Gelas itu sudah berpindah ke tanganku yang langsung menggak isinya. Aku mengernyitkan dahi sambil menahan mual karena ada bau anyir yang masuk ke penciumanku.
"Jangan dihabiskan...!" Hardik laki-laki itu sambil mengambil gelas dari tanganku, lalu memasukkan sisa air ke dalam mulut mayat jelita.
Tiba-tiba seperti ada desiran angin yang menerpa wajahku. Mulut mbah dadang terlihat mulai berkomat-kamit, merapalkan sebuah mantra. Aku merasakan lantai papan tempat aku duduk seperti bergetar. makin lama getarannya makin terasa. Tubuh mayat yang tergeletak di depanku, seperti bergerak.
Makin lama suara mbah Dadang makin terdengar berat dan sedikit gemetar. "Bangun...!" Tiba-tiba laki-laki itu membentak mayat perawan tersebut.
Aku tecekat dan mundur surut ke belakang sampai punggungku menyentuh dinding gubuk. Sambil bersandar, aku berusaha bangkit karena lututku mulai goyah.
Tubuhku mulai gemetar, keringat dingin  mengucur dari keningku saat pandangan mataku menangkap tubuh mayat Jelitayang bargerak duduk., dan langsung menatap tajam ke arahku, yang mulai jatuh lunglai tak sadarkan diri.
*****
"Suami macam apa kamu, yang tak pernah sekali pun merayakan ulang tahunku..." kata istriku sambil menangis dan langsung menutup pintu kamar.
Aku buru-buru menyusulnya dan mendapatinya duduk di samping anak kami yang baru berusia tiga tahun. Air mata istriku masih menetes, meski isaknya sudah tidak terdengar lagi. Perlahan kuhampiri dia lalu memberikan sebuah kotak kecil, sebagai kado di hari ulang tahunnya.
"Selamat Ulang tahun, sayang..." Bisikku di telinganya sambil memberikan sebuah kecupan lembut di keningnya.
"Aku ingin dirayakan, sekali saja..." pintanya padaku, setengah memohon malah.