mudah untuk dicapai.

”Bahkan kalau kita melihat tampilan airstrip-nya saja, mungkin sudah ketakutan untuk terbang dan mendarat di sana. Tetapi ingat, di sana ada manusia, ada rakyat Indonesia yang butuh perhatian Negara dan Pemerintah. Saya sudah 42 tahun di sana melayani mereka. Saya hanya satu dari sekian banyak orang yang melayani masyarakat di sana. Oleh karena itu, kondisi faktual ini menarik ya tetapi juga tremendous but fascinating,” ujarnya.

Pemkab Puncak, Papua memanfaatkan pesawat miliknya untuk terbang dari satu kampung ke kampung. Kondisi alam pegunungan mengharuskan penggunaan pesawat. “Dengan menggunakan pesawat milik sendiri (BUMD), kelebihannya adalah kalau menunggu jadwal penerbangan tidak perlu membayar apa-apa lagi. Karena toh ini Pemkab yang punya pesawat. Kalau harus bayar waiting fee bila menggunakan pesawat sewaan, waduh bisa bangkrut Pemkabnya,” seloroh Samuel.

Ia juga menceritakan misi sosial kemanusiaan yang dijalani dengan menggunakan pesawat terbang. “Misalnya, saat tengah malam, ada seorang ibu mau melahirkan. Keluarganya telepon, apakah besok ada pesawat yang datang dan bisa membawa pertolongan ibu melahirkan. Maka kita terpaksa usahakan penerbangan dilakukan. Begitu juga saat ada orang meninggal di lokasi wilayah yang tidak bisa dijangkau. Warga pun tidak ada yang berani pergi ke lokasi tersebut, maka kami harus siap mengurus jenasah. Kami kuatkan mental sang pilot pesawat, kami pergi menjemput korban. Ini tugas kemanusiaan yang kita hadirkan. Hadir sebagai wakil pemerintah untuk melayani masyarakat,” kisahnya.

Airstrip Larye di Kabupaten Puncak, Papua. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Airstrip Larye di Kabupaten Puncak, Papua. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Kasus lain, warga punya hasil bumi tapi terkendala pemasarannya karena tidak ada pasar di sekitar wilayahnya. Bagaimana mungkin membawa hasil bumi dari Kabupaten Puncak ke Timika, misalnya? Sulit. “Rakyat kecil tidak ada uang untuk mengangkut hasil bumi secara cuma-cuma untuk dijual di pasar Timika atau wilayah lainnya,” jelas Samuel.

Samuel juga menilai, pesawat N219 sangat bagus dari sisi tampilannya. “Tapi saya berharap, untuk dimintakan approval ke Direktorat Perhubungan Udara supaya N219 bisa tes flight dan tes landing di Kabupaten Puncak, Papua. Sebab saya yakin, kalau sampai N219 berhasil mencapai di sana, maka satu dunia atau semua orang akan mencari-cari dan meminati N219, sekaligus mengakui keunggulannya. Karena memang kondisi alam Papua begini sulit untuk diterbangi dan didarati,” tantangnya.

Saat ini, lanjutnya lagi, Papua punya tambahan empat daerah otonom baru (DOB), yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Berarti geliat pembangunan juga akan lebih banyak. Semua butuh pesawat kecil. “Saya yakin, pasar N219 itu semakin terbuka lebar,” yakinnya seraya menyebut Papua Nugini juga bisa menjadi pasar potensial N219.

Samuel mengakhiri paparannya dengan menyatakan sepakat dan mendukung pernyataan serta seruan untuk saling melakukan kolaborasi demi pengembangan industri kedirgantaraan nasional.

Buka Aksesibilitas, Ciptakan Konektivitas

Pembicara terakhir sekaligus merangkum konklusi adalah Presiden Direktur PTDI, Gita Amperiawan. Ada empat hal yang disampaikannya.

Presiden Direktur PTDI, Gita Amperiawan. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)
Presiden Direktur PTDI, Gita Amperiawan. (Foto: Screenshot Youtube Bappenas RI)

Pertama, N219 diharapkan berperan penting dalam kesuksesan program jembatan udara nasional untuk membuka aksesibilitas dan menciptakan konektivitas antar wilayah. Diperlukan dukungan penuh dari seluruh stakeholders untuk memenuhi kebutuhan pasar (saat ini potensi dalam negeri diperkirakan sekitar 150 unit) melalui sinergi dan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat sehingga tercipta ekosistem yang mendukung terciptanya manufacturing readiness dan sustainability bisnis komersialisasi N219.

Kedua, peran perguruan tinggi sangat signifikan dalam menciptakan sustainability industri dirgantara nasional melalui pengembangan research and development (SDM, fasilitas laboratorium dan  infrastruktur penunjang lainnya). Karena itu, pengembangan masterplan teknik dirgantara harus terus didukung. Joint statement antara PT DI dan ITB menjadi langkah signifikan terciptanya sinergitas industri dan perguruan tinggi dalam rangka penguasaan teknologi dirgantara nasional walaupun saat ini masih tetap terdapat gap yang cukup besar antara kebutuhan industri dirgantara dan jumlah lulusan yang ada setiap tahunnya 

Ketiga, pemerintah diharapkan dapat menjadi fasilitator dalam mendukung komersialisasi pesawat N219 di dalam negeri, baik dari sisi penyiapan anggaran, operasional pesawat maupun terkait regulasi, khususnya untuk pemerintah daerah dan operator dalam negeri (AOC) untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sebagaimana yang diharapkan oleh Bappenas.

Pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia. (Sumber: indonesian-aerospace.com)
Pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia. (Sumber: indonesian-aerospace.com)

Keempat, sektor kedirgantaraan Indonesia akan mampu menawarkan investasi yang cukup menarik bagi investor. Memahami bahwa industri pesawat terbang ini sarat dengan teknologi dan kapital intensif terutama pada fase pengembangan, melalui forum ini telah digali new and alternative resources pendanaan dan opsi model bisnis yang inovatif untuk mendukung proses komersialisasi pesawat terbang N219 yang berkelanjutan 

"Industri kedirgantaraan harus bisa menjadi penggerak industrialisasi Indonesia dalam menjalankan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Untuk itu, industri kedirgantaraan harus berkontribusi pada strategi peningkatan produktivitas ekonomi sebagai penggerak industrialisasi nasional, melalui pengembangan dan komersialisasi produk dalam negeri. Salah satunya adalah N219, baik untuk pasar domestik maupun internasional," ujar Gita. 

 o o o O o o o

Baca tulisan sebelumnya: Kolaborasi, Kunci Ekosistem Dirgantara Indonesia "Terbang Lebih Tinggi" (1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun