Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Aku dan Mentari Menyatu di Kelimutu

20 Juli 2018   15:55 Diperbarui: 21 Juli 2018   00:41 2773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di puncak Gunung Kelimutu menyaksikan matahari terbit dan pesona tiga danau. (Foto: Gapey Sandy)

"Jam 04.00 pagi sudah harus kumpul semua di lobby. Kita langsung berangkat ke Danau Kelimutu."

Begitu instruksi Dwi Setijo Widodo, pemandu wisata rombongan. Alamak, jam 04.00?! Padahal kami baru juga tiba di tempat penginapan, jam 01.30 dini hari. Ya ampun, mana bisa curi waktu untuk  berbaring dan tidur. Belum lagi, ketika sampai di kamar penginapan Kelimutu Ecolodge di Desa Koanara, Moni, Ende, Flores -- NTT ini, harus siapkan segala sesuatu buat mendaki ke Puncak Gunung Kelimutu.

Oh ya, kami tiba di Moni -- tempat biasa para pendaki Kelimutu menginap -- lewat dari tengah malam, karena memang baru berangkat dari Maumere kelar makan malam, sekitar jam 20.30. Lho, kenapa enggak berangkat dari sore hari? Ya 'gimana mungkin, karena jam 19.00 pun kami baru tiba di Maumere, sesudah menempuh perjalanan lebih dari 110 km dari Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kec Demon Pagong, Flores Timur - tempat tinggal keluarga Mama Sorgum alias Maria Loretha. [Baca di sini:Tuhan Titipkan Sorgum Lewat Tangan Maria Loretha]

Perjalanan dari Maumere ke Moni (sekitar 98 km) di malam hari terasa membosankan. Sepanjang jalan, jarang sekali bertemu kendaraan lain, mobil apalagi motor. Meskipun tidak terlalu lebar ruas jalannya, tapi Jalan Nasional Larantuka -- Maumere ini lumayan bagus.

Artinya, kita yang kelelahan tidak merasa ajrut-ajrutan di dalam mobil. Tapi, itu juga bukan berarti kami bisa istirahat. Karenaaaa ... jalan raya ini bergitu banyaaaakkkkkkk kelak-keloknya. Ya ampun, kalau enggak percaya lihat saja ini kondisi rute via Google Maps. Jalannya kelak-kelok kayak gitu ... hahahaaaa. Melihat petanya saja udahmumet kan, apalagi kami yang merasakannya sendiri di dalam minibus. Baru mau tidur sedikit, mobil sudah berbelok tajam kanan, disusul kemudian belok tajam kiri. Begitu terus dan terus. Lagi ... dan lagiiii.


Begitu banyak kelak-kelok tajam sepanjang jalan dari Maumere menuju Moni, Ende. (Sumber: Google Maps)
Begitu banyak kelak-kelok tajam sepanjang jalan dari Maumere menuju Moni, Ende. (Sumber: Google Maps)
"Selalu saja, kebanyakan orang yang menempuh perjalanan darat Maumere -- Moni bilang, kenapa jalan ini tidak dibuat lurus saja?" ujar Dwi sambil tertawa.

Pemandu wisata berambut gondrong ini juga tak sedang berdusta ketika bercerita, bahwa ia pernah terjebak stuck di jalan lantaran ada tebing longsor. Enggak heran, sepanjang jalan kami sering lihat tebing yang begitu mepet dengan jalan raya. Bahkan di beberapa titik, ada satu dua bongkahan batu di jalan raya setelah menggelinding dari punggung tebing.

Begitulah keseruan dan "aduhai"-nya jalan darat dari Maumere ke Moni (pintu gerbangnya Kelimutu).

o o o O o o o

Tepat jam 04.00, minibus yang kami tumpangi bergerak dari Moni menuju Kelimutu. Minibus serasa longgar, maklum koper dan ransel gendut sudah diturunkan di penginapan. Dingin merasuk badan sepanjang jalan. Moni, seperti kata orang, benar-benar pintu gerbang Kelimutu. Banyak dijumpai home stay di kiri kanan jalan yang terus menanjak. Kehidupan sekitar seperti belum nampak. Eh, lha iyaaaa ... ini masih jam sahur ... hahahahaa

Ketika mulai mendaki punggung bukit, kiri kanan jalan mulai banyak pepohonan dan belukar. Maklumlah, namanya juga mulai mendekati area Taman Nasional (TN). Artinya segala sesuatu yang ada didalamnya pasti harus dilestarikan. Apalagi, Kelimutu juga bukan wilayah sembarangan, karena berkaitan dengan adat istiadat masyarakat lokal. Makanya, kalau berwisata ke sini pun, ya harus menghormati kearifan lokal. Contohnya, pada setiap 14 Agustus, Suku Lio menggelar ritual ada Pati Ka di ceremonial site yang berjarak 850 m dari lokasi parkir. Ritual ini berupa pemberian makan atau sesajen bagi arwah leluhur. Ini simbol syukur atas perjalanan tahun yang sudah berjalan, sambil memohon berkah agar tahun berikut lebih baik lagi segala sesuatunya.

Lokasi tiga danau di Taman Nasional Kelimutu. (Sumber: Pos Informasi TN Kelimutu)
Lokasi tiga danau di Taman Nasional Kelimutu. (Sumber: Pos Informasi TN Kelimutu)
UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefinisikan TN sebagai kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Jalan mendaki terus kami lalui. Kelihatan sekali, Pemerintah Daerah setempat benar-benar berusaha melayani tamu dan wisatawan sebaik mungkin. Ruas-ruas jalan diperlebar, sejak mula pertigaan Moni. Tepi tebing dipangkas-dibelah, agar pada jalan menikung misalnya, bisa dilebarkan lebih lapang lagi. Tebing pun diberi tanggul dari batu-batu kali yang di-cor demi menahan longsor. Sayangnya, suasana di luar masih rada gelap sehingga tak begitu banyak yang bisa saya rekam melalui pandangan pun ingatan.

Sudah 30 menit perjalanan, masih juga belum sampai di Kelimutu.

Sepuluh menit kemudian, kami sampai di gerbang utama TN. Supir menepikan kendaraan. Dwi dengan sigap turun dan menuju pos penjagaan untuk melapor ke petugas sambil bayar tiket masuk. Karena hari ini adalah Minggu, 1 Juli 2018, maka dikenakan tarif hari libur yaitu Rp 7.500 per wisatawan domestik. Katanya, kalau hari biasa, cukup Rp 5.000 saja. Di sobekan tiket warna putih itu tercantum, bahwa ketentuan ini: Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.12 Tahun 2014 tertanggal 14 Februari 2014.

Bulan pun masih ada. Wisatawan menanti detik-detik matahari terbit dari monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
Bulan pun masih ada. Wisatawan menanti detik-detik matahari terbit dari monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
Monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu saat detik-detik matahari terbit. (Foto: Gapey Sandy)
Monumen dan tugu di puncak Gunung Kelimutu saat detik-detik matahari terbit. (Foto: Gapey Sandy)
Kelar bayar tiket. Minibus kembali melaju. Terus mendaki hingga sampai di pelataran parkir yang lumayan luas. Hari masih gelap. Saya belum bisa melihat sekeliling dengan baik. Cuma, di sudut kiri parkiran ada toilet umum, lalu di sudut kanan ada bangunan seperti kantor dengan pintu kaca. Kabut tipis memeluk kami semua. Hawa dingin makin menusuk.

Awalnya saya agak ragu melanjutkan pendakian. "Apa tidak sebaiknya Sholat Subuh dulu?" tanya saya ketika mendengar suara adzan Subuh dari handphone Dwi. Tapi jawaban Dwi justru menohok. "Mau sholat dimana Pak? Di sini tidak ada mushola. Kalau saya, biasanya tetap mendaki dulu. Nanti kalau ketemu lokasi memungkinkan untuk sholat, ya kita sholat dengan kondisi sedikit darurat," ujarnya.

Menyimak jawaban Dwi, saya pasrah. Okelah kalo begitu, ayo lanjut saja pendakian. Suasana gelap. Hanya di permulaan jalan saja ada lampu sorot. Selepas itu, gelap nge-dedhet. Syukurlah masih ada sisa temaram sinar bulan purnama. Lampu senter milik Dwi terus dinyalakan. Menyinari tangga-tangga batu dan tapakan kaki, agar rombongan tidak tersandung tangga batu atau terpeleset jalan berkerikil yang terbasahi embun.

Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Matahari pun terbit dengan indahnya. (Foto: Gapey Sandy)
Tak berapa lama berjalan, di sisi kiri ada semacam saung tempat istirahat. Bentuknya terbuka, dengan atap rumbia dan lantai kayu. Dalam bahasa lokal, saung ini disebut lopo besar. Disinilah kami memutuskan untuk Sholat Subuh. Berwudhu dengan setengah botol air mineral, dan saya pun menggunakan syal leher dari kain tenun ikat Sikka sebagai alas sujud. Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

Usai sholat, perjalanan dilanjutkan.

o o o O o o o

Jalan mulai mengeras, ada semacam track dengan semen coran. Lumayanlah untuk ditapaki kaki-kaki lelah, mata mengantuk dan tubuh yang menggigil kedinginan. Beberapa kali, langkah kami disusul sejumlah pendaki dengan langkah yang lebih bergegas. Diantara mereka, ada juga wisatawan mancanegara. Mungkin karena sudah terbiasa dengan salju di negaranya, ada satu dua perempuan diantara mereka yang bercelana pendek. Wkwkwkkkk ..., kagak kedinginan apa 'ntu, Neng?

Belum seberapa jauh melangkah, Dwi menghentikan langkah. Ia menunjukkan ke sisi sebelah kanan. Terlihat susunan tangga-tangga batu untuk menuju ke atas. Enggak terlalu curam sih, paling-paling 15 sampai 20 derajat sudut kemiringannya. Ternyata, inilah danau pertama yang ada di Kelimutu. Dalam bahasa lokal sering disebut Tiwu Ata Polo. Tiwu artinya danau. Menurut kepercayaan adat setempat, di danau inilah para arwah orang-orang jahat ditempatkan. Dari lokasi parkir, Ata Polo berjarak 625 m.

Penampakan Tiwu Ata Polo atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para orang jahat. Air danaunya hijau. (Foto: Gapey Sandy)
Penampakan Tiwu Ata Polo atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para orang jahat. Air danaunya hijau. (Foto: Gapey Sandy)
Pagar besi pengaman dan bibir kawah di Tiwu Ata Polo atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para orang jahat. (Foto: Gapey Sandy)
Pagar besi pengaman dan bibir kawah di Tiwu Ata Polo atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para orang jahat. (Foto: Gapey Sandy)
Kelimutu terkenal dengan tiga danaunya. Tiap tahun, warna air danau berubah. Nah, Tiwu Ata Polo ini pernah airnya berubah jadi berwarna merah darah dan coklat. Masyarakat setempat meyakini, perubahan warna air danau di Kelimutu membawa pertanda tertentu, atau jadi semacam alarm bagi warga agar lebih giat melaksanakan upacara adat, memberi sesajen kepada arwah leluhur supaya terhindar dari musibah, bencana, gagal panen dan sebagainya. Meskipun secara ilmiah, bisa saja perubahan warna air danau ini disebabkan karena adanya kandungan kimia dalam bentuk garam besi, sulfat atau belerang dan mineral lainnya. Juga, dipadukan akibat adanya tekanan gas aktivitas vulkanik dan sudah tentu sinar ultraviolet matahari.

Oh ya, di sejumlah penanda informasi yang dipasang secara permanen juga ada disebutkan bahwa Kelimutu sebenarnya adalah satu gunung api dengan tiga danau di kawahnya. Kelimutu sendiri berasal dari 2 kata: "keli" (gunung) dan "mutu" (mendidih). Adapun soal perubahan warna air danau, begini informasi yang tertulis selengkapnya: "Ketiga danau kawah Kelimutu memiliki sumber gas vulkanik yang sama, tetapi sebagai akibat dari transportasi gas yang sub-akuatis tersebut maka menghasilkan "ekspresi" kimia yang berbeda pada setiap danau."

Sebelum matahari terbit, enggak usahlah coba naik tangga dan melihat kawah Tiwu Ata Polo. Percuma. Toh, masih diselimuti kabut tebal dan air danaunya pun tak tampak, kecuali hanya gelap dan kegelapan. Gagal melihat danau pertama ini, kami pun bergegas menuruni anak tangga lagi. Saya sempat hitung ada sekitar 80-an anak tangga. "Nanti kalau sudah agak siang, kita ke sini lagi," ujar Dwi kepada rombongan.

Penampakan Tiwu Ko'o Fai Nuwa Muri atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para muda-mudi. (Foto: Gapey Sandy)
Penampakan Tiwu Ko'o Fai Nuwa Muri atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para muda-mudi. (Foto: Gapey Sandy)
Penampakan Tiwu Ata Mbupu atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para orang tua. Air danaunya kebiruan. (Foto: Gapey Sandy)
Penampakan Tiwu Ata Mbupu atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para orang tua. Air danaunya kebiruan. (Foto: Gapey Sandy)
Perjalanan dilanjutkan kembali dalam gelap. Di sisi kiri dan kanan, rasanya hanya terlihat tebing pebukitan, batu menghitam tapi dikelilingi tetumbuhan pendek-pendek yang begitu subur. Akhirnya, medan jalan sampai jualah pada jalur yang sudah dipasang pagar besi pada sisi kiri dan kanan. Besinya berbentuk lingkaran pipa, dicat warna hijau telur asin, mungkin disamakan dengan kecenderungan warna air danaunya. Sesekali tercium belerang. Meskipun cuma tipis dan tidak menyergak hidung.

Jalan setapak mendaki yang lebarnya kira-kira muat 4 orang berdiri berjejer ini akhirnya membawa kami sampai juga ke puncak Gunung Kelimutu yang menurut beberapa sumber meletus terakhir kali pada 1886. Gunung setinggi 1.639 m (5.377 kaki) ini berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Kabupaten Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di puncak gunung, ada monumen berwarna putih yang dibangun di atas tanah datar cukup lapang. Di atas monumen dengan anak tangga berundak ini ada tugu. Menjulang ke langit setinggi kira-kira 2,5 -- 3 meter. Anak-anak tangga ini sekaligus jadi kursi bagi wisatawan untuk menyaksikan detik-detik matahari terbit, alam pegunungan yang berselimut mega, sekaligus pancaran keindahan permukaan air tiga danau.

Saatnya tunggu detik-detik mentari kembali dari peraduannya. Sunrise!

Saung besar yang ketika hari masih sangat gelap kami jadikan tempat sholat Subuh. (Foto: Gapey Sandy)
Saung besar yang ketika hari masih sangat gelap kami jadikan tempat sholat Subuh. (Foto: Gapey Sandy)
Puncak Gunung Kelimutu difoto dari Tiwu Ata Polo. (Foto: Gapey Sandy)
Puncak Gunung Kelimutu difoto dari Tiwu Ata Polo. (Foto: Gapey Sandy)
o o o O o o o

Ketika mentari terbit dan menampakkan sinar kuning oranye kemerahannya, serta membuat garis horizontal timur yang apik, semua yang ada di puncak Kelimutu berteriak riuh rendah kegirangan. Semua terpesona atas lukisan alam ciptaan Tuhan.

Angin dingin yang kencang benar-benar tak bisa dihindari di atap Kelimutu ini. Dingin juga terasa kian luar biasa, utamanya terasa di dahi, telinga, hidung dan bibir. Makanya, lebih baik buat yang mau ke sini, bawalah jaket tebal lengkap dengan tutup kepala, syal lilit leher, sarung tangan, kaos kaki tebal, topi dan kacamata hitam. Bbbrrrrrrrr ... selain bikin menggigil, angin kencang juga jadi momok tersendiri ketika kita hendak membuat video blogging, Vlog. Karena, suara yang masuk ke microphone akan kalah dengan suara terpaan angin.

Di puncak Kelimutu, di sekitar monumen terdapat beberapa warga setempat menjajakan minuman dan camilan. Ada juga yang menjual kain tenun ikat, diantaranya dengan memajang kain-kain tersebut di pagar besi pengaman layaknya jemuran. Yaaahhh ... alangkah lebih baik, menjual kain tenun ikatnya di lapak khusus saja. Supaya pemandangan di puncak gunung ini terjaga rapi, asri, sedap dipandang, selain bikin gampang orang yang motret ambil angle.

Jalur pendakian menuju puncak Gunung Kelimutu dengan pagar besi pengaman di sisi kiri kanan jalan. (Foto: Gapey Sandy)
Jalur pendakian menuju puncak Gunung Kelimutu dengan pagar besi pengaman di sisi kiri kanan jalan. (Foto: Gapey Sandy)
Jalur pendakian menuju puncak Gunung Kelimutu dengan pagar besi pengaman di sisi kiri kanan jalan. (Foto: Gapey Sandy)
Jalur pendakian menuju puncak Gunung Kelimutu dengan pagar besi pengaman di sisi kiri kanan jalan. (Foto: Gapey Sandy)
Ketika matahari terus semakin tinggi, barulah terlihat jelas dua danau di arah timur, dan satu danau lagi di barat. Dua danau yang saling berdampingan adalah Tiwu Ata Polo yang agak lebih jauh, dan yang terdekat dengan posisi monumen tugu yaitu Tiwu Ko'o Fai Nuwa Muri atau danau yang dipercaya sebagai tempat arwah para muda-mudi. Danau ini jaraknya 1.150 m dari lokasi parkir.

Nah, satu danau di sisi barat yaitu Tiwu Ata Mbupu atau danau yang menjadi tempat arwah para orang-orang tua. Warna danau ini agak biru pekat. Untuk menuju ke sini, jauh jarak yang musti kita tempuh adalah 1.300 m dari tempat parkir kendaraan.

Usai menikmati matahari terbit di horizon timur dan sinar hangatnya mulai makin hangat, biasanya wisatawan meninggalkan puncak Kelimutu. Tapi bukan berarti obyek wisata ini akan sepi. Sama sekali tidak. Karena, ketika matahari mulai bergerak meninggi pun, justru semakin banyak wisatawan lain yang baru tiba dan lakukan pendakian.

Hijaunya tetumbuhan di sepanjang jalur pendakian menuju puncak Gunung Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
Hijaunya tetumbuhan di sepanjang jalur pendakian menuju puncak Gunung Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
Tetap berhati-hati pada jalur yang tanpa pagar besi pembatas dan pengaman. (Foto: Gapey Sandy)
Tetap berhati-hati pada jalur yang tanpa pagar besi pembatas dan pengaman. (Foto: Gapey Sandy)
Setiba di lopo besar -- yang sempat jadi lokasi Sholat Subuh kami -- sudah ada penjual kopi. Saatnya nyeruput kopi jahe sambil duduk di pinggir lantai lopo besar. Dijual juga sejumlah komoditi hasil panen seperti kacang, strawberry, jeruk dan bawang putih tunggal. Kain tenun ikat juga ada yang menjualnya.

Pokoknya, karena kondisi sudah terang benderang, maka semua bisa kelihatan jelas, termasuk pemandangan ciamik danau Tiwu Ata Polo yang bisa disaksikan dari bibir kawah. Meskipun, tetap harus hati-hati, waspada dan patuhi aturan batas pagar besi pengaman.

o o o O o o o

Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi parkir kendaraan, jalan yang ditempuh berbeda dengan ketika baru hendak mendaki. Tentu saja ini bagus, untuk memecah kerumunan pengunjung antara yang baru datang dengan mereka yang hendak bersiap pulang. Tidak sulit jalan yang harus dilalui untuk ke parkiran. Malah pengunjung bisa selfie kala menemukan bunga-bunga bermekaran indah di pinggir jalan. Kicau burung aneka nada, pepohonan rindang dan rerumputan hijau menyatu dengan jalan yang lembab.

Media informasi publik yang dipasang permanen. Beberapa terlihat sudah rusak lembaran informasinya. (Foto: Gapey Sandy)
Media informasi publik yang dipasang permanen. Beberapa terlihat sudah rusak lembaran informasinya. (Foto: Gapey Sandy)
Media informasi publik tentang flora dan fauna di TN Kelimutu yang rusak lembaran informasinya. (Foto: Gapey Sandy)
Media informasi publik tentang flora dan fauna di TN Kelimutu yang rusak lembaran informasinya. (Foto: Gapey Sandy)
Oh ya, media informasi yang dipajang permanen juga menuliskan keberadaan BurungGarugiwa yang banyak beterbangan liar. Burung ini aktif utamanya sekitar jam 06.00 -- 10.00 wita. Kepala dan kakinya hitam, sementara bulu badannya hijau kebiruan, dan di bawah leher bulunya berwarna keunguan. Ketika berkicau, Garugiwa menyamping atau membelakangi matahari.

Elang Flores juga ada di sini. Burung empunya nama ilmiah Nisaetus Floris ini gampang-gampang susah ditemui di TN Kelimutu karena jumlah raptor endemik NTT ini terus berkurang. Bahkan, sudah masuk red list sebagai critically endangered yang artinya, selangkah lagi akan punah di alam. Tahun 2017, jumlahnya disebut-sebut tinggal sisa 8 individu. Fauna lain misalnya Monyet Kra, Burung Decu Belang, Ular Piton, Burung Dara Timor dan masih banyak lagi.

Kita berharap kelestarian flora dan fauna di TN Kelimutu terpelihara. Apalagi, data menunjukkan, jumlah wisatawan domestik maupun mancanegara yang berkunjung terus bertambah. Data tertempel di pos informasi - di sudut kanan lokasi parkir -- memuat grafik tersebut: Tahun 2014: (Domestik: 41.517, Mancanegara: 13.184);  Tahun 2015 (Domestik: 50.324 orang, Mancanegara: 12.633 orang); Tahun 2016 (Domestik: 66.818, Mancanegara: 14.504). Ketika libur Idul Fitri 2018 kemarin, hanya dalam 3 hari (15-17 Juni) pengunjung TN Kelimutu 6.411 orang (146 diantaranya wisatawan mancanegara).

Rambu penunjuk arah dan keterangan tiga danau. (Foto: Gapey Sandy)
Rambu penunjuk arah dan keterangan tiga danau. (Foto: Gapey Sandy)
Foto bareng dulu sebelum meninggalkan TN Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
Foto bareng dulu sebelum meninggalkan TN Kelimutu. (Foto: Gapey Sandy)
 Di Taman Nasional Kelimutu, aku dan mentari menyatu.


* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun