Hilman mensehati, lakukan identifikasi terlebih dahulu tentang apa kebutuhan atau masalah calon klien. Lalu ketahui apa yang bisa kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bukan seperti Darby yang langsung AMT alias "Asal Main Tembak".
"Seorang content creator harus tahu ada pada tahapan apa konten dia dalam buyer journey. Awareness, consideration atau decision? Karena belanja marketing calon klien selalu disesuaikan pada buyer journey. Tidak semua membelanjakannya hanya pada tahapan awareness, tapi juga tahap consideration atau decision. Seorang content creator harus tahu masalah calon kliennya ini berada pada tahapan mana, lalu tawarkan sebuah solusi," tutur Hilman yang pada 2016 pernah meraih hadiah utama satu unit mobil dari panitia Writing Contest bertema Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, ujar Hilman, jangan pernah melupakan 'RoI' atau Return of Investment. Karena, setiap belanja marketing sudah ditentukan 'RoI'-nya oleh calon klien. Lalu, bagaimana kita bisa menawarkan sesuatu dengan 'RoI' lebih tinggi dari cara-cara yang sudah mereka tempuh. "Jadi, ini bukan soal kita, tapi soal klien kita. Mereka yang narsis kayak Darby, sulit memahami kondisi seperti ini," ujar penulis yang pernah saya beri predikat 'Rhenald Kasali'-nya Kompasiana ini.
Sama seperti Carolina Ratri, ternyata Hilman juga menganggap sikap Paul Stenson yang "mencemooh" Elle Darby sebagai sama sekali tidak asertif. "Saya rasa Stenson over-reacted. Berlebihan. Tidak sopan. Ofensif. Apa yang dia lakukan tidak berhubungan atau kontra produktif dengan cara mengembangkan perusahaan atau relation management. Bila pun menolak, ia bisa melakukannya tanpa harus menyerang seseorang yang sebenarnya tidak ada maksud menyakitinya," kesal Hilman.
Akhirnya, menurut Hilman, tak ada alasan bagi pebisnis untuk merendahkan sebuah profesi, termasuk profesi content creator! Dalam era dimana informasi terdesentralisasi dan terjadi secara crowdsource, setiap orang punya peluang untuk menjadi leader dalam jejaringnya - yang kemudian disebut sebagai influencer.
"Mungkin saat ini, perusahaan kita belum memiliki program pemasaran yang bekerjasama dengan content creator. Namun tak ada alasan untuk merendahkan atau menyerang mereka. Bukankah salah satu nilai terpenting dalam perusahaan adalah, cara mereka memperlakukan orang lain," tegas pria yang perawakannya makin tambun ini.
Kalau Hilman menyayangkan Darby yang mengaku social media influencer tetapi kurang memahami 'RoI', Teguh Sudarisman yang semakin moncer namanya karena banyak mengajarkan cara bikin video pakai smartphone ini justru menilai, apa yang ditawarkan Darby kepada pihak Charleville Lodge Hotel sebagai pola penawaran kerjasama biasa.
Menurut blogger sekaligus vlogger yang beberapa kali meraih hadiah lomba ini, media-media travel juga menawarkan beberapa lembar halamannya sebagai space untuk me-review produk maupun layanan mitra kerjasamanya. Di industri media, pola penawaran kerjasama seperti yang dilakukan Darby adalah wajar dan etis.
"Tapi perlu dibedakan istilah, antara 'minta gratisan' dengan 'job review' (lebih tepatnya 'kerjasama review'). Kalau 'minta gratisan' ya artinya minta sesuatu secara gratis, tanpa ada imbal baliknya sama sekali. Sedangkan kalau kerjasama review seperti yang ditawarkan blogger atau youtuber, bukankah ia menawarkan imbal balik berupa posting blog, bikinin video di youtube dan posting di akun facebook, instagram maupun twitter miliknya. Jadi yang ditawarkan si blogger adalah kerjasama dalam bentuk barter (tanpa pakai uang), di mana dia menawarkan posting di blog, youtube dan akun media sosial yang dimilikinya, dengan imbal balik menginap selama 5 malam. Ini hal yang wajar dan etis saja, dan sudah dipraktikkan lama sekali di industri media, khususnya media travel," tutur Teguh Sudarisman.