Mohon tunggu...
Galuh AdeSurya
Galuh AdeSurya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemuda Ingin Berprestasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

selalu harus berusaha keras,semaksimal mungkin menjadi yang terbaik buat diri saya maupun ke semua orang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme PKN

26 Juni 2021   12:55 Diperbarui: 26 Juni 2021   12:59 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme Melalui Pendidikan Kewarganegaraan

Definisi Nilai-Nilai Pancasila Dan Nasionalisme
    1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 3
Dasar hukum bela negara yang pertama adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat                    3 yang mengamanatkan bahwa;
"Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara".

    2. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30 Ayat 1
Dasar hukum bela negara yang kedua adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30 Ayat 1 yang mengamanatkan bahwa;
"Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usha pertahanan dan keamanan negara"

    3. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Dasar hukum terakhir yang mendasari gerakan bela negara adalah Undang-Undang RI     Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat 1 yang mengamanatkan bahwa;
"Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara"

1.Latar Belakang
Pendidikan yang rendah menyebabkan kemampuan mengembangkan teknologi persenjataan pun lemah, sehingga kalah jauh dari persenjataan milik penjajah. Pendidikan yang rendah, juga menyebabkan kepemimpinan perjuangan hanya bergantung pada kharisma seorang pemimpin, yang ketika ia meninggal perjuangan pun terputus karena tidak ada kader yang melanjutkan perjuangannya. Pendidikan yang rendah, menyebabkan wawasan berfikir pun menjadi sempit. Wawasan yang sempit menjadi penyebab para pejuang hanya berfikir
dan berjuang untuk suku atau daerahnya masing-masing. Mereka belum terbuka, bahwa perjuangan dapat dilakukan secara bersama-sama. Rasa kebangsaan atau nasionalisme sampai akhir abad ke-19 masih belum tumbuh.Ketika sebagian kecil bangsa Indonesia sudah mulai bersentuhan dengan pendidikan moderen pada pertengahan abad ke-19, sedikit demi sedikit, terbuka wawasan berfikir bangsa Indonesia. Dari kalangan rakyat Indonesia terdidik yang jumlahnya masih terbatas itu rasa kebangsaan atau nasionalisme dan kesadaran untuk bersatu dalam perjuangan mulai muncul dan disebarluaskan. Pendidikan ternyata begitu besar pengaruhnya untuk membuka fikiran dan kesadaran akan rasa persatuan, rasa kebangsaan, dan rasa kecintaan pada tanah air. Kalangan terdidiklah yang mampu merintis rasa kebangsaan atau nasionalisme ini pada masa Kebangkitan Nasional 1908. Di awal abad ke-20, dapat dikatakan fase pertama tumbuhnya nasionalisme bangsa Indonesia.

2. Rumusan Ide Pokok atau Masalah
Tantangan Yang dihadapiSetelah enam puluh tiga tahun merdeka dan seratus tahun kebangkitan nasional saat ini, kita masih menghadapi berbagai tantangan yang berkaitan dengan upaya implementasi nilai-nilai dasar Pancasila dan nasionalisme pada bangsa Indonesia. Pertama, nilai-nilai Pancasila sepertinya masih belum membumi, masih belum diamalkan secara baik oleh bangsa Indonesia. Pancasila seakan hanya menjadi simbol saja, tanpa terimplementasi secara nyata baik pada tataran kehidupan kenegaraan maupun pada tataran kehidupan masyarakat. Kedua, kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda pada era globalisasi ini mendapat pengaruh yang sangat kuat dari nilai-nilai budaya luar, sehingga mulai banyak sikap dan perilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Ketiga, nilai-nilai nasionalisme pun oleh sebagian pihak dipandang mengalami erosi pada saat ini, terutama di kalangan generasi muda (Triantoro, 2008). Keempat, berkembangnya paham keagamaan yang tidak memandang penting nasionalisme. dan negara kebangsaan Indonesia, dan lebih memandang penting universalisme. Pendukung paham ini juga menolak demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang dipandang baik dan pada ujungnya tidak memandang Pancasila sebagai sebuah ideologi yang penting dan tepat bagi bangsa kita. Paham ini bukan hanya berkembang di masyarakat, tetapi juga berkembang di kalangan mahasiswa di perguruan tinggi; danKelima, masih perlu dipertanyakan peran pendidikan baik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal dalam menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila, termasuk nilai-nilai nasionalisme kepada bangsa Indonesia, khususnya kepada generasi muda. Contohnya kepemimpinan perjuangan hanya bergantung pada kharisma seorang pemimpin, yang ketika ia meninggal perjuangan pun terputus karena tidak ada kader yang melanjutkan perjuangannya. Pendidikan yang rendah, menyebabkan wawasan berfikir pun menjadi sempit. Wawasan yang sempit menjadi penyebab para pejuang hanya berfikir masih terbatas itu rasa kebangsaan atau nasionalisme dan kesadaran untuk bersatu dalam perjuangan mulai muncul dan disebarluaskan. Pendidikan ternyata begitu besar pengaruhnya untuk membuka fikiran dan kesadaran akan rasa persatuan, rasa kebangsaan, dan rasa kecintaan pada tanah air.

3. Perkembangan Internalisasi Pancasila dan Nasionalisme
dari Masa ke Masa Pancasila sebagai ideologi negara telah disepakati oleh the founding fathers sejak tahun 1945. Namun nilai-nilai Pancasila tidak berarti telah serta merta terinternalisasi dalam diri bangsa Indonesia. Bahkan, untuk beberapa lama, Pancasila sepertinya hanya menjadi ungkapan simbolis kenegaraan tanpa jelas implementasinya, baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Penafsiran Pancasila pun kadang menjadi bermacam-macam tergantung golongannya bahkan tergantung pada arus politik yang berkuasa.Upaya menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila telah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno di tahun 1960-an, dalam kerangkan nation and character building. Upaya ini dilakukan untuk meng-Indonesiakan orang Indonesia yang disesuaikan dengan visi dan misi politik penguasa pada masa itu. Oleh karena itu, bahan-bahan yang diberikan pun bukan hanya tentang Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga bahan-bahan yang berisi pandangan politik penguasa masa itu. Upaya menggelorakan semangat nasionalisme sangat tinggi, sehingga oleh Azyumardi Azra dipandang sebagai fase ke-2 tumbuhnya nasionalisme pada bangsa Indonesia. Pada masa ini, upaya nation and character buildingini bukan hanya untuk masyarakat luas pada umumnya, namun juga dilakukan melalui jalur pendidikan formal, misalnya melalui mata pelajaran Civics. Sejarah mencatat, bahwa pada periode selanjutnya, yakni pada masa Orde Baru, apa yang dilakukan oleh rezim Orde Lama itu dipandang Kurikulum PPKn dalam kurikulum persekolahan 1994 yang dulu sangat berorientasi pada nilai-nilai Pancasila, diganti dengan Kurikulum PKn 2004 dan 2006 yang lebih bersifat konseptual teoritis.
Revitalisasi Peran PKn Sebagaimana telah dijelaskan di atas, di Indonesia, sejak tahun 1960 Pendidikan Kewarganegaraan (Civics) merupakan mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sejak saat itu pula, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran, selalu ada dalam kurikulum yang berlaku dan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Dalam dua undang-undang sistem pendidikan nasional terakhir, yaitu UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Kewarganegaraan selalu dinyatakan sebagai program atau mata pelajaran yang harus ada pada setiap jenjang pendidikan, dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
pada konteks politik. Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia tidak dapat bebas dari pengaruh rezim politik yang memerintah. Kemauan politik dari pemerintah, seringkali tercermin pada tujuan dan isi Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan seringkali merupakan mandat politik dan alat ideologi rezim. Sebagai akibatnya, Pendidikan Kewarganegaraan berubah ketika rezim politik berubah (Bunyamin, 1990; Winataputra, 1999). Pada masa reformasi rekarang ini, Pendidikan Kewarganegaraan tampaknya perlu dilakukan revitalisasi dan reorientasi, baik menyangkut tujuan, misi, kompetensi yang diharapkan, materi, pendekatan dan strategi pembelajarannya. Dengan revitalisasi dan reorientasi ini, diharapkan Pendidikan Kewarganegaraan tidak terjebak lagi menjadi program indoktrinasi politik penguasa. PKn diharapkan lebih mampu menjadi program pendidikan yang secara teoritis, konseptual, dan praksis memiliki konsistensi atau keajegan sebagai pembina warganegara yang baik dan demokratis dengan meminimalisasi pengaruh mandat politik rezim yang berkuasa.
Sementara itu, Sanusi (1999) menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan kewarganegaraan ialah membuka peluang seluas-luasnya bagi para warga negara, menyatakan komitmennya dan menjalankan perannya yang aktif, untuk belajar mendewasakan diri, khususnya mengenai hubungan hukum, moral dan fungsional antara para warga negara dengan satuan-satuan organisasi negara dan lembaga-lembaga publik lainnya. Sosok warganegara yang baik yang ingin dihasilkan oleh Pendidikan Kewarganegaraan menurut Sanusi adalah warganegara yang merdeka yang tidak jadi beban bagi siapapun, yang melibatkan diri dalam kegiatan belajar, memahami garis besar sejarah, cita-cita dan tujuan bernegara, dan produktif dengan turut memajukan ketertiban, keamanan, perekonomian, dan kesejahteraan umum. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang sesuai untuk masa kini adalah adalah membina warganegara Indonesia yang baik, yakni warganegara yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki jiwa yang merdeka, memahami dan menjalankan hak dan kewajiban dengan baik, memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial, berjiwa demokratis, mampu menghargai perbedaan etnis, budaya dan agama, mampu berfikir kritis, sistematis, kreatif, dan inovatif, mampu mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara demokratis, menyelesaikan konflik secara damai tanpa kekerasan, mematuhi hukum, berdisiplin, menghargai lingkungan hidup, dan mampu berpartisipasi secara cerdas dalam kehidupan politik lokal, nasional, dan global.

4.Kesimpulan
Secara historis, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan kesadaran kebangsaan atau nasionalisme pada bangsa Indonesia. Pendidikan pada saat ini, juga masih tetap diharapkan memainkan peran strategis dalam membinakan dan meningkatkan nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai nasionalisme kepada generasi muda. PKn, sebagai mata pelajaran yang memegang peranan penting, baik di tingkat persekolahan maupun perguruan tinggi dalam membina nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme. Namun, dalam masa-masa yang lalu, PKn selalu mendapat pengaruh yang kuat dari kepentingan politik, bahkan dapat dikatakan menjadi mandat politik dari penguasa saat itu, sehingga baik misi, orientasi, tujuan, dan materinya sering berubah sesuai dengan perubahan politk yang terjadi. PKn yang diharapkan saat ini perlu memperluas misinya bukan sekedar sebagai pendidikan politik, melainkan juga sebagai pendidikan nilai, pendidikan nasionalisme, pendidikan demokrasi, pendidikan hukum, pendidikan multikultural dan pendidikan resolusi konflik. PKn pun perlu menggunakan interpretasi maksimal, yang berarti PKn mesti mengembangkan kemampuan kritis dan reflektif, kemerdekaan fikiran tentang isu-isu sosial, dan kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses sosial dan politik. Oleh karena itu, dengan interpretasi maksimal, PKn bukan sekadar melaksanakan tradisi transmisi nilai-nilai kewarganegaraan (citizenship transmission), tetapi juga mestinya lebih bersifat reflective inquiry, yang berarti mendidik siswa untuk secara kritis mengkaji dan memecahkan permasalahan kemasyarakatan, serta menerapkan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme dengan penuh keyakinan. Dalam membinakan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme, PKn juga perlu menggunakan secara terintegrasi pendekatan pendidikan nilai secara langsung, yang didasari oleh perspektif sosialisasi, dan pendekatan pendidikan nilai secara tidak langsung, yang didasari oleh perspektif sosialisasi. Pembelajaran PKn pun hendaknya memiliki kekuatan (powerful), yakni pembelajaran PKn yang bermuatan nilai, bermakna, aktif, terpadu, mengundang kemampuan berfikir tingkat tinggi, demokratis, menyenangkan, efektif, efisien, kreatif, melalui belajar dengan bekerja sama (cooperative learning), dan mengundang aktivitas sosial. Dengan menggunakan kedua pendekatan itu, secara terintegrasi dan didukung oleh suasana pembelajaran yang memiliki kekuatan seperti di atas, maka diharapkan para siswa dapat menerima dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme dengan penuh nalar dan keyakinan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun