Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Mayat Perawan Jelita

30 Juli 2016   16:45 Diperbarui: 13 Agustus 2016   16:04 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terus menggali dan berpacu mengejar waktu. Suara burung malam menaikkan bulu kudukku. Suara nafasku semakin berat, sementara keringat terus menetes dari kening dan mulai membasahi bajuku.

Sesekali aku membersihkan ujung cangkul, dari tanah basah kuburan yang lengket dan menempel, tenagaku sudah mulai berkurang, tapi demi sebuah tujuan yang harus diselesaikan malam ini juga, semangatku kembali bangkit dan mempercepat pekerjaanku. Aku terus menggali, sampai...

"DUK...!"Mata cangkulku menumbuk benda keras.

Aku menyeka keringat dan langsung mengais tanah dengan kedua tanganku. Denyut jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Dingin malam seperti tak sanggup mengalahkan gelegak darahku yang mulai menghangat, tatkala mataku membentur deretan papan yang tersusun tumpang tindih.

Setelah melemparkan cangkul, aku menggeser dua keping papan yang berada di ujung liang kuburan, sampai terlihat seraut wajah terbungkus kain putih, yang membuat aku terkesiap.

"Jelita..." Bisikku menyebut nama orang, yang kuburannya baru saja aku bongkar.

Perawan desa ini masih terlihat cantik, di bawah bias cahaya bulan yang memantul menyinari wajahnya, meski telah menjadi mayat.

Dengan sigap ku jejakkan kedua kaki ke dalam lubang, sambil mengedarkan pandangan ke sekitar perkuburan, berjaga-jaga jika ada yang melihat perbuatanku. Tidak lama kemudian, mayat perempuan itu telah ku letakkan di bawah pohon kamboja, yang berjarak kira-kira tiga meter dari perawan tadi dikubur.

Aku beralih ke tempat semula, lalu menimbun kembali kuburan yang baru saja aku bongkar seperti asalnya. Setelah dirasa cukup, aku lalu memanggul mayat perawan tersebut dan bergegas meninggalkan areal pemakaman yang semakin gelap saat gulungan awan menutupi cahaya purnama. Sementara seekor gagak yang terbang di atas kepalaku, mengeluarkan suara yang menggidikkan.

Koak...koak...koak...!

*****

Langkah kakiku berhenti di sebuah gubuk yang jaraknya setengah jam perjalanan dari areal pemakaman. Lalu mendorong pintunya dengan ujung kaki yang masih belepotan tanah. Suara derit kayu yang beradu saat pintu gubuk terbuka pelan, makin membuat angker gubuk ini.

Aku melihat mbah Dadang tampak duduk bersila, kumisnya yang lebat menambah garang wajahnya yang terlihat samar, karena penerangan di dalam gubuk hanya dari lampu teplok yang menempel di dinding yang mulai reot.

"Masuklah...!" Perintah laki-laki tersebut dengan suara yang berat dan sedikit bergetar.

Mayat perawan jelita, ku letakkan persis di hadapannya.

"Duduk...!" Perintahnya lagi, padaku.

Aku segera duduk bersila di samping mayat yang terbujur diantara aku dan mbah Dadang. Sisa tanah masih menempel di kain pocong yang membungkus tubuh mayat itu. Aku  menjulurkan tangan...

"Jangan dibersihkan!"Hardik mbah Dadang, saat melihat gerakan tanganku, yang akan mengambil tanah kuburan yang menutupi wajah Jelita.

Aku buru-buru menarik tanganku. Mbah dadang menaburkan sesuatu ke dalam dupa, diiringi suara berdesis dan asap yang mengepul daridupa tersebut. Bau kemenyan menyeruak masuk ke dalam lubang hidungku.

"Kamu sudah siap...?" Tanya mbah Dadang kemudian.

Kepalaku mengangguk, sejurus kemudian laki-laki tersebut menyodorkan segelas air yang telah dicampurnya dengan tanah dan abu dari kain pocong byang dibakarnya.

"Minum!" Perintahnya singkat.

Gelas itu sudah berpindah ke tanganku yang langsung menggak isinya. Aku mengernyitkan dahi sambil menahan mual karena ada bau anyir yang masuk ke penciumanku.

"Jangan dihabiskan...!" Hardik laki-laki itu sambil mengambil gelas dari tanganku, lalu memasukkan sisa air ke dalam mulut mayat jelita.

Tiba-tiba seperti ada desiran angin yang menerpa wajahku. Mulut mbah dadang terlihat mulai berkomat-kamit, merapalkan sebuah mantra. Aku merasakan lantai papan tempat aku duduk seperti bergetar. makin lama getarannya makin terasa. Tubuh mayat yang tergeletak di depanku, seperti bergerak.

Makin lama suara mbah Dadang makin terdengar berat dan sedikit gemetar. "Bangun...!" Tiba-tiba laki-laki itu membentak mayat perawan tersebut.

Aku tecekat dan mundur surut ke belakang sampai punggungku menyentuh dinding gubuk. Sambil bersandar, aku berusaha bangkit karena lututku mulai goyah.

Tubuhku mulai gemetar, keringat dingin  mengucur dari keningku saat pandangan mataku menangkap tubuh mayat Jelitayang bargerak duduk., dan langsung menatap tajam ke arahku, yang mulai jatuh lunglai tak sadarkan diri.

*****

"Suami macam apa kamu, yang tak pernah sekali pun merayakan ulang tahunku..." kata istriku sambil menangis dan langsung menutup pintu kamar.

Aku buru-buru menyusulnya dan mendapatinya duduk di samping anak kami yang baru berusia tiga tahun. Air mata istriku masih menetes, meski isaknya sudah tidak terdengar lagi. Perlahan kuhampiri dia lalu memberikan sebuah kotak kecil, sebagai kado di hari ulang tahunnya.

"Selamat Ulang tahun, sayang..." Bisikku di telinganya sambil memberikan sebuah kecupan lembut di keningnya.

"Aku ingin dirayakan, sekali saja..." pintanya padaku, setengah memohon malah.

Sekilas mataku menangkap tubuh istriku yang berjalan keluar kamar. Tak lama kemudian, istriku kembali masuk sambil membawa sebuah kue tar kecil lengkap dengan lilin yang menyala di tengahnya.

Aku tersentak dan mulai menyadari sesuatu, sambil berusaha merebut kue dari tangannya, tepat disaat istriku meniup lilin di kue ulang tahunnya.

"Wusss...!"

Aku berdiri terpaku dan terngiang akan pesan mbah Dadang, padaku beberapa tahun yang lalu...

"Ingat! Jangan pernah membiarkan Perempuan ini meniup lilin di hari dia dibangkitkan, jika kau melanggar pantangan ini maka dia akan kembali menjadi... MAYAT...!"

(Selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun