Langkah kakiku berhenti di sebuah gubuk yang jaraknya setengah jam perjalanan dari areal pemakaman. Lalu mendorong pintunya dengan ujung kaki yang masih belepotan tanah. Suara derit kayu yang beradu saat pintu gubuk terbuka pelan, makin membuat angker gubuk ini.
Aku melihat mbah Dadang tampak duduk bersila, kumisnya yang lebat menambah garang wajahnya yang terlihat samar, karena penerangan di dalam gubuk hanya dari lampu teplok yang menempel di dinding yang mulai reot.
"Masuklah...!" Perintah laki-laki tersebut dengan suara yang berat dan sedikit bergetar.
Mayat perawan jelita, ku letakkan persis di hadapannya.
"Duduk...!" Perintahnya lagi, padaku.
Aku segera duduk bersila di samping mayat yang terbujur diantara aku dan mbah Dadang. Sisa tanah masih menempel di kain pocong yang membungkus tubuh mayat itu. Aku  menjulurkan tangan...
"Jangan dibersihkan!"Hardik mbah Dadang, saat melihat gerakan tanganku, yang akan mengambil tanah kuburan yang menutupi wajah Jelita.
Aku buru-buru menarik tanganku. Mbah dadang menaburkan sesuatu ke dalam dupa, diiringi suara berdesis dan asap yang mengepul daridupa tersebut. Bau kemenyan menyeruak masuk ke dalam lubang hidungku.
"Kamu sudah siap...?" Tanya mbah Dadang kemudian.
Kepalaku mengangguk, sejurus kemudian laki-laki tersebut menyodorkan segelas air yang telah dicampurnya dengan tanah dan abu dari kain pocong byang dibakarnya.
"Minum!" Perintahnya singkat.